23 September 2023, 05:00 WIB

Dari Makassar ke Arnhem Land; Jejak Keislaman Jalur Tripang Nusantara dan Australia


Maria Fauzi Penulis, Litbang Fatayat DIY dan Founder Neswa.id | Opini

Dok. Pribadi
 Dok. Pribadi
Maria Fauzi Penulis, Litbang Fatayat DIY dan Founder Neswa.id

“INI ialah cerita orang-orang biasa.” Kalimat inilah yang pertama kali disampaikan oleh Dr Lily Yulianti, seorang peneliti dari Monash University yang fokus tentang studi hubungan awal orang-orang Makassar, jauh sebelum kependudukan Eropa, hingga awal abad ke-20 dengan masyarakat Aborigin Australia.

Kata ‘orang biasa’ di atas ingin menjelaskan bahwa interaksi nelayan Makassar (atau biasa disebut dengan Macassan) dan sekitarnya, dengan penduduk lokal Aborigin Australia merupakan perjumpaan biasa, bertukar budaya from people to people, dan tidak ditemukan catatan sejarah adanya upaya saling berdiplomasi. Namun, lebih dari itu, interaksi tersebut meninggalkan jejak peradaban yang kuat, sebagai salah satu bentuk soft diplomasi yang kita pahami hari ini.

Terkuaknya jalur perdagangan tripang, menurut beberapa peneliti menjadi salah satu poin penting perkembangan sejarah hubungan Indonesia dan Australia, tidak hanya dari segi maritim dan perdagangan, tetapi juga tentang sejarah masuknya Islam ke Australia jauh sebelum gelombang awal dari muslim Afghanistan dan dari Asia Tengah.

Catatan sejarah tertua yang menjelaskan hubungan kedua kawasan ini disebutkan oleh Muhammad Ibn Musa Al-Khawarizmi (817-826) yang membubuhkan Semenanjung Cape York, Teluk Tanah Kayu (Kimberly), dan Arnhem Land sebagai bagian dari Laut Jawa dalam lukisan yang dibuatnya (Whitehouse 1994; Hussain Serena 2013). Perdagangan tripang berakhir pada 1906 karena pajak yang tinggi dan aturan pelarangan perdagangan dengan orang-orang selain nonkulit putih.

Terdapat beberapa teori dan fase tentang bagaimana awal mula Islam datang ke Australia sebelum Perang Dunia II. Fase pertama ialah perjumpaan awal nelayan dan pedagang tripang dari Makassar dan sekitarnya dengan penduduk Australia di pesisir utara Australia Barat, Australia Utara hingga ke Queensland. Perdagangan jalur tripang disinyalir telah ada bahkan sejak 1170-1520 AD dan menjadi besar pada abad 17 (Macknight, 1976). Hubungan perdagangan ini menghubungkan Australia dengan kepulauan Nusantara bagian Timur hingga ke Daratan China.

Fase kedua, ditandai dengan datangnya imigran muslim dari pesisir Afrika dan beberapa wilayah di bawah kerajaan Inggris sebagai pelaut dan narapidana dalam armada pertama yang datang ke benua Australia pada akhir abad 16. Jejak muslim selanjutnya datang dari sekelompok Afghan Cameleers, yaitu penunggang onta yang sebenarnya tidak hanya berasal dari Afghanistan, tetapi juga dari beberapa negara Muslim koloni Inggris baik dari India, Bangladesh, Pakistan bahkan dari Turki dan Mesir.

Sekelompok Muslim dari era Afghan Cameleers yang hidup di Australia sejak 1838 hingga 1903 ini, kemudian memiliki keturunan dengan penduduk Aborigin lokal. Mereka mendirikan masjid pertama di Australia tepatnya di Marree di sebelah utara Australia Selatan pada 1861, sedangkan masjid besar pertama yang mereka bangun terdapat di Adelaide pada 1890 dan di Broken Hill, New South Wales pada 1891.

Gelombang terakhir hingga periode modern terjadi antara tahun 1947-1971. Australia merupakan negara yang membuka kran imigran terbesar selain beberapa negara Eropa lain seperti Jerman, Belanda, Prancis, dll. Tercatat jumlah Muslim di Australia berkembang pesat dari 2,704 hingga mencapai 22,311 yang terdiri atas imigran dari beberapa negara Muslim seperti Albania, Bosnia, Libanon, dan beberapa negara di Timur Tengah.

Jumlahnya semakin bertambah ketika terjadi perang di Irak, Iran, dan Afghanistan tahun 2000-an hingga beberapa tahun belakangan seiring terjadinya konflik dan peperangan di beberapa negara seperti Syria, Afghanistan, Libya dll.

Prof Halim Rane, seorang pakar Studi Islam di Universitas Griffith Brisbane mengatakan, jumlah populasi Muslim di Australia saat ini mencapai 2,6%. Dari keseluruhan, 36% lahir di Australia dan 64% lahir di beberapa negara mayoritas Muslim lainnya, seperti Indonesia, Libanon, Pakistan, Afghanistan, Turki, Iran, Irak, dll.

Sementara itu, dari keseluruhan Muslim di Australia tercatat 1,140 ialah dari keturunan masyarakat Aborigin dan penduduk di kepulauan Torres Strait Inland yang biasa disebut dengan indigenous Muslim. Jumlah ini tidaklah sedikit, mengingat jumlah rata-rata masyarakat Aborigin yang tinggal di Northern Territory berjumlah 61,000.

 

Dari jalur rempah ke jalur tripang

Sebagai salah satu rute perdagangan jalur rempah yang memanjang hingga ke Asia Timur bahkan sampai ke Eropa, Nusantara juga menjadi penghubung kesinambungan peradaban ke kawasan selatan, yaitu Australia melalui jalur tripang.

Beberapa bukti sejarah mencatat, setiap tahunnya ada sekitar seribu lebih nelayan Makassar (1700 M) melakukan perdagangan tripang hingga ke Marege (Arnhem Land) dan Kayu Jawa (Kimberley) yang terletak di pesisir utara Australia. Tidak hanya dari Makassar, nelayan dari Sama Bajau atau disebut Bajau Laut bahkan telah melakukan perdagangan tripang beberapa abad sebelum nelayan dari Makassar (Fox, 1977).

Meskipun tidak hanya berasal dari Makassar, ada juga yang berasal dari Buton, Bima, dan Bajau. Namun, bahasa yang dipakai untuk berkomunikasi dengan Aborigin Australia ialah bahasa Bugis dan Makassar.

Jalur perdagangan tripang dari Makassar ke Australia merupakan rute sibuk setiap tahunnya. Pada Desember, nelayan dari Makassar akan berlayar ke Australia dengan bantuan angin muson barat laut, dan mereka akan kembali ke pelabuhan Makassar pada Maret hingga April dengan bantuan angin pasat tenggara di setiap tahunnya (Macknight 1976; Chaloupka 1993).

Sebagai bandar rempah terbesar di dunia, pedagang Makassar juga menjual tripang ke pedagang China dan dijual ke market di China Selatan dan Eropa sebagai obat-obatan yang punya nilai jual tinggi disertai dengan perdagangan berbagai komoditas rempah yang sangat masyhur saat itu.

Bagi penduduk lokal Aborigin Australia, nelayan dari Makassar ini merupakan orang asing pertama yang mereka jumpai, dan yang mengenalkan banyak hal tentang budaya, bahasa, seni hingga agama baru. Bahasa Makassar digunakan oleh masyarakat Yolngu dan Aborigin pesisir utara sebagai lingua franca mereka dalam interaksi perdagangan selama ratusan tahun meskipun sekarang bahasa Makassar sudah mulai hampir punah digunakan di masyarakat Aborigin Australia (Urry & Walsch 1881).

Cultural exchange yang terjadi saat itu, tidak hanya melalui nelayan Makassar yang datang ke pesisir utara Australia, tetapi juga sebaliknya. Penduduk lokal Aborigin Australia tercatat juga melakukan kunjungan perdagangan ke Makassar dan sekitarnya, juga melakukan pernikahan dengan penduduk lokal, tinggal beberapa bulan hingga musim angin muson kembali membawa mereka ke Australia.

Meskipun tripang bukan menjadi komoditas menarik bagi orang-orang Eropa, catatan awal tentang tripang di Nusantara ini tercatat dalam manuskrip bulan Juni 1710 ketika seorang Bugis, Toissa, mendapatkan surat izin dari Dutch East India Company untuk mengumpulkan tripang di Buton. Jalur perdagangan tripang dari Makassar ke Tiongkok acapkali melewati Batavia, dan menjadi semakin tinggi permintaannya tahun 1800 seiring dengan ekspansi ekonomi China ke seluruh penjuru dunia (Macknight, 2013).

 

Jejak Keislaman Nusantara

Islam memasuki wilayah Nusantara melalui beberapa jalur dan tidak dilakukan secara bersamaan. Beberapa teori menjelaskan, baru sekitar abad ke-16 Islam menjadi agama yang mulai dipraktikkan secara resmi oleh masyarakat Sulawesi melalui kerajaan Gowa 1602-1605. Karakter penyebaran Islam di wilayah ini pun berbeda, bukan dari bawah ke atas seperti halnya di Jawa dan Sumatra, melainkan melalui pendekatan bottom up atau dari kekuasaan kerajaan.

Aktivitas perdagangan tripang dibawa oleh nelayan Makassar yang pada saat itu mayoritas dari mereka adalah Muslim (Tjandrasasmita 1978). Kontak yang cukup lama dengan nelayan Makassar meninggalkan persilangan budaya, khususnya tradisi, bahasa dan bahkan nama-nama Arab di masyarakat pesisir utara Australia. Misalnya ditemukan nama seperti ‘Husein’ yang dipakai oleh penduduk lokal Yolngu. Bahkan, dalam beberapa ritual keagamaan lokal mereka juga banyak dipengaruhi oleh tradisi keagamaan Muslim Makassar seperti apa yang mereka sebut sebagai walitha’ walitha’ yang diambil dari kata Allahu ta’ala yang artinya adalah Mahasuci dan Mahatinggi Allah.

Kata-kata ini diucapkan ketika berkabung, dan disebutkan dalam nyanyian Wuramu. Selain itu, terdapat kata-kata Oooo-a-hal-la (Ya Alah) sebagai seruan kepada dewa di surga. Dalam ritual ini biasanya diakhiri dengan ucapan ‘Se-ri-ma-kas-si’ yang menurut beberapa peneliti berasal dari kata ‘terima kasih’ dalam bahasa Melayu dan Indonesia (Ganter, 2013). Selain itu, ritual seperti sujud dan juga ibadah menghadap ke Barat (Mekah) juga dipraktekkan oleh masyarakat Yolngu.

Pengaruh ajaran, tradisi, dan budaya Islam yang dibawa oleh orang-orang Makassar selama beberapa dekade dalam kehidupan masyarakat pesisir utara Australia saat itu tidak serta merta dianggap sebagai sebuah keyakinan baru as a faith, melainkan sebagai instrumen yang kemudian digabungkan dalam kosmologi mereka.

Akar sejarah panjang kehidupan dan tradisi masyarakat Aborigin dinilai dekat dengan budaya Islam yang dibawa oleh pelaut Makassar, seperti yang dikatakan oleh tokoh dari komunitas Aborigin dalam sebuah interview, bahwa sejarah dan persahabatan nenek moyang mereka dengan pelaut Makassar adalah bagian dari budaya dan tradisi mereka yang akan selalu menjadi bagian penting sejarah masyarakat Yolngu.

Indigenous Muslim atau Aboriginal Islam, merupakan sebutan dari masyarakat Muslim Aborigin Australia hari ini. Berbeda dengan tradisi dan budaya Muslim Australia pada umumnya yang mayoritas berasal dari Timur Tengah dan Asia Tengah, Muslim Aborigin memiliki keunikan dan perbedaan budaya dan kultur hasil dari gabungan beberapa irisan elemen perjalanan panjang dan pengalaman transnasional mereka dengan Muslim Makassar.

Paling tidak, kedekatan hubungan inilah yang menjadi alasan beberapa masyarakat Aborigin untuk memeluk, dan meyakini Islam sebagai agamanya setelah mendengar cerita turun temurun tentang kedekatan dan keberadaan pelaut Muslim Makassar beberapa tahun silam.

Meskipun tidak dapat dikatakan sebagai hubungan diplomasi, perjumpaan pelaut Makassar dengan masyarakat Aborigin selama berabad-abad di pesisir utara Australia sanggup membangkitkan memori kolektif masyarakat setempat tentang hubungan persahabatan yang baik dengan sebuah komunitas Muslim nan jauh di sana di kepulauan Nusantara.

Cerita dari ‘orang-orang biasa’ inilah yang menurut hemat penulis, sanggup menggantikan narasi-narasi ketegangan tentang hubungan Australia-Indonesia, dan menjadi warisan silang budaya yang akan diingat secara kolektif.

BERITA TERKAIT