MANTAN anggota DPR yang menjadi terdakwa kasus merintangi persidangan KTP berbasis elektronik (KTP-E), Markus Nari, mengaku memberikan uang kepada pengacara Anton Tofik. Namun, Markus membantah pemberian terkait kasus yang menjeratnya.
“Saya memberikan (uang) sebelum dipanggil jadi saksi di KPK (terkait kasus KTP-E). Saya pernah membantu dia (Anton) untuk umrah,” ungkapnya saat diperiksa sebagai terdakwa di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, kemarin.
Markus mengungkapkan, dirinya memberikan uang ke Anton sebanyak dua kali, yakni S$5.000 dan S$10 ribu. Namun, Markus kembali menegaskan kalau pemberian uang tersebut sebagai imbalan agar Anton memantau persidangan terkait dengan korupsi KTP-E dengan terdakwa pejabat Kemendagri, Sugiharto, dan Dirjen Dukca-pil Kemendagri, Irman.
Markus mengaku berkonsultasi dengan Anton hanya sebatas hal umum mengenai panggilan KPK. Ketika majelis hakim berupaya mencari konfirmasi tentang hal lain, Markus langsung membantah. “Saya tidak bilang mengawasi. Saya sampaikan, saya dipanggil KPK untuk jadi saksi dan perlihatkan surat panggilan saya. Beliau (Anton) sendiri yang insiatif menyampaikan, nanti dia lihat gimana perkembangannya. Soalnya saya tidak tahu masalah hukum,” ujarnya.
Tidak minta BAP
Pada persidangan tersebut, dirinya juga mengelak meminta Anton untuk melobi pejabat Kemendagri, Irman dan Sugiharto, agar tak menyebut nama Markus dalam persidangan. Markus khawatir menjadi tersangka dalam kasus itu. Politikus Golkar itu juga membantah meminta berita acara pemeriksaan (BAP) Irman dan Sugiharto. Sementara itu, dalam dakwaan, Markus disebut menyuruh Anton mencarikan BAP itu.
“Saya menyampaikan kepada Anton Tofik saat itu pas di FX Sudirman bahwa setelah pemeriksaan (KPK) saya ini, saya lupa nanti kalau ditanya. Gimana ya caranya supaya saya bisa ingat, nah langsung dia (Anton) katakan nanti dia coba carikan BAP,” ujar Markus.
Dalam surat dakwaan, Markus disebut berkali-kali bertemu Irman di kantor Dukcapil. Diduga dalam salah satu pertemuan itu, Markus meminta fee proyek KTP-E sebesar Rp5 miliar. Namun, hal tersebut dibantah dan menegaskan dirinya hanya bertemu sekali dengan Irman dan Sugiharto. Ia mengaku berdiskusi soal pemanfaat-an fungsi KTP-E agar dapat terkoneksi dengan perbankan, imigrasi, pemilu, dan kebutuhan lain.
“Ini apa artinya cuma diskusi saja. Bukan karena harus mengambil keputusan. Cuma mau memberi masuk-an-masukan karena sebagai tanggung jawab saja karena saya pernah diskusi di Komisi II saat itu,” kata dia.
Markus didakwa merinta-ngi secara langsung atau tidak langsung pemeriksaan anggota DPR Miryam S Haryani dan Sugiharto di Pengadilan Tipikor, Jakarta. Markus di-dakwa melanggar Pasal 21 atau Pasal 22 jo Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang No 20/2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (P-4)