02 October 2023, 05:05 WIB

Guru dan Kecerdasan Buatan


Muazzah Muhammad Guru Sekolah Sukma Bangsa Pidie | Opini

MI/Duta
 MI/Duta
Ilustrasi MI

KINI dunia dihebohkan banyaknya penemuan di bidang kecerdasan buatan (artificial intelligence) yang diyakini dapat memudahkan hidup manusia. Salah satunya ialah Chat-GPT, aplikasi yang membantu seseorang untuk menemukan referensi hingga menyelesaikan banyak tugas, berupa tulisan, resume, skrip, dan lain sebagainya dengan bahasa yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan penggunanya.

Jika dulu guru bisa dengan mudah memberikan tugas kepada siswa dengan rentang waktu tertentu, kini guru tak bisa lagi melakukannya. Karena dalam hitungan detik, tugas tersebut dapat diselesaikan dengan sangat mudah.

Sebagai pendidik, guru tak bisa memisahkan diri dari perkembangan teknologi tersebut. Apalagi peserta didik saat ini terdiri atas generasi Z hingga alfa, generasi yang begitu lahir sudah berdampingan dengan teknologi. Mereka hidup dengan segala kemudahan, bahkan bisa dikatakan serbainstan. Hal itu menyebabkan mereka kurang suka dengan hal-hal yang dianggap bertele-tele dan membutuhkan waktu.

Dulu, kita, orang dewasa yang masuk kategori generasi milenial dan masih di fase sekolah, akan sabar menghafal kali-kali hingga lekat di dalam ingatan. Kita akan sabar membolak-balik buku untuk mencari jawaban atas pertanyaan yang diajukan guru atau sekadar untuk memenuhi rasa ingin tahu. Namun, kini anak-anak kita akan merasa sangat tersiksa jika diminta untuk mencari jawaban di buku. Mereka akan lebih memilih membuka mesin pintar di gawai untuk menemukan jawaban yang diinginkan.

Bahkan dalam kehidupan sehari-hari pun kita mengalami pergeseran luar biasa. Dulu saat ingin berbelanja, tak ada pilihan kecuali pergi ke pasar atau toko. Sekarang cukup berbaring di tempat tidur pun bisa berbelanja melalui marketplace, dan barang yang diinginkan akan diantar langsung ke alamat yang kita berikan. Bukankah itu merupakan kemudahan yang luar biasa dan niscaya tak dapat kita hindari?

 

Pola pikir tetap 

Paradigma terhadap kecerdasan buatan dalam diri seseorang menjadi penentu apakah akan dipandang sebagai ancaman ataukah tantangan. Orang-orang dengan fix mindset atau cara berpikir yang kaku tetap akan menganggap kecerdasan buatan sebagai hambatan.

Mereka ialah orang-orang yang tidak mau berdamai dan menerima pergeseran zaman, tidak mampu melihat dengan kacamata yang lebih lebar, dan takut untuk berubah. Hal itu akan menyebabkan mereka hanya mampu melihat kekurangan dari perkembangan teknologi.

Menurut Catherine Cote (2022), seseorang dengan pola pikir tetap (fix mindset) menunjukkan kecenderungan sifat yang sulit diubah dan ketidakmauan diri untuk berubah menjadi lebih baik.

Guru dengan pola pikir tetap hanya akan menyalahkan siswa mereka malas belajar karena lebih suka bermain gawai, menganggap gawai sebagai musuh yang menyebabkan 'kebodohan' anak didik. Tidak ada kebaikan yang bisa dilihat guru dengan pola pikir yang kaku terhadap kecanggihan teknologi. Padahal, diri mereka sendiri tanpa sadar mulai terikat dengan kecanggihan yang merambah semua aspek kehidupan.

Bagi guru dengan pola pikir tetap, gaya mengajar mereka sudah baku dan tidak perlu diperbarui, apalagi mengikuti dan memanfaatkan kemudahan teknologi dan kecerdasan buatan yang berkembang saat ini. Mereka akan menganggap bahwa diri mereka tidak butuh teknologi sehingga tetap bisa mengajar dengan style lama, berdalih dulu siswa mereka bisa pintar maka sekarang pun akan tetap bisa pintar. Dengan begitu, tidak perlu berubah, apalagi dibutuhkan usaha untuk belajar agar mampu meningkatkan kapasitas mereka.

 

Pola pikir bertumbuh 

Berbeda dengan orang-orang yang memiliki pola pikir tetap, orang-orang dengan pola pikir bertumbuh (growth mindset) lebih terbuka atas perkembangan teknologi yang terjadi dan berusaha untuk bersinergi dengan perubahan tersebut. Menurut Catherine Cote (2022), orang dengan pola pikir bertumbuh menunjukkan kemauan belajar dan keinginan untuk berubah menjadi lebih baik lagi.

Guru dengan pola pikir bertumbuh akan memandang perkembangan kecerdasan buatan sebagai tantangan agar diri mereka terus berinovasi dan berkarya. Mereka juga akan lebih tertarik untuk belajar dan memanfaatkan kecanggihan yang sudah ada untuk memudahkan pekerjaan mereka, alih-alih mengutuk. Mereka juga tahu bahwa teknologi dapat membantu mereka dalam menyiapkan pembelajaran yang lebih menyenangkan, memberikan tugas yang lebih diminati siswa, dan mampu memperkaya diri dan wawasan mereka sebagai individu dan sebagai guru.

 

Kekuatan berpikir

Kecerdasan buatan memang penemuan yang luar biasa. Namun, menurut Elisa et all, (2023), teks yang dihasilkan dari mesin pintar itu sebagian besar dangkal, hambar, kering, dan tidak punya keunikan. Dengan begitu, kecerdasan buatan seperti Chat-GPT tidak dapat digunakan untuk penulisan yang bersifat akademik, terlebih yang dipublikasikan.

Perkembangan ilmu pengetahuan yang begitu cepat dan keterkaitan antara berbagai disiplin ilmu selalu akan menghasilkan inovasi baru. Hal itu tidak dapat disentuh kecerdasan buatan karena perangkat tersebut belum mampu berpikir kritis tingkat tinggi.

Kemampuan berpikir kritis tingkat tinggi hanya bisa dilakukan otak manusia. Itu disebabkan otak kita dirancang untuk mampu memberikan pendapat yang jauh lebih spesifik berdasarkan pengalaman yang sifatnya unik dan berbeda dengan pendapat orang lain, mengaitkan berbagai bidang keilmuan, serta menemukan inovasi-inovasi baru melalui uji coba hingga penelitian.

Anak-anak yang dibiasakan untuk berpikir kritis akan mampu membangun citra diri, melihat lebih jernih, dan lebih siap untuk menjadi bagian dunia global (John Kehoe & Nancy Fischer; 2020). Dengan kekuatan berpikir, mereka akan lebih memiliki kesadaran dalam melakukan setiap aktivitas dan rutinitas, memilih bakat dan minat mereka, memilih jurusan pendidikan mereka, menjaga kesehatan diri dan mentalmereka, dan memilih pertemanan dan lingkungan sosial yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Hal itu hanya bisa didapat dengan bantuan orang dewasa di sekitar mereka.

Guru mampu menyeimbangkan kecerdasan buatan dengan lebih banyak melakukan proyek-proyek pembelajaran, melakukan praktikum dan uji laboratorium, dan meneliti ilmiah bersama siswa. Kegiatan itu akan menggiring siswa ke proses pembiasaan dan peningkatan kemampuan berpikir kritis tingkat tinggi.

Meskipun kecerdasan buatan berkembang dengan pesat, guru dan siswa tetap mampu menyaingi kecerdasan yang digunakan robot. Sejatinya, kecerdasan buatan diciptakan dari rasa penasaran bagaimana otak manusia bekerja dengan luar biasa dan kita ialah pemilik asalnya! Wallahu a’lam bi al-shawab.

BERITA TERKAIT