LAPORAN neraca perdagangan luar negeri terakhir terbitan Badan Pusat Statistik menghadirkan kontradiksi. Nilai impor pada Agustus ‘hanya’ mencapai US$18,88 miliar atau turun 3,53% secara bulanan. Dalam hitungan tahunan, nilai impor itu juga terkontraksi cukup dalam sebesar 14,77%.
Di satu sisi, penurunan impor dipahami awam sebagai berita baik. Pendapatan nasional, toh, diperoleh dari penjumlahan antara belanja konsumsi rumah tangga, pengeluaran investasi dunia usaha, belanja pemerintah, dan pengeluaran ekspor ke luar negeri, lalu dikurangi dengan belanja impor dari luar negeri.
Sebagai faktor pengurang, penurunan impor mengindikasikan terjadi kenaikan pendapatan nasional. Artinya, aktivitas ekonomi domestik semakin menggeliat. Namun, berita baik di atas seketika berubah menjadi sebaliknya tatkala memelototi lebih detail lagi komponen penurunannya.
Penurunan impor paling tajam terjadi pada bahan baku/penolong yang tercatat US$13,34 miliar, turun 4,13% secara bulanan atau merosot 20,39% secara tahunan. Demikian pula, impor barang modal menembus US$3,40 miliar, kempis 4,56% secara bulanan atau menyusut 3,97% secara tahunan.
Di sisi lain, komoditas ekspor Indonesia sebagian besar berupa bahan mentah, sedangkan produk ekspor industri manufaktur didukung bahan baku, barang setengah jadi, dan barang modal yang berasal dari impor. Artinya, penurunan impor menunjukkan aktivitas ekonomi yang belum kuat.
Alhasil, ada korelasi yang kuat antara pergerakan ekspor dan impor. Penurunan kinerja ekspor seolah menjadi bukti pendukung yang valid. Nilai ekspor Indonesia pada Agustus 2023 mencapai US$22 miliar, anjlok 21,21% jika dibandingkan dengan periode tahun lalu, tetapi menanjak 5,47% secara bulanan.
Kenaikan ekspor dan penurunan impor bulanan berefek pada surplus neraca dagang (trade account). Kendati bisa dipertahankan selama 40 bulan berturut-turut, surplus neraca dagang masih belum cukup menutup defisit neraca jasa (service account). Konsekuensinya, neraca transaksi berjalan (current account) kembali defisit.
Jika ditelusur sedikit ke belakang, Indonesia pertama kali mengalami defisit neraca transaksi berjalan pada akhir 2011. Sejak itu, neraca transaksi berjalan selalu bersaldo negatif. ‘Anomali’ surplus neraca transaksi berjalan hanya terjadi pada masa pandemi covid-19 lantaran impor jasa turun drastis.
Bukan sebuah kebetulan jika pada tahun itu pula, keseimbangan primer (primary balance) APBN (anggaran pendapatan dan belanja negara) mulai bersaldo minus. Artinya, hipotesis defisit kembar (twin deficit) berlaku. Ketidakseimbangan keuangan sektor pemerintah dan sektor privat saling mengonfirmasi.
Kembali pada pembicaraan ekspor-impor, defisit neraca transaksi berjalan menawarkan implikasi yang tidak ringan pada ekonomi makro. Implikasi utama tertuju pada nilai tukar rupiah. Per definisi, eksportir barang/jasa ialah pemasok (supplier), sedangkan importir berstatus sebagai peminta (demander) valuta asing.
Selama neraca transaksi berjalan masih bersaldo defisit, nilai tukar rupiah sejatinya tidak ‘berhak’ berapresiasi, tetapi cenderung terdepresiasi dengan volatilitas yang tinggi pula. Intervensi bank sentral untuk stabilisasi nilai tukar rupiah di pasar valuta asing bisa menggerus kuantitas cadangan devisa.
Guna menghindari intervensi yang masif, defisit neraca transaksi berjalan ditutup dengan mengharapkan surplus dari neraca finansial (financial account) dan neraca modal (capital account). Surplus neraca finansial bertumpu pada aliran masuk modal asing lewat portofolio aset finansial di pasar keuangan dalam negeri.
Namun, mengandalkan sepenuhnya pada surplus neraca finansial sangat berisiko. Kepemilikan portofolio aset finansial bersifat jangka pendek. Modal asing bisa segera masuk ketika aset finansial memberikan prospek pendapatan yang tinggi. Sebaliknya, ia juga bisa seketika keluar tatkala sudah tidak nyaman.
Relatif lebih ideal jika tambahan pasokan valuta asing bersumber dari surplus neraca modal melalui penanaman modal asing (PMA) secara langsung. Penciptaan lapangan kerja, pemerataan pendapatan sektoral/regional, bahkan transfer teknologi ialah manfaat nyata yang bisa diturunkan dari PMA.
Hanya, PMA itu bersifat jangka panjang. Ia tidak bisa diharapkan segera terwujud. PMA yang secara prinsip telah disetujui pemerintah pun kadang (bahkan sering) tidak selalu terjelma menjadi proyek konkret. Banyak determinan yang memengaruhi keputusan investor asing dalam menanamkan modal mereka.
Kalaupun surplus neraca finansial dan neraca modal bisa menutup defisit neraca transaksi berjalan, persoalan tidak berhenti di situ. Kepemilikan portofolio mengharuskan penerbit surat utang memberikan imbalan pendapatan kepada investor mereka. Cerita yang sama juga berlaku pada model PMA tadi.
Oleh karenanya, pembayaran pendapatan sekunder kepada pemodal asing akan berperan lebih dominan dalam performa neraca transaksi berjalan. Intinya, pembayaran pendapatan sekunder menjadi bandul pemberat bagi defisit neraca transaksi berjalan yang berimbas kembali pada depresiasi nilai tukar rupiah.
Sampai di sini, interdependensi antara defisit neraca transaksi berjalan dan nilai tukar rupiah mirip dengan pertanyaan klasik dahulu mana ayam dengan telur. Memasukkan variabel neraca finansial dan neraca modal membawa persoalan ke dalam ‘lingkaran setan’ yang tidak jelas ujung dan pangkalnya.
Alhasil, langkah radikal mutlak diperlukan untuk memotong ‘lingkaran setan’ di atas. Sudah saatnya neraca transaksi berjalan Indonesia bersaldo nol atau syukur-syukur surplus. Sebagai rujukan, Indonesia dan Filipina ialah dua negara di ASEAN yang masih berkutat dengan masalah defisit neraca transaksi berjalan.
Pada titik ini, peningkatan produktivitas menjadi kunci pembuka. Lewat jalur itu, Indonesia mampu menjadi negara produsen tulen, alih-alih produsen yang bergantung pada produk impor dan punya kapasitas mengekspor barang yang memiliki nilai tambah tinggi, bukan sebatas bahan mentah.
Pada akhirnya, kontradiksi yang termaktub pada kinerja ekspor-impor akan terkikis. Peningkatan ekspor betul-betul menunjukkan perbaikan daya saing. Secara simetris, penurunan impor merepresentasikan kemandirian menghasilkan barang yang dibutuhkan untuk berproduksi dan nilai tukar rupiah pun niscaya anteng.
Bukan begitu?