30 September 2023, 05:15 WIB

Ada Clairefontaine di IKN


Suryopratomo Pemerhati Sepak bola | Opini

MI/Ebet
 MI/Ebet
Suryopratomo Pemerhati Sepak bola

KESEBELASAN Indonesia U-24 harus pulang lebih awal dari ajang Asian Games XIX Hangzhou. Kekalahan 0-2 dari Uzbekistan di 16 besar, Kamis (28/9), membuat tim asuhan Indra Sjafri tersingkir dari gelanggang.

Kegagalan di ajang Asian Games 2023 menunjukkan sepak bola Indonesia tertinggal jauh bahkan di kawasan Asia. Dari empat kali penampilan tim ‘Merah Putih’, hanya sekali mereka meraih kemenangan atas Kirgizstan, sedangkan tiga lainnya menelan pil pahit dari Taiwan, Korea Utara, dan terakhir Uzbekistan.

Kalau mau menghibur diri, bukan hanya Indonesia yang gagal masuk kelompok elite Asia, melainkan juga sepak bola Asia Tenggara. Thailand juga tersingkir dari arena, kalah 0-2 dari Iran, sedangkan Myanmar dihajar Jepang 0-7.

Hasil buruk merupakan buah dari pembinaan yang tidak tertata dengan baik. Selama ini pembinaan pemain muda sama sekali tidak teperhatikan. Kita mau melompat langsung ke tim nasional. 

Pada November, tim Indonesia U-17 akan tampil di ajang Piala Dunia. Semua negara sudah mempersiapkan tim sejak dua tahun lalu. Kita baru Agustus merekrut pemain dan baru bulan lalu memulai pemusatan latihan nasional di Jerman.

Memang penunjukan Indonesia oleh FIFA sebagai tuan rumah dilakukan pada menit-menit terakhir setelah Peru mengundurkan diri. Namun, karena tidak ada sistem pembinaan berjenjang yang kita miliki, rekrutmen pemain terpaksa dilakukan secara ad hoc.

Dengan persiapan yang tidak sampai tiga bulan, terlalu berlebihan jika kita berharap ada prestasi besar di ajang Piala Dunia U-17. Pengalaman di ajang Asian Games seharusnya membuka mata kita bahwa perjalanan menuju panggung sepak bola dunia masih jauh.

Ada angin segar yang kita dapatkan ketika pekan lalu Presiden Joko Widodo meletakkan batu pertama pembangunan pemusatan latihan nasional (pelatnas) sepak bola di Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara. Ada tanah seluas 34,5 hektare yang dipersiapkan untuk membangun tempat pelatnas sepak bola.

Di tempat itu nanti akan delapan lapangan sepak bola dengan berbagai fasilitas pendukungnya, termasuk asrama bagi atlet dan pelatih, yang memungkinkan tim nasional bisa berlatih sepanjang waktu. 

Pelatnas sepak bola itu dibangun atas bantuan pendanaan dari FIFA sebesar Rp85,6 miliar. Pemerintah Indonesia sendiri menyediakan anggaran pendampingan sebesar Rp95 miliar.

Presiden berharap Pusat Latihan Nasional Sepak Bola nanti ditangani dengan manajemen yang baik. Dari tempat itu, diharapkan lahir tim Garuda yang tangguh, bukan hanya juara di level Asia Tenggara, melainkan juga dunia.

Sebagai olahraga yang paling populer di muka bumi, bukan hanya Indonesia yang memimpikan untuk menjadi juara dunia. Semua negara berharap memiliki tim nasional yang kuat dan menjadi yang terbaik di dunia.

Untuk mencapai mimpi besar itu, tidak cukup hanya menyediakan hard power seperti sarana dan prasarana sepak bola. Yang jauh lebih penting lagi ialah penyiapan soft power, sebuah sistem pembinaan pemain yang benar dimulai dengan pembinaan pemain usia dini.

Itu harus menjadi sebuah gerakan nasional, dimulai dari pembinaan klub-klub yang ada di seluruh Indonesia. Bahkan yang menyatakan dirinya sebagai klub profesional, mereka harus memiliki akademi sepak bola serta pembinaan kelompok umur.

Semua harus ditopang dengan pelatih-pelatih berkualitas sesuai dengan kelompok umur yang ditangani. Tidak bisa orang yang tidak memiliki kualifikasi pelatih tiba-tiba ditunjuk sebagai pelatih.

Tugas dari asosiasi untuk menyediakan pelatih-pelatih yang berkualitas dan memiliki standar kompetensi yang terverifikasi. Asosiasi tidak hanya memperhatikan pelatnas tim nasional, tetapi juga yang lebih utama membuat pelatihan dan uji kompetensi dari pelatih sepak bola yang
ada di Indonesia.


Clairefontaine

Yang dibutuhkan Indonesia sekarang ini apabila ingin masuk ke jajaran elite sepak bola Asia, apalagi dunia, bukanlah membangun tempat pelatnas. Indonesia seharusnya membangun akademi sepak bola nasional yang menjadi rujukan bagi pembinaan sepak bola di daerah.

Kita seharusnya mengikuti jejak Prancis dalam mengatasi ketertinggalan sepak bola mereka. Menyadari bahwa standar dan prestasi Prancis jauh dari Jerman dan Italia, Presiden Federasi Sepak Bola Prancis Fernand Sastre pada 1976 menunjuk Stefan Kovacs menyiapkan pusat sepak bola nasional.

Setelah keberhasilan Prancis memenangi Piala Eropa 1984, dipilihlah sebuah lokasi 50 km sebelah barat daya Paris, yakni Clairefontaine-en-Yvelines. Pembangunan akademi sepak bola di atas tanah seluas 56 hektare yang dimulai 1985 itu selesai dalam tiga tahun.

Sejak 1988, setiap anak berusia 12 tahun dari distrik Ilede-France, seputaran Paris, pada Oktober bisa mendaftarkan diri melalui klub sepak bola yang ada di dekat tempat tinggal mereka. Hingga Desember, mereka akan dites di klub masing-masing sebelum kemudian yang terbaik dibawa ke Clairefontaine.

Biasanya pada saat libur Paskah, selama tiga hari, para pemain muda berbakat itu melakukan tryout di Clairefontaine. Direktur akademi dan pelatih yang ada di Clairefontaine kemudian akan memilih 22 pemain terbaik dengan tiga atau empat di antaranya untuk posisi kiper.

Para pemain yang terpilih itu kemudian harus tinggal di Asrama Clairefontaine. Mulai Senin hingga Jumat, mereka mengikuti berbagai latihan, baik fisik maupun teknik sepak bola. 

Selain itu, mereka diwajibkan mengikuti pendidikan sekolah yang ada di dekat Clairefontaine. Hanya akhir pekan mereka diizinkan kembali ke rumah untuk bertemu keluarga atau berlatih di klub sepak bola tempat mereka berasal. Semua biaya selama di Clairefontaine ditanggung Federasi Sepak Bola Prancis.

Clairefontaine hingga kini dikenal sebagai akademi sepak bola terbaik di dunia. Akademi itu melahirkan bintang-bintang sepak bola yang membawa Prancis ke puncak prestasi tertinggi mereka? seperti Thierry Henry, Louis Saha, Nicolas Anelka, dan Kylian Mbappe.

Bahkan, Prancis kini tidak hanya memiliki satu akademi sepak bola di Clairefontaine, tetapi juga ada 12 lainnya di berbagai kota. Anak-anak yang tinggal di Castelmaurou, Chateauroux, Lievin, Dijon, Marseille, Ploufragan, Vichy, Reims, Reunion, Saint-Sebastien-sur-Loire, Guadeloupe, dan Talence bisa masuk akademi di dekat mereka tinggal.

Sepak bola membutuhkan pemimpin yang visioner, tetapi juga sabar sebab tidak ada simsalabim dalam sepak bola. Prancis butuh 10 tahun setelah Clairefontaine terbangun untuk menghasilkan pemain dan menjadi juara dunia. Banyak juga yang sudah memiliki akademi yang baik, tertapi belum berhasil menjadi juara dunia. Jadi mimpi di siang hari bolong kalau kita berharap menjadi juara dunia, tetapi tidak memiliki akademi sepak bola.

BERITA TERKAIT