29 September 2023, 05:00 WIB

Pengujian Batas Usia Capres-Cawapres


Atang Irawan Ahli hukum tata negara | Opini

MI/Duta
 MI/Duta
Ilustrasi MI

PERHELATAN politik lima tahunan merupakan simplikasi demokratisasi dalam sebuah negara, atau lebih dikenal sebagai instrumen formil demokrasi. Di dalam arena tersebut mengisyaratkan rotasi kekuasaan yang diyakini sebagai bagian dari representasi kepentingan rakyat.

Kontestasi politik yang tinggal beberapa bulan lagi, tepatnya 14 Februari 2024, telah memacu atmosfer politik semakin terasa bergelombang di antara para kontestan ataupun konfigurasi partai politik (parpol). Parpol diberikan legitimasi konstitusional untuk menjadi institusi rekrutmen jabatan-jabatan kenegaraan termasuk Presiden dan Wakil Presiden.

Orkestrasi pencalonan Presiden dan Wakil Presiden menjadi potret elektoral bagi parpol pengusung ataupun pendukung dalam rangka meyakinkan rakyat untuk menentukan pilihannya. Parpol dan/atau gabungan parpol dituntut mereka-reka strategi jitu dalam rangka menemukan formulasi pasangan capres-cawapres.

Saling-silang di antara parpol dalam menentukan koalisi untuk memenuhi presidential threshold sebagai tiket menuju perhelatan 2024 semakin dinamis. Bahkan, terkesan telah terjadi turbulensi politik hingga dramatisasi penegakan hukum yang terjerembap dalam skema aura pemilihan presiden dan wakil presiden.

Di tengah tarik ulur pendaftaran pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) pada Oktober ini terdapat atmosfer politik yang menakjubkan, yaitu proses pengujian batas minimal usia capres dan cawapres di Mahkamah Konstusi (MK). Muncul berbagai pertanyaan publik, adakah kepentingan mendesak sehingga perlu diuji perihal soal batas minimal usia capres dan cawapres itu? Kenapa pengujian dilaksanakan pada saat tahapan pemilu sudah berjalan?

Pasal 169 huruf q UU Nomor 17/2017 tentang Pemilu menyatakan bahwa syarat menjadi capres dan cawapres ialah berusia paling rendah 40 tahun. Berbagai macam permohonan telah diperiksa dalam persidangan MK dari yang mengajukan permohonan batas usia minimal 21 tahun, 25 tahun, 30 tahun, dan 35 tahun.

Argumentasi atas permohonan pengujian batas minimal usia capres dan cawapres itu dilakukan dengan berbagai perspektif. Sebagai catatan dalam negara demokrasi pergumulan pemikiran ialah hal biasa dan merupakan kewajaran. Bahkan, perbedaan menjadi magnitude bagi tegaknya pilar demokrasi sepanjang dalam koridor konstitusi.

Kedudukan MK sebagai guardian of constitution menjadi bagian dari mengurai dan melerai dinamika argumentasi terkait dengan penafsiran atas konstitusionalitas hak warga negara, yang mempertanyakan kedudukan konstitusi atas norma perundangan yang dianggap berdampak kerugian konstitusional hak-hak fundamental rakyat.

Indonesia pernah menetapkan Perdana Menteri Sutan Syahrir pada usia 36 Tahun. Syahrir diangkat Presiden Soekarno dan ditugaskan menjalani roda pemerintahan serta bertanggung jawab kepada Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) atau Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS).

Di banyak negara muncul pemimpin di bawah usia 40 tahun, misalnya Kim Jong-un, pemimpin Korea Utara berusia 35 tahun. Sanna Marin, Perdana Menteri Finlandia (34 tahun), Perdana Menteri Ukraina Olesksiy Valeriyovych (35 tahun), Pemimpin Selandia Baru Jacinda Ardern (39 tahun), dan Sheikh Tamim bin Hamad Al-Thani dari Emir Qatar (39 tahun).

Bahkan, jika menelaah partisipasi politik dalam kontestasi politik 2024, sekitar 56% pemilih yang terdaftar ialah berusia di bawah 40 tahun sehingga ini juga yang menjadi magnitude bagi para pemohon untuk mengajukan judicial review ke MK.

Tidak sedikit publik khawatir bahwa permohonan tersebut beririsan dengan kepentingan calon yang pada Oktober 2023 menginjak usia 35 tahun. Namun, terlepas dari itu, jika MK mengabulkan permohonan, setiap orang yang berusia minimal 35 tahun berhak dicalonkan menjadi capres dan cawapres oleh parpol dan/atau gabungan parpol.

Saat ini gairah publik terfokus pada permohonan pengujian syarat batas minimal usia capres dan cawapres karena baru ada satu pasangan capres-cawapres, yaitu Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar. Sementara itu, capres lain, yakni Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo belum ada pasangan. Karena itu, wajar publik bertanya apakah penetapan cawapres harus menunggu putusan MK, padahal MK dalam pengujian terhadap UU tidak terpaku batas waktu.

Pertanyaan publik dalam momentum kontestasi politik itu menjadi hal menarik. Apalagi Ketua MK Anwar Usman mencontohkan Nabi Muhammad SAW yang mengangkat panglima perang berusia 17 tahun, Muhammad Alfatih melawan kekuasaan Bizantium, mendobrak Konstantinopel yang sekarang menjadi Istanbul. "Saya tidak menyinggung apa pun putusan. Jangan dikaitkan dulu," kata Anwar Usman.

MK pernah mengabulkan permohonan mengenai batas usia jabatan publik. Di antaranya soal usia pensiun panitera MK, usia pensiun jaksa, dan usia minimal anggota Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Namun, MK juga pernah menolak permohonan pengujian batas usia. Paling tidak delapan putusan menyatakan ditolak dan lima permohonan tidak dapat diterima atau NO (niet ontvankelijke verklaard).

 

Ujian bagi MK

Eksistensi MK saat ini sedang diuji. Pasal yang dimohonkan oleh pemohon sesungguhnya bukanlah urusan konstitusionalitas, melainkan urusan teknis yang bukan merupakan kewenangan MK untuk menguji dan/atau menafsirnya sehingga MK tidak berwenang mengabulkan permohonan tersebut dengan alasan-alasan di luar konstitusionalitas, kecuali terdapat unsur diskriminasi. Batas usia capres dan cawapres sama sekali tidak terdapat unsur diskriminasi.

Jika MK memutus batas usia sebagaimana dimaksud karena berdimensi diskriminatif, lantas apakah 35 tahun dan/atau di bawah 35 tahun tidak berimplikasi mengandung makna diskriminatif? Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa 'Syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden diatur lebih lanjut dengan undang-undang'.

Dengan demikian, perumus UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa urusan usia capres dan cawapres merupakan kewenangan pembentuk undang-undang, yaitu Presiden dan DPR sebagai positif legislation. Dengan demikian, norma tersebut jelas bukan urusan konstitusionalitas, melainkan urusan pembentuk UU atau open legal policy.

Menelaah UUD 1945, terkait dengan usia jabatan-jabatan kenegaraan diserahkan kepada lembaga pembentuk UU. Para perumus UUD 1945 berkeyakinan bahwa batas usia jabatan kenegaraan bersifat dinamis. Jika dirumuskan dalam UUD 1945, akan menjadi statis dan tidak mudah menyesuaikan dengan dinamika perkembangan sosial-politik kenegaraan.

Karakter dinamis juga dapat dilihat dari syarat usia hakim konstitusi semula minimal 47 tahun berubah menjadi 55 tahun, bahkan akan diubah lagi dalam UU MK menjadi 60 tahun. Demikian juga dengan syarat kelembagaan negara lain tidak diatur dalam konstitusi, seperti DPR, DPD, dan DPRD ialah 21 tahun, Komisi Yudisial ialah 40 tahun, hakim agung ialah 45 tahun, dan BPK ialah 35 tahun.

Berbahaya jika konstitusi mengatur syarat minimal dan maksimal usia jabatan kenegaraan karena jika terjadi perkembangan dinamika kenegaraan, harus mengubah konstitusi. Padahal perubahan UUD 1945 berdasarkan Pasal 37 UUD 1945 termasuk dalam kategori rigid dan tidak mudah. Konstitusi tidak mengatur hal-hal yang bersifat teknis, bahkan termasuk hal yang bersifat penting, melainkan hanya hal-hal pokok dan mendasar.

Jika MK memutus batas usia capres dan cawapres, terkunci sudah dinamika perkembangan ketatanegaraan termasuk dinamika kebangsaan. Memperhatikan perkembangan keterangan DPR dan pemerintah sesungguhnya tersirat bahwa perubahan batas minimal usia capres dan cawapres ialah sebuah kewajaran.

Bagi penulis, batas usia minimal capres dan cawapres bukanlah masalah konstitusionalitas, melainkan merupakan open legal policy berdasarkan Pasal 6 ayat (2) UUD 1945. MK tidak berwenang memutus hal-hal yang bersifat teknis apalagi tidak menyangkut urusan konstitusionalitas. Jika MK memutus, norma batas usia minimal capres dan cawapres menjadi stagnan, dan bahkan bisa menabrak konstitusi.

BERITA TERKAIT