DALAM suatu kesempatan bertemu dengan pejabat kepolisian, sang pimpinan menyatakan tekad untuk melakukan reformasi birokrasi, di antaranya meniadakan pungutan liar, baik dalam pembuatan SIM/STNK, di jalan raya, maupun di berbagai pelayanan masyarakat. Menurutnya, sekitar tiga atau empat bulan masa jabatannya dia telah memberangus praktik pungli. Dia meminta masyarakat untuk melaporkan setiap pungli yang dialaminya melalui berbagai saluran telepon yang disediakannya secara terbuka. Bisa pula informasi pungli tersebut disampaikan melalui media sosial milik lembaganya.
Yang menarik, dia mengaku kesulitan memberantas pungli karena masyarakat seringkali tidak mau menyampaikan bukti-bukti pungli yang dilakukan aparaturnya. “Hanya omongan kita sulit untuk menindaklanjutinya,” ujarnya. Bagi saya, aneh pernyataan pimpinan kepolisian seperti itu, bukankah kepolisian memiliki keahlian, peralatan, dan strategi untuk membongkar misteri kejahatan sesulit apa pun. “Apalagi cuma pungli, tinggal investigasi, menyamar, dan tangkap pelakunya,” ujar saya menimpali.
Di kesempatan lain saya bertemu dengan pejabat sebuah instansi, sama dan sebangun keluhannya dengan pejabat kepolisian bahwa sang bos sulit mengeyahkan pungli yang dilakukan bawahannya. “Saya perlu laporan autentik dari masyarakat untuk menghilangkan pungli. Jangan sampai jadi fitnah,” ujarnya sembari meminta masyarakat jangan membiasakan ‘salam tempel’ kepada aparatnya. Baik di instansi kepolisian maupun sipil yang dipimpin mereka, saya melihat tulisannya ‘menolak pungli’.
Dua model kepemimpinan di atas mungkin mewakili sebagian besar birokrasi di Republik ini, yakni menerima laporan, tidak proaktif, safety player, minim gagasan/inovasi, dan pimpinan yang biasa bermain di wilayah comfort zone. Karakteristik kepemimpinan seperti yang mengakibatkan birokrasi tidak berubah dalam melayani masyarakat. Seorang kawan jurnalis senior yang pernah malang melintang di dunia kepolisian dan pemerintahan membisiki bahwa model kepemimpinan seperti itu boleh jadi karena dirinya bagian yang harus direformasi, bukan hanya birokrasinya. “Patut diduga mereka promosi jabatan karena fulus atau gengnya sedang berkuasa sehingga mereka melakukan jurus aji mumpung,” ujarnya.
Karakter kepemimpinan di atas sangat berbahaya bagi organisasi atau lembaga. Pasalnya, mereka akan menciptakan patologi birokrasi. Terminologi ‘patologi’ semula memang hanya milik dunia kedokteran, yakni ilmu yang mempelajari penyakit dan proses terjadinya suatu penyakit. Istilah patologi berasal dari bahasa Yunani, yakni pathos yang artinya ‘emosi, menderita’, atau ‘gairah’, sedangkan logi artinya ilmu. Patologi ialah cabang ilmu kedokteran yang sangat penting untuk mendiagnosis penyakit. Patologi terdiri atas patologi klinik, anatomi, dan umum.
Namun, belakangan para ilmu administrasi publik juga menggunakan istilah patologi birokrasi yang menjelaskan berbagai penyakit birokrasi, seperti Gerald E Caiden (1991) dan Bary Bozeman (2000) dari Amerika Sserikat serta Sondang P Siagian (19940 dari Indonesia. Patologi birokrasi mengungkapkan berbagai praktik penyimpangan birokrasi, seperti birokrasi yang bertele-tele, birokrasi tambun, pemborosan, ABS (asal bapak senang), dan sebagainya. Pelesetan, “Kalau bisa dipersulit, kenapa dipermudah.” Birokrasi yang mempersulit ini tujuannya UUD (ujung-ujung duit).
Revolusi industri 4.0 yang menyasar birokrasi juga tak juga bisa menghilangkan birokrasi. Meskipun sistem pelayanan via online alias tak bertemu muka, sistem yang berbasiskan teknologi masih bisa diakali. Prinsip man behind the gun berlaku di sini. Artinya, perbaikan sistem dengan revolusi mental sumber daya manusianya harus seiring sejalan, segendang sepenarian. Inovasi pelayanan dengan berbasiskan teknologi jangan sekadar selebrasi, ekspos media besar-besaran demi menangguk pencitraan, tetapi faktanya jauh panggang dari api. Pelayanan masyarakat tetap terpinggirkan dan korupsi jalan terus.
Sejumlah aturan memayungi reformasi birokrasi di Tanah Air, yakni Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025 dan beberapa Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Sejumlah aturan tersebut bertujuan agar birokrasi dilaksanakan berdasarkan prinsip good governance (akuntabilitas, transparansi, dan partisipatif). Terdapat tiga sasaran reformasi birokrasi, yakni birokrasi yang bersih dan akuntabel, birokrasi yang kapabel, dan pelayanan publik yang prima.
Birokrasi yang buruk dalam melayani masyarakat memberikan kontribusi terpuruknya Skor Indeks Persepsi Korupsi Indonesia, dari 38 pada 2021 menjadi 34 di 2022. Hasil ini juga membuat peringkat Indonesia turun dari posisi 96 menjadi 110. Di kawasam Asia Tenggara, Indonesia berada di bawah Singapura, Vietnam, Malaysia, dan lain-lain. Skor IPK Indonesia anjlok hingga empat poin ini merupakan terburuk 1995 atau sebelum reformasi.
Dalam iklim budaya yang masih paternalistik, diperlukan kepemimpinan yang tangguh, inovatif, risk taker, dan menginspirasi untuk mengakselerasi kinerja birokrasi. Birokrasi yang ideal, kata Max Weber, bapak teori organisasi dari Jerman, ialah birokrasi yang memberikan kepastian dalam pembagian kerjanya, hierarki yang jelas, kontrak jabatan, kualifikasi profesionalitas, pengendalian, dan pengawasan.
Semua fungsi organisasi harus berjalan secara rasional, tidak ada like and dislike, apalagi geng-gengan seperti sinyalemen Komisi Pemberantasan Korupsi di Kementerian Keuangan. Sinyalemen geng-gengan ini mencuat pascaterungkapnya transaksi jumbo dari rekening Rafael Alun Trisambodo, mantan pejabat eselon III di Direktorat Jenderal Pajak Kemenkeu yang tengah diperiksa KPK. Tabik!