01 October 2023, 11:35 WIB

Menimbang Bacawapres Koalisi Indonesia Maju


Syafrizal Rambe, Doktor Ilmu Politik Pengajar Pasca-Sarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta | Opini

Dokpri.
 Dokpri.
Syafrizal Rambe.

BAKAL calon presiden (bacapres) dari Koalisi Indonesia Maju (KIM) Prabowo Subianto dan bacapres yang diusung PDI Perjuangan, PPP, dan partai pengusung lainnya hingga saat ini masih belum menentukan orang yang akan menjadi sekondan masing-masing. Barangkali, banyak pertimbangan yang harus dipikirkan masing-masing bacapres yang membuat Prabowo dan Ganjar terkesan terlambat mengambil sikap dan pilihan. Namun, lepas dari yang sejatinya terjadi pada kedua kubu yang bacapresnya masih 'jomblo' ini, penulis hampir yakin keduanya lebih banyak berkutat pada pertimbangan elektabilitas bacawapres. 

Setidaknya, itu yang dengan telanjang bisa dilihat publik. Dalam pandangan penulis sendiri, seharusnya pertimbangan penentuan seseorang menjadi bacawapres janganlah hanya urusan elektabilitas calon pendamping. Meski kelihatannya kurang berpengaruh dalam Pilpres Indonesia dengan segala euforia khasnya, jangan pernah lupa bahwa seorang cawapres bila terpilih haruslah bertugas sesuai fungsinya. Jika mengacu pada pendapat Indonesianis terkemuka asal Australia, Herbert Feith, Indonesia memerlukan dua tipe kepemimpinan negara yang sebaiknya ada pada masing-masing presiden dan wakilnya. Kedua tipe kepemimpinan, yang disebut Feith sebagai solidarity maker dan administrator itu, di masa lalu berada pada masing-masing pribadi Soekarno-Hatta. 

Representasi luar Jawa 

Jika saya dalam tulisan ini hanya menyoal bacawapres Prabowo, hal itu tak lepas dari fakta yang selama ini saya percayai melalui tulisan dan pemberitaan media massa. Saya percaya bacawapres buat Ganjar dari Koalisi PDIP akan lebih banyak ditentukan oleh Ketua Umum PDIP Megawati Sukarnoputri. Karena sering kali pertimbangan Mbak Mega begitu unik, menurut saya, biarlah hal itu menjadi pemikiran sekaligus beban Mbak Mega sendiri. Saya merasa tak punya kredibilitas untuk urun rembuk.

Sebaliknya untuk bacawapres Prabowo, seseorang yang mampu berperan tak hanya sebagai 'ban serep' di kala datang ketidakberadaan Presiden, melainkan memiliki kemampuan sebagai administrator yang bisa diandalkan Presiden, ialah kebutuhan yang niscaya bagi negeri ini. Untuk itu, akan sangat ideal bila dia seorang teknokrat yang telah teruji andal, intelektual, cendekiawan yang menguasai aspek ketatanegaraan serta kepemerintahan. Lebih baik lagi jika keberadaannya mampu merepresentasikan dua hal yang selama ini terasa khas Indonesia: wakil luar Jawa, dan Muslim. 

Soal luar Jawa bahkan terasa mendesak akhir-akhir ini, seiring fakta betapa yang dibicarakan, digadang-gadang dan dipertimbangkan masing-masing koalisi yang siap bertarung di Pilpres, selalu saja pasangan Jawa-Jawa. Lihatlah Anies-Muhaimin sebagai contoh. Sementara sekian banyak figur yang disebut layak dicalonkan pun umumnya juga orang Jawa. Airlangga Hartarto, Ridwan Kamil, Yenny Wahid, Mahfud MD, Khofifah, Puan Maharani, kecuali Sandiaga Uno dan Erick Thohir, ialah orang Jawa.

Mengingat dua hal itu, representasi luar Jawa dan tokoh Muslim, Prof Yusril Ihza Mahendra (YIM) memenuhi dengan kuat kriteria tersebut. YIM jelas seorang teknokrat yang telah teruji, sehingga dipastikan mampu memainkan peran konstitusionalnya sebagai wapres, yang fokus pada menata negara, membangun sistem yang kuat, dan memperbaiki tatanan birokrasi yang ada. Jangan lupa, selain berfondasikan pengetahuan sebagai ahli tata negara, YIM juga telah bertahun-tahun memimpin partai politik. Apalagi YIM pun teruji sebagai seorang teknokrat yang berpengalaman mendampingi setidaknya lima presiden sejak Presiden Soeharto hingga SBY. 

Dalam hubungannya dengan memelihara solidaritas nasional, YIM juga mewakili dan mampu menjadi ikon wakil luar Jawa serta simbol kalangan Muslim modernis. Kondisi politik nasional terakhir, yang seolah meniadakan peran (warga) luar Jawa dalam pendirian dan pembangunan negeri ini, harus segera dihilangkan. Apalagi bila dihubungkan dengan urusan menghamparkan karpet merah terhadap investasi asing saat ini saat pemerintah cenderung mengabaikan perasaan khusus antara warga dengan tanah tempat ia hidup dan menghidupi selama ini. YIM, dengan demikian menjadi semacam penanda kuat dari Prabowo, bahwa ia dan koalisi sama sekali tak hendak melupakan luar Jawa yang memiliki keagungan arti.  

Pemilihan YIM sebagai bacawapres oleh KIM akan menjadi bukti bahwa KIM sama sekali tak memiliki semangat meneruskan sisi Jawa sentris, sesuatu yang merupakan hal sensitif dalam pembangunan nasionalisme bangsa. Bila merujuk persamaan dengan tokoh bangsa di masa lalu, YIM bisa diibaratkan Sutan Sjahrir, tokoh asal Sumatra yang sempat menjadi perdana menteri dan banyak dalam diplomasi Indonesia di arena internasional. Begitu pula YIM. Sukar untuk menafikkan YIM sebagai seorang negarawan, intelektual, dan politisi yang ikut menyusun berbagai Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa, memimpin delegasi Indonesia ke berbagai pertemuan internasional, serta pernah menjadi Presiden Asia-Africa Legal Consultative Organization yang berkedudukan di New Delhi. 

Pada sisinya sebagai representasi Muslim, YIM ialah sosok politikus Islam moderat yang diterima semua golongan. Meski dikenal sebagai Muslim modernis dalam taksonomi seorang Indonesianis, YIM memiliki sisi hereditas Muslim tradisional-kuktural. Almarhum mantan Presiden RI, Gus Dur, tokoh paling representatif bagi Islam tradisional, pernah mengatakan bahwa kakek YIM ialah seorang ulama NU. Karena itu wajar bila YIM akrab dengan amalan-amalan keagamaan yang dipraktikkan kalangan Nahdlatul Ulama. YIM juga disebut Gus Dur akrab dengan keluarga Hadratusyeikh Hasyim Asy'ari, mulai dari Pak Ud, Gus Dur, serta Gus Solah. 

BERITA TERKAIT