IBU saya berusia 74 tahun. Selain beribadah dan berkebun, rutinitas keseharian beliau lainnya ialah mengisi teka-teki silang. Modalnya cuma pensil, karet penghapus, dan kamus. Aktivitas itu mungkin sekaligus untuk melatih daya kognitifnya. “Jangan apa-apa minta bantuan Google,” begitu nasihat beliau suatu kali kepada salah seorang cucunya.
Bukan berarti ibu antiteknologi. Kendati tidak aktif bermedia sosial seperti halnya Goenawan Mohamad, setidaknya ia juga bersentuhan dengan perangkat canggih tersebut saat mengambil uang pensiun. Sesekali ia juga ikut berswafoto atau melakukan panggilan video bersama anak, menantu, dan cucunya. Begitulah cara beliau memanfaatkan teknologi.
Jika menilik perkembangan zaman sekarang ini, kehadiran teknologi (terutama internet) memang telah banyak mengubah tatanan hidup, mulai pekerjaan, pola komunikasi, hingga kesehatan. Hal itu juga berhubungan dengan bagaimana cara manusia menua di abad ke-21. Berbagai filter yang dibenamkan dalam berbagai aplikasi di telepon genggam ialah ‘ mitos-mitos keabadian’ yang coba diupayakan manusia modern untuk melawan penuaan. Begitu juga dengan berbagai produk skincare dan teknik operasi bedah plastik.
Menjadi tua itu pasti. Bagaimana menyikapinya, itu ialah pilihan. Teknologi dan ilmu pengetahuan menawarkan semuanya. Malas masak dan pergi ke pasar atau restoran, tinggal pesan Gofood. Mau bepergian dan ogah terjebak macet, andalkan Waze atau Google Map. Mau bikin naskah pidato RT, tinggal perintahkan Chat GPT. Serbamudah dan praktis. Tidak peduli tubuh kian tambun, otak dan kepekaan jadi menyusut.
Perkembangan ponsel pintar, internet, dan jejaring sosial online, harus diakui telah mendefinisikan ulang pengalaman dan harapan seputar bertambahnya usia di abad ini. Teknologi semestinya dimanfaatkan dengan bijaksana, termasuk untuk meningkatkan kualitas hidup orang lanjut usia. Ponsel pintar, misalnya, dapat digunakan sebagai sarana komunikasi dan silaturahim agar mereka tidak merasa terlalu kesepian, terlebih yang tinggal berjauhan dengan anak dan cucunya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik pada 2021, terdapat 29,3 juta lansia yang ada negeri ini. Menurut lembaga itu dan juga Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, jumlah mereka yang berusia 65 tahun ke atas diproyeksikan mencapai 19,9% pada 2045. Jumlah para lansia ini memang tidak sebanding dengan mereka yang berusia produktif yang diperkirakan mencapai 60% dari total populasi penduduk pada tahun tersebut, generasi yang disebut-sebut sebagai bonus demografi.
Selain menyiapkan ‘generasi emas’ ini, keberadaan para lansia tentu tidak dapat dikesampingkan begitu saja. Apalagi seiring meningkatnya usia harapan hidup manusia, jumlah para lansia ini bakal terus bertambah. PBB memperkirakan jumlah penduduk yang berusia 65 tahun ke atas di seluruh dunia meningkat dua kali lipat, dari 761 juta pada 2021 menjadi 1,6 miliar pada 2050.
Populasi yang menua dengan cepat ini tentu mempunyai dampak penting, misalnya, pada struktur keluarga, hubungan antargenerasi, belum lagi stabilitas keuangan, baik di lingkup rumah tangga maupun nasional. Biar bagaimanapun mereka ialah aset yang mesti terus diberdayakan, di-recharge. Selamat Hari Lansia.