Hakim (masih) Wakil Tuhan?



Abdul Kohar Dewan Redaksi Media Group - 24 September 2022, 05:00 WIB
img
MI/Ebet

BERTAHUN-TAHUN publik menyebut ada praktik mafia hukum di negeri ini. Namun, berbilang tahun pula para penegak dan pelaku hukum menyangkal terma itu. Kata mereka, itu ulah oknum, bukan kerjaan berjejaring laiknya mafia.

Hingga kemudian fakta menunjukkan kebenaran dugaan publik itu. Satu demi satu para penegak hukum ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena kasus rasuah. Ada yang ditangkap basah. Ada yang terkena operasi tangkap tangan. Ada yang terjaring operasi senyap.

Bahkan, kasus akhir pekan ini membuktikan secara telak bagaimana mafia hukum bekerja hingga menyentuh puncak dan benteng keadilan: hakim agung Mahkamah Agung. Sudrajad Dimyati, sang hakim agung itu, ditetapkan sebagai tersangka KPK karena diduga menerima suap Rp800 juta untuk memenangkan perkara di MA.

Tidak perlu lagi penyangkalan. Tidak berguna lagi berlindung di balik kata 'oknum'. Mafia hukum itu nyata dan eksis. Data KPK menunjukkan, sejauh ini sudah ada 34 koruptor dari aparat penegak dan pelaku hukum.

Perinciannya, ada 21 koruptor dengan profesi hakim, 10 koruptor jaksa, 3 koruptor polisi, dan 13 koruptor ialah pengacara. Dari beragam profesi di bidang hukum itu, jumlah koruptor terbanyak ialah hakim. Level hakimnya pun dari seluruh tingkat, dari pengadilan negeri hingga hakim MA.

Wajar belaka bila banyak yang masygul dengan kenyataan itu. Lembaga hukum tertinggi yang seharusnya menjadi tempat bagi masyarakat untuk mencari keadilan (bahkan menurut Hotman Paris Hutapea, rakyat itu 'mengais keadilan'), justru menjadi lahan bertransaksi bisnis bagi mereka yang punya kuasa dan uang. Beberapa hakim pun sudah memperdagangkan pengaruh.

Mereka, yang memperdagangkan kuasa yudikatif itu tak peduli dengan predikat 'wakil Tuhan' di muka bumi. Sebutan yang sudah hidup lebih dari lima abad itu sangat melekat karena orang yang beragama percaya bahwa yang memiliki kuasa untuk menentukan mana yang benar dan salah ialah Tuhan.

Oleh karena itu, hakim disebut sebagai 'wakil Tuhan' di dunia. Sebagai 'wakil Tuhan', hakim diberi tugas dengan tanggung jawab yang besar oleh negara, yaitu untuk mengadili pihak yang benar dan salah. Dengan 'predikat' seperti itu, semua orang berharap hakim memberikan keadilan untuk semua orang.

Tanpa predikat 'wakil Tuhan' pun sejatinya posisi seorang hakim tidak sama dengan penegak hukum lainnya. Ia pengadil, di tengah, memiliki tempat lebih tinggi daripada siapa pun di ruang sidang. Pada ujung palunya diletakkan nasib para pencari keadilan.

Sebelum ia mengetukkan palu vonis, dengan segenap akal dan hati nurani, hakim telah menimbang semuanya. Itulah sebabnya di ruang sidang ia selalu dipanggil 'Yang Mulia'. Hakim itu profesi mulia, officium nobile.

Hakim sesungguhnya hidup dalam dunia sunyi. Dalam kesunyian, ia memiliki waktu lebih banyak untuk berbicara dengan hati nuraninya. Ketika memilih atau setuju dipilih menjadi hakim, sesungguhnya ia telah mengambil risiko berat: menarik diri dari pergaulan yang selama ini ia jalani.

Seorang hakim, mestinya tidak sekadar sanggup menjaga jarak dari riuhnya godaan. Lebih dari itu, ia mesti rela terkucil dan mengucilkan diri. Dalam kesunyiannya itulah ia menemukan kebeningan nurani untuk membuat putusan. Semakin tinggi jabatan sebagai hakim, semakin ketat pengucilan itu ia lakukan.

Begitu diambil sumpah, di ubun-ubun hakim telah dipatrikan 'tulisan' secara tegas: fiat justitia ruat coelum (keadilan harus tetap ditegakkan walaupun langit runtuh). Kasus penangkapan hakim agung Sudrajad oleh KPK membuat skeptisisme publik kian menemukan ruang.

Alih-alih mengukuhkan posisi sebagai 'wakil Tuhan' yang mulia, kasus itu bisa mempertegas skeptisisme publik yang kerap menyebut hakim saat ini justru berperan sebagai rule breaker, perusak keadilan.

Ia menjauh dan kian mengucilkan diri dari kebenaran. Ia justru makin akrab dengan bisnis memperdagangkan pengaruh dan kekuasaan. Hakim agung makin menjauh dari keagungan.

BERITA TERKAIT