Gaya Hidup Pejabat



Abdul Kohar Dewan Redaksi Media Group - 01 October 2022, 05:00 WIB
img
MI/Ebet

GAYA hidup memang wilayah privat. Ia menjadi hak setiap orang, asal tidak mengganggu orang lain. Namun, wilayah privat itu bisa menjadi urusan publik bila menyangkut pejabat publik. Gaya hidup pejabat bukan sekadar ranah privat karena ada hak publik yang melekat dalam kehidupan pejabat.

Kehidupan pejabat disokong publik. Gaji mereka diambil dari pajak rakyat. Karena itu, gaya hidup pejabat pun tidak boleh lepas dari pengawasan publik. Rakyat justru wajib kepo dengan kehidupan pejabat karena ada hak publik untuk tahu, digunakan untuk apa saja uang rakyat tersebut.

Dalam spirit seperti itulah, teguran Presiden Joko Widodo terhadap gaya hidup pejabat amat relevan. Jokowi menyindir para pejabat yang sering bepergian ke luar negeri saat kondisi negara sedang terdampak oleh krisis global. Terlebih, perjalanan para pejabat ke luar negeri itu dipamerkan lewat akun Instagram mereka.

Padahal, kata Jokowi, Indonesia sudah punya berbagai destinasi wisata yang sangat bagus. Kenapa dalam situasi krisis global seperti ini malah berbondong-bondong keluar negeri? "Dipamer-pamerin di Instagram, apalagi pejabat," ujar Jokowi dalam sambutannya pada acara pengarahan Presiden RI kepada seluruh menteri/kepala lembaga, kepala daerah, pimpinan BUMN, pangdam, kapolda, dan kajati, di Jakarta, tengah pekan ini.

Kepala Negara lalu mencontohkan apa yang ia lakukan. "Saya diundang ke luar negeri mungkin setahun bisa lebih dari 20 undangan. Saya datang paling dua atau tiga. Betul-betul saya rem, ini ada manfaat konkret atau enggak karena juga keluar uang kita ke luar (negeri) itu," tegasnya.

Menurut Presiden, kondisi-kondisi seperti ini harus diberitahukan kepada masyarakat. Tujuannya mengajak masyarakat mengutamakan kunjungan ke destinasi wisata di dalam negeri. Jika pejabat berbondong-bondong ke luar negeri lalu masyarakat mengikuti hal serupa, devisa kita pun ikut lari ke luar negeri.

Ada dua hal yang saya tangkap dari pesan Presiden kepada pejabat itu. Pertama, jadi pejabat mesti memberikan teladan kepada publik untuk bergaya hidup sederhana. Apalagi, dalam situasi 'paceklik' ekonomi akibat naiknya harga-harga, pejabat mesti memiliki ketajaman sense of crisis. Mesti memiliki empati.

Hobi jalan-jalan ke luar negeri lalu dipamerkan di media sosial bukan saja miskin empati, melainkan malah juga melukai hati publik. Ditambah situasi perekonomian masyarakat yang belum sepenuhnya pulih dari hantaman krisis ekonomi. Aksi itu serasa luka di atas luka. Luka yang digarami.

Hal kedua, kritik Kepala Negara yang disertai contoh bagaimana Jokowi menyeleksi undangan ke luar negeri merupakan peringatan telak agar pejabat bersikap autentik. Pejabat itu harus satu kata dengan perbuatan. Pejabat dan pemimpin itu mesti menempatkan anjuran dan kenyataan dalam satu tarikan napas.

Bagaimana mungkin pejabat bisa mengajak rakyatnya untuk mencintai destinasi pariwisata Indonesia, sedangkan ia sendiri kerap melancong ke mancanegara? Rakyat akan melihat dan mencatat apa yang telah dilakukan pejabat mereka. Ajakan hanya menjadi angin lalu bila yang mengajak kerap mempertontonkan pelesiran ke luar negeri tanpa sedikit pun rasa malu.

Di Podium ini saya pernah menulis bagaimana gaya hidup bisa menjadi cermin dari keserakahan yang tidak bertepi. Dari gaya hidup bisa bermuara pada korupsi. Godaan hedonisme yang tidak berujung membuat rakyat harus terus membayar untuk sesuatu yang tidak mengenal kata cukup.

Orang, juga sejumlah pejabat, kian tergoda berkiblat pada mazhab Kyrene yang didirikan Aristippus. Mazhab itu menawarkan ajaran hedonisme sebagai tujuan kehidupan etis, tujuan hidup yang dianggap paling mulia dari setiap manusia. Semua tindakan manusia akan dianggap baik apabila tindakan tersebut mendatangkan kenikmatan yang berpangkal pada kesenangan.

Manusia yang bijaksana, kata pengikut mazhab itu, ialah manusia yang mencari kenikmatan sebesar-sebesarnya di dunia ini. Ironisnya, demi pencapaian itu, manusia harus rela melepaskan segala norma, susila, dan etika, bahkan bila perlu agama yang dianggap membelenggu.

Hedonisme merupakan paham materialisme mekanistik, yang menganggap kenikmatan egoistis sebagai tujuan akhir kehidupan manusia. Paham seperti itu begitu sukar dibendung.

Inilah yang dikhawatirkan filsuf tersohor Plato. Ia sangat mengecam kekayaan dan kemewahan. Plato berpandangan setiap orang bisa hidup sejahtera secara merata maka manusia perlu dan berkewajiban mengendalikan nafsu keserakahannya untuk memenuhi semua keinginan yang melebihi kewajaran.

Sejalan dengan pandangan gurunya itu, filsuf Aristoteles menganggap kebutuhan manusia itu tidak terlalu banyak, tetapi keinginannyalah yang relatif tidak terbatas. Padahal, kebutuhan dan keinginan ialah dua sisi yang berbeda. Era kini, industri modern bekerja keras hingga sukses mengubah keinginan menjadi motif kebutuhan.

Peringatan Presiden kepada para pejabat sejalan dengan renungan Plato dan Aristoteles itu. Ajakan itu sangat relevan, tidak berlebihan, bahkan mesti dijalankan.

BERITA TERKAIT