MENCERMATI sikap Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) dalam menyikapi Muhaimin Iskandar alias Cak Imin dan PKB belakangan ini terkesan tampak kurang luwes dan cenderung kasar. Figur-figur Ketum PBNU sebelumnya dikenal memiliki sikap wise (kebijaksanaan) luas, tetapi sepertinya itu tak tampak pada kepemimpinan kali ini. Sebaliknya yang menonjol ialah sikap reaktif dan jauh dari kata matang.
Bagaimana tidak? Apa yang dilakukan Cak Imin dan PKB selama ini sepertinya tak pernah luput dari klarifikasi Gus Yahya. Tidak hanya soal sibuk memberikan klarifikasi, tetapi juga kerap inkonsisten, antara apa yang diucapkan dan yang dipraktikkan. Misalnya, PBNU mengaku menjaga jarak dengan politik praktis. Namun, realitasnya dalam kepengurusan banyak diisi orang-orang partai. PDI Perjuangan dan Golkar, misalnya.
Kemudian pascadeklarasi Anies-Cak Imin, PBNU tampak tergopoh-goboh menggelar konferensi pers, yang intinya ingin menegaskan tidak ada capres atau cawapres dari PBNU. Padahal, tidak perlu ada penegasan pun, semua orang juga sudah tahu. Ironisnya, di sisi lain, endorsement PBNU untuk Erick Thohir makin kenceng dan ugal-ugalan.
Berkaca pada hal tersebut, demi mencari pembenaran apa yang sudah telanjur dilontarkan, tak jarang Gus Yahya kerap mematahkan klarifikasi dirinya sendiri. Begitu seterusnya. Hingga tak sadar, PBNU telah lebih aktif berpolitik praktis ketimbang PKB yang memang sebagai parpol. Ini yang tampaknya dirasakan warga nahdliyin di akar rumput. Pertanyaannya, memang boleh se-PBNU itu? Ini jelas anomali.
Dalam teori psikologi, ada dua hal yang mengakibatkan seseorang kerap mengalami inkonsistensi. Pertama, karena sindrom disonansi kognitif. Konsep ini, dalam psikologi, mengacu pada ketidaksesuaian antara keyakinan, nilai, atau pandangan seseorang dengan perilaku atau tindakan mereka sendiri. Ketika seseorang mengalami disonansi kognitif, mereka mungkin tidak konsisten dalam mempertahankan keyakinan atau omongan mereka dengan tindakan nyata.
Kedua, bisa jadi karena adanya hipokrisi. Teori ini merujuk pada tindakan seseorang yang tidak sesuai dengan omongan atau nilai-nilai yang mereka tampilkan, atau teriakkan kepada orang lain. Salah satu penyebabnya antara lain adanya tekanan sosial, ketidakmampuan memenuhi standar tinggi, pembenaran diri, dan menganggap pentingnya image sosial.
Naifnya, sikap inkonsistensi PBNU ini terus dirawat. Tujuannya tak lain demi mencari pembenaran-pembenaran atas perilaku politiknya yang dinilai publik berat sebelah. Dalam klarifikasi terbarunya pada 15 September 2023, Gus Yahya meralat bahwa PKB dibentuk oleh PBNU (Kompas TV), di mana sebelumnya hal itu ditampik, bahwa PKB tidak ada irisannya dengan PBNU.
Begitu pula dengan sejumlah pengurus yang ikut terjun ke politik praktis, Gus Yahya kembali meralatnya. Ini setelah Yenny Wahid bertemu dengan Prabowo, serta adanya sejumlah pengurus lain yang ikut cawe-cawe dalam politik praktis. Ia kembali meralat ulang bahwa semua pengurus diperbolehkan berpolitik, kecuali rais aam dan wakil rais aam, serta ketua umum dan wakil ketua umum (Kompas TV).
Pernyataan Gus Yahya ini tentu kontradiktif dengan apa yang sampaikan pada 5 September 2023 seusai Cak Imin dan Anies deklarasi. Gus Yahya dalam konferensi persnya dengan tegas melarang pengurus PBNU terlibat politik praktis (Metro TV News).
Pun demikian, ketika dirinya mengklaim tidak pernah keluar dari PKB. Seolah ingin mengoreksi ulang statement sebelumnya, yang ingin menjauhkan PKB dari NU. Tapi di satu sisi, dalam praktiknya, ia melakukan upaya penggembosan terhadap PKB yang menjadi alat politik warga nahdliyin. Artinya, ada masalah pada pendirian dalam dirinya. Mengeklaim diri tidak ikut berpolitik praktis, tapi dalam praktiknya jauh lebih aktif berpolitik.
Entah apakah itu bisa disebut sebagai cara smooth untuk menggembosi PKB, atau sebaliknya hanya untuk menutupi syahwat politiknya? Namun, yang jelas, setiap kali mengeluarkan statement, narasi yang dibangun PBNU cenderung selalu merugikan PKB dan menguntungkan partai lain.
Misal saat menyebut PKB bukan NU. Namun, di saat bersamaan, PBNU justru menunjukkan kemesraan dengan partai lain. Dengan menyebut PDI Perjuangan tidak hanya sebagai partner PBNU, melainkan sudah bersenyawa (CNN Indonesia). Ada narasi ahistoris yang sengaja di-framing demi mengerdilkan peran PKB sebagai anak kandung NU. Sekaligus memunculkan narasi fake dengan menyebut PDI Perjuangan sebagai bagian integral yang tak terpisahkan dengan PBNU.
Menurut hemat penulis, apa yang ditunjukkan Gus Yahya sebagai Ketum PBNU menunjukkan mental inlander dan wise poor (krisis kebijaksanaan). Kedewasaan PBNU benar-benar diuji ketika deklarasi Anies-Muhaimin pada 2 September 2023 lalu. Hasilnya, PBNU tampak begitu sangat reaktif. Padahal dalam proses deklarasi tersebut Cak Imin tak mencatut nama PBNU. Cak Imin hanya mengatakan bahwa deklarasinya banyak dihadiri oleh kiai-kiai NU di Jawa Timur. Tidak lebih. Namun, secara mengejutkan, Gus Yahya bak kebakaran jenggot, melakukan klarifikasi seolah-olah Cak Imin membawa PBNU ke politik praktis.
Sekali lagi, sikap yang ditunjukkan PBNU ini tidak mencerminkan wise (kebijaksanaan) sama sekali. Oleh karena itu, sudah seharusnya PBNU sebagai organisasi keagamaan menjaga jarak, tidak hanya dengan partai, tetapi juga dengan pemerintah. Mengapa demikian? Semata-mata agar tidak saling memanfaatkan yang pada akhirnya merusak agama dan memorak-porandakan umat di bawah.
Sibuk melakukan klarifikasi atas sikap politik Cak Imin dan PKB jelas keliru besar. Alih-alih mendapat simpati publik luas, sikap tidak fair PBNU bisa berdampak terhadap kepercayaan warga nahdliyin di akar rumput. Dengan sikap inkonsistensinya, sangat mungkin PBNU akan kehilangan respek dari jemaah. Mengapa? Sebab, mengaku 'zuhud' dalam urusan politik, tapi realitasnya justru menunjukkan ketamakan yang luar biasa besar. Wallahu a’lam.