PADA 2023 Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (The Association of the Southeast Asian Nations/ASEAN) setidaknya sudah empat kali mengadakan pertemuan tingkat tinggi di Indonesia. Pertemuan-pertemuan tersebut diadakan dalam rangka membahas segala permasalahan yang ada di kawasan Asia Tenggara. Dengan begitu, visi untuk menjadikan kawasan Asia Tenggara sebagai kawasan yang makmur, stabil, dan aman diharapkan dapat tercapai.
Untuk mencapai visi tersebut, negara-negara yang tergabung dalam ASEAN memang harus sering memanfaatkan ASEAN sebagai forum bersama (collective forum) untuk menemukan solusi atas segala permasalahan yang sedang dihadapi oleh kawasan. Salah satu permasalahan yang sangat krusial ialah persoalan kejahatan transnasional (transnational crime) seperti peredaran gelap narkoba, pencucian uang, terorisme, pembajakan laut, pekerja migran ilegal, juga tindak pidana perdagangan orang (human trafficking).
ASEAN bersikap
Indonesia sebagai salah satu negara yang berpengaruh di ASEAN punya andil penting dalam memimpin negara-negara ASEAN untuk menyelesaikan persoalan kejahatan transnasional tersebut, khususnya terhadap persoalan tindak pidana perdagangan orang (TPPO).
Peran tersebut sebenarnya sudah dimainkan Indonesia untuk selalu mengangkat isu TPPO sebagai topik pembahasan utama dalam 4 agenda pertemuan ASEAN di 2023 ini, yaitu pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Ke-42 ASEAN di Labuan Bajo, Pertemuan para Penegak Hukum ASEAN Ke-23 (ASEAN Senior Official Meeting on Transnational Crime/SOMTC) di Yogyakarta, juga pada pertemuan Masyarakat Politik-Keamanan ASEAN Ke-27 (ASEAN Political-Security Community/APSC) dan KTT Ke-43 ASEAN di Jakarta.
Pada satu sisi, terus diangkatnya persoalan TPPO dalam pertemuan ASEAN tersebut adalah pertanda baik. Akan tetapi, di sisi lain, terus dibukanya keran dialog atas persoalan TPPO ini mengisyaratkan bahwa ada masalah dalam tubuh ASEAN dalam mencari solusi bersama atas persoalan tersebut. Seharusnya, ASEAN sudah dapat mengambil satu keputusan bersama yang relevan terkait persoalan TPPO ini. Jadi, tidak hanya terus-menerus menempatkan persoalan TPPO tersebut sebagai suatu objek diskusi semata.
Persoalan TPPO ini tidak bisa dan tidak boleh dianggap remeh. Laporan Global dari Kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa Urusan Narkoba dan Kejahatan (United Nations Office on Drugs and Crimes/UNODC) menyebutkan bahwa kawasan Asia termasuk Asia Tenggara merupakan pusat atau poros tempat terjadinya TPPO ini. Jadi, tidak hanya Indonesia, tetapi negara-negara lain dalam ASEAN juga perlu gesit merespons persoalan tersebut dan menunjukkan kepada dunia internasional bagaimana ASEAN bersikap.
Paling krusial
Dalam beberapa tahun ke belakang, ASEAN sangat fokus terhadap pembangunan ekonomi. Akan tetapi, ASEAN tidak boleh lupa bahwa pembangunan ekonomi sangat erat kaitannya dengan persoalan stabilitas dan keamanan kawasan. Keamanan yang dimaksud tidak lagi berbicara tentang keamanan tradisional negara dari ancaman serangan militer, tetapi bergerak ke arah keamanan manusia (human security).
Persoalan TPPO ini akan menjadi gelombang dan ombak besar yang menghalangi ASEAN untuk mencapai target sebagai pusat pertumbuhan ekonomi tersebut. Karena, langsung maupun tidak langsung, persoalan TPPO ini akan memberikan dampak pada stabilitas dan keamanan kawasan Asia Tenggara. Dengan demikian, ASEAN harus fungsional untuk mengatasi persoalan tersebut.
Dalam banyak kasus, korban-korban TPPO ini ditempatkan dalam situasi yang sangat manipulatif, intimidatif, dan eksploitatif. Korban-korban tindak pidana ini dijadikan sebagai komoditas bisnis dan dipaksa untuk bekerja tanpa upah, disiksa, juga dieksploitasi secara seksual.
ASEAN harus sangat serius menyelesaikan persoalan tindak pidana yang dianggap sebagai perbuatan super mala per se ini, yakni perbuatan yang sangat jahat dan keji karena merendahkan harkat dan martabat manusia. Keseriusan tersebut tidak hanya ditunjukkan dengan membuat deklarasi atau pernyataan bersama.
Sejak 2004, ASEAN sudah memiliki beberapa dokumen bersama seperti Deklarasi ASEAN Menghadapi Perdagangan Manusia Terutama Perempuan dan Anak (ASEAN Declaration Against Human Trafficking in Persons Particularly Women and Children) dan juga pernyataan bersama pemimpin ASEAN dalam meningkatkan kerja sama menentang perdagangan orang di Asia Tenggara (ASEAN leaders joint statement) pada 2011.
Akan tetapi, hal tersebut tidak progresif, karena deklarasi dan pernyataan bersama tersebut tidak menimbulkan akibat hukum apa pun sehingga tidak akan signifikan menyentuh pusaran masalah dan menjawab persoalan yang ada.
ASEAN harus menyeriuskan upaya pemberantasan TPPO ini dengan segera mengambil solusi kebijakan baru yang lebih konkret, implementatif, adaptif, serta berdampak secara substansial dan segera dapat dieksekusi. Solusi kebijakan tersebut harus dituangkan dalam satu perjanjian bersama yang lebih teknis (collective agreement), yang substansinya tidak hanya berorientasi untuk mengkriminalisasi pelaku kejahatan, tetapi juga memberikan signifikansi terhadap hal yang paling krusial, yaitu deteksi, pencegahan, pemulihan, dan perlindungan terhadap korbannya. Selain itu, langkah-langkah lain sebagai bagian dari implementasi strategis jangka pendek dan jangka panjang terhadap persoalan TPPO ini.
Satu hal yang perlu digarisbawahi bahwa tindak pidana ini memiliki karakteristik yang sama dengan kejahatan narkotika dalam sifatnya yang terorganisasi, terstruktur, dan sistematis. Karena itu, perlu adanya komitmen untuk bekerja sama di antara negara-negara ASEAN terhadap persoalan ini.
Negara-negara ASEAN harus berani dan memiliki inisiatif untuk menerabas batas-batas konvensional yang ada dengan aktif melakukan penguatan kerja sama, kolaborasi, sinergi, dan harmonisasi lintas negara, lintas parlemen, lintas institusi, dan lintas sektor. Kemudian mendorong adanya keterlibatan jaringan transnasional di seluruh dunia dan sektor-sektor nonpemerintah yang ada. Dengan demikian, kehadiran ASEAN dapat dirasakan manfaatnya.
Jangan tersesat
Terlepas dari itu, Indonesia tidak boleh menghabiskan stamina untuk 'tersesat' dalam bingkai ASEAN dan hanya menunggu bagaimana ASEAN bersikap atas persoalan TPPO ini. Indonesia secara parsial harus bisa terus bergerak dinamis untuk menerjemahkan tantangan tersebut di tingkat nasional.
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menyebutkan bahwa sejak Mei 2023 saja ada lebih kurang 700 kasus TPPO. Dalam 3 tahun terakhir ada lebih dari 2.000 kasus TPPO yang terjadi di Indonesia. Meskipun Indonesia sudah memiliki payung hukum melalui UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, jumlah kasus yang terjadi menjadi indikator dan menggambarkan bagaimana upaya pemberantasan terhadap TPPO di Indonesia belum mencapai hasil yang signifikan.
Dengan kata lain, pemerintah perlu pendekatan yang lebih transformatif yakni dengan lebih teratur melembagakan upaya pemberantasan TPPO ini kepada setiap aktor negara maupun aktor non-negara terkait. Salah satunya dengan menjadikan kegiatan antiperdagangan orang menjadi agenda utama.
Pemerintah juga harus lebih agresif memperkuat upaya identifikasi, deteksi, pencegahan, dan sosialisasi tentang TPPO ini. Sosialisasi tersebut tidak boleh hanya dilakukan di tingkat kabupaten/kota, tetapi juga harus sampai ke tingkat paling bawah hingga desa. Karena banyak studi dan kasus menunjukkan bahwa sebagian besar korban TPPO berasal dari masyarakat di tingkat-tingkat terbawah, terutama terhadap perempuan dan anak sebagai kelompok yang paling rentan.
Masyarakat tersebut perlu mendapatkan informasi terkait tren, pola, dan bentuk TPPO ini secara utuh dan berkelanjutan, yang salah satu modusnya hari ini ialah melalui ruang digital dan media sosial. Sebagai satu kesatuan, faktor-faktor yang membuat seseorang rentan menjadi korban TPPO tersebut harus juga segera ditanggulangi.
Pada akhirnya kita juga harus sadar bahwa pemberantasan TPPO tidak akan berjalan efektif jika hanya digantungkan kepada pemerintah. Perlu diingat bahwa ada juga tanggung jawab kita bersama sebagai manusia untuk dapat 'memerdekakan' manusia lainnya sesuai dengan prinsip kesetaraan, kebebasan, dan penghormatan, serta perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia.