24 September 2023, 05:00 WIB

Ekonomi Libido


Adiyanto Wartawan Media Indonesia | Opini

MI/Ebet
 MI/Ebet
Adiyanto Wartawan Media Indonesia

‘YANG penting cuan’. Kita mungkin sering mendengar kalimat itu dalam percakapan sehari-hari. Ia telah menjadi semacam kredo, tak hanya di kalangan anak muda, tetapi juga orang dewasa. Cuan alias uang, menjadi benda berharga untuk dimiliki. “Uang bukan segalanya, tapi untuk mendapatkan segalanya perlu uang,” begitu kata seorang motivator finansial, yang videonya suatu kali muncul di beranda media sosial saya. Sepakat. Tapi, mbok ya jangan juga lantas jadi gelap mata menghalalkan segala cara untuk mendapatkan uang. Apalagi sampai nyolong atau korupsi.

Zaman memang telah berganti. Ekonomi kini tidak lagi berpusat pada mengonsumsi hal-hal yang bersifat materi, tapi juga hasrat, kesenangan. Libidonomics, kalau kata filsuf Prancis, Jean-Francois Lyotard. Mulai tontonan, hiburan, olahraga, hingga kecantikan. Bahkan, untuk sekadar ngobrol dan ngopi di pinggir jalan atau beranda rumah yang semestinya murah-meriah, para ‘tuan besar’ telah mengonstruksi gaya hidup itu menjadi komoditas yang ujung-ujungnya menguras kantong. Betul, itu memang bukan paksaan. Namun, jika gaya hidup semacam itu terus-menerus didoktrinasi entah lewat tontonan ataupun medsos, ia akhirnya jadi hegemoni. Mereka yang enggak kuat ‘iman’, lama-lama ya tergoda juga.

Apalagi kini meminjam uang semudah menyeduh secangkir kopi. Pinjaman online (baik yang legal maupun ilegal) menjamur di mana-mana. Iklan yang menawarkan kemudahan semacam itu kerap muncul, baik di media mainstream seperti televisi maupun media sosial semisal Youtube atau Instagram. Anda mungkin pernah melihat iklan sejenis itu di medsos yang menawarkan limit pinjaman hingga puluhan juta kepada anak-anak muda. Belum lagi fasilitas buy now pay later (BNPL) yang pada prinsipnya sama, yakni menyuruh kita mengonsumsi dengan cara berutang.

Mengutip data laporan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), jumlah non-performing loan atau NPL alias kredit macet untuk BNPL per April 2023 mencapai 9,7%. Angka tersebut jauh di batas aman, yakni 5%. Apa enggak bahaya tah? Apalagi data itu juga mengungkapkan hampir setengah pengguna BNPL ialah usia muda, yakni berkisar antara 20-30 tahun yang menyumbang 47,78%. Ironisnya, mereka yang bunuh diri atau gelap mata mencuri atau jadi pembunuh karena tergoda hal-hal semacam itu, bukan sekadar angka statistik. Mereka bertubuh dan
bernyawa, bahkan digadang-gadang menjadi bagian dari bonus demografi yang katanya akan membawa Indonesia mencapai kejayaan ekonomi pada 2045.

Tidak dapat dimungkiri konsumsi masyarakat memang turut berperan dalam mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Namun, tidak mesti dengan cara berutang, tetapi melalui produktivitas. Itu bisa berjalan dengan menyediakan lebih banyak lapangan kerja, memperbaiki sistem pengupahan, serta akses kemudahan berusaha, bukan membuka seluas-luasnya fasilitas pinjaman online. Apalagi itu digunakan untuk hal yang tidak produktif, sekadar memuaskan hasrat (libido) kesenangan tadi.

Pembangunan ekonomi bukan semata persoalan makro. Permasalahan mikroekonomi semacam itu juga tidak kalah krusial. Perilaku ekonomi masyarakat juga turut berperan dalam menciptakan kemakmuran. Jepang bisa menjadi negara maju, salah satunya karena masyarakat mereka punya kebiasaan atau budaya berhemat dan menabung atau berinvestasi, bukan diajarkan untuk terus-menerus mengonsumsi sampai mati.

BERITA TERKAIT