Restore IT Media



Ahmad Punto Dewan Redaksi Media Group - 19 January 2023, 05:00 WIB
img
MI/Ebet

ALKISAH pada suatu masa yang katanya sudah modern, serbadigital dengan dukungan kecanggihan teknologi 5.0 bahkan lebih, muncullah sebuah permainan tradisional yang tiba-tiba menjadi tren.

Namanya lato-lato. Permainannya biasa saja, tidak neko-neko, sama sekali tidak mencerminkan kecanggihan atau modernitas. Cara mainnya hanya membentur-benturkan dua bola plastik yang terhubung oleh tali atau gagang tipis yang juga terbuat dari plastik. Amat sederhana.

Namun, entah kenapa permainan lama itu mendadak kembali digandrungi banyak orang. Sepertinya gara-gara Tiktok, sebuah medium yang memang kerap kali membuat sesuatu yang kita pikir biasa saja tiba-tiba menjadi viral tanpa rumusan sebab musabab yang pasti.

Hari ini, lato-lato dimainkan banyak orang, bahkan hampir semua orang. Tidak pandang usia, tidak kenal kasta, tidak pula melihat strata, apalagi agama. Dari anak SD sampai mahasiswa, dari pekerja kantoran sampai pelaku UMKM, dari yang mungkin sedang merintis bisnis startup hingga pengangguran, ujug-ujug semua jadi pemain lato-lato.

Tentu ada yang bisa memainkannya dengan fasih, tapi kebanyakan tidak. Yang penting mencoba; bisa atau tidak, urusan lain. Selanjutnya yang ada hanya tertawa dan gembira. Sepertinya tidak ada orang yang jadi stres atau depresi gara-gara gagal memainkan lato-lato.

Lantas, sekadar permainan yang sedang populer tanpa maknakah lato-lato? Mestinya, sih, tidak. Kata pujangga, selalu ada makna pada setiap putaran bumi berikut seluruh isinya. Lato-lato pasti punya makna di balik kesederhanaannya. Minimal ia mampu membuat orang senang, sejenak melupakan kepenatan hidup yang saban hari rajin menghampiri.

Lato-lato ialah sarana untuk jeda sekaligus instrumen bagi kita untuk mau menertawakan ketidakmampuan kita sendiri. Bukankah orang bijak pernah bilang, level tertinggi manusia itu terjadi ketika ia sudah mampu menertawakan kebodohan atau kekurangan diri sendiri? Tanpa kita sadari, lato-lato mungkin sedang membawa kita menuju derajat kearifan tertinggi sebagai manusia. Amin.

Dengan sudut pandang lain, lato-lato juga memberi pesan sebagai sindiran bagi kehidupan. Itu kiranya yang barangkali ingin disampaikan KH Mustofa Bisri atau Gus Mus melalui posting-an di akun Instagram-nya, awal pekan ini. Gus Mus memasang gambar alat permainan lato-lato disertai caption yang pendek, tapi menusuk, '#FatwaAhad: Jika bukan mainan, jangan mau dibentur-benturkan'.

Singkat, padat, lugas. Kalau boleh kita menafsirkan, konteks kalimat pendek itu sepertinya merujuk pada kondisi masyarakat belakangan ini yang begitu mudah dibentur-benturkan. Publik gampang sekali dihadap-hadapkan, coba dikutub-kutubkan tangan-tangan kuat tak kasatmata. Analoginya mirip dengan lato-lato, rakyat ibarat bolanya, sedangkan sang penguasa yang memegang gagangnya, memainkannya sesuka hati sembari terkekeh.

Karena itu, lato-lato sejatinya alat untuk mengingatkan kita sebagai insan berjiwa agar jangan pernah mengerdilkan diri sendiri dengan memosisikan diri hanya sebagai mainan. Jika ia pasrah menjadi mainan, nasibnya tidak akan jauh-jauh seperti bola lato-lato. Dibenturkan terus-menerus sampai yang memainkannya bosan dan berhenti.

Lantas bagaimana ikhtiar kita supaya tidak berakhir sekadar menjadi lato-lato? Salah satu jawabannya, jika merujuk pada penelitian Sulfikar Amir, associate professor bidang sosiologi di Nanyang Technological University, Singapura, yang ditulis di kolom opini Media Indonesia, Senin (16/1), ialah memperkuat kohesi sosial.

Kohesi sosial yang kuat, sesuai dengan hasil penelitian yang dia lakukan untuk wilayah Jakarta, akan menutup ruang munculnya fenomena pengutuban (polarisasi). Itu berarti pula ketahanan fondasi sosial yang tinggi akan meminimalkan celah bagi kekuatan-kekuatan tak terlihat yang terus berniat membentur-benturkan rakyat.

Jadi, silakan mainkan terus lato-lato Anda karena itu bisa membahagiakan Anda. Namun, jangan lupa resapi pula maknanya.

BERITA TERKAIT