21 September 2023, 14:10 WIB

Membudayakan Literasi Becermin dari Banyak Negeri 


M Salehuddin Al-Ayubi, PTP Ahli Muda Direktorat Guru PAUD dan Dikmas Kemendikbudristek | Opini

Dok pribadi
 Dok pribadi
M Salehuddin Al-Ayubi

DENGAN kekuatan kolaborasi sesama negara anggota SEAMEO dalam penguatan literasi siswa, kita tidak sekadar mewujudkan ASEAN yang maju dan bermartabat, namun juga mampu mengejawantahkan nilai-nilai keragaman masing-masing negara dalam membangun masa depan bersama.

Berdasarkan data The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) 2018, kemampuan membaca anak-anak Indonesia berada di bawah rata-rata. Indonesia memiliki skor rata-rata 371 sementara skor terendah ada pada angka 340. Namun Indonesia tidak sendiri karena negara tetangga yang berada di wilayah Asia Tenggara juga menghadapi hal yang sama. 

Sementara itu, masih berbasis pada skor Programme for International Student Assessment (PISA) tentang tren yang terjadi dalam performa nilai rata-rata kemampuan membaca, tujuh negara mengalami tren peningkatan dalam rata-rata skor membaca, matematika, dan sains yaitu Albania, Kolombia, Makau (Tiongkok), Moldova, Peru, Portugal, dan Qatar.

Negara di bilangan Eropa lainnya seperti Estonia, Montenegro, Polandia, Rumania, dan Federasi Rusia serta negara non-Eropa Israel, juga mengalami peningkatan yang signifikan dalam nilai rata-rata siswa untuk dua dari tiga mata pelajaran selama keikutsertaan negara-negara tersebut dalam PISA. Singapura yang seringkali mencatat skor PISA di atas negara-negara kawasan Asia Tenggara, ternyata juga tidak berubah secara signifikan. 

Apa yang terjadi pada negara-negara di Asia Tenggara? Jika diamati pada masing-masing kebijakan yang diimplementasikan oleh negara-negara di Asia Tenggara, tidak sedikit praktik baik yang mereka terapkan untuk penguatan literasi siswa. 

Praktik baik 

Sebuah refleksi keberhasilan Thailand dalam menerapkan metode pembelajaran bahasa berbasis bahasa ibu untuk pendidikan inklusif, berkeadilan, dan membuka peluang seluas-luasnya untuk pembelajaran seumur hidup bagi semua.

Thailand memiliki tantangan yang serupa tapi tak sama dengan negara-negara tetangganya. Thailand masih harus menghadapi banyaknya anak-anak minoritas yang tidak memiliki kesempatan untuk mendapatkan pendidikan terbaik. Beberapa dari mereka bahkan tidak memiliki kewarganegaraan, dan beberapa lainnya sangat miskin. Kualitas pendidikan yang mereka dapatkan tergantung pada lokasi geografis dan bahasa yang dikuasai. 

Masalah geografi yang dihadapi anak-anak thailand adalah lokasi rumah mereka yang jauh dari sekolah. masalah akses ini juga dimiliki oleh Indonesia di daerah-daerah 3T (terdepan, tertinggal, terluar). Dengan alasan inilah, anak-anak Thailand kesulitan untuk datang ke sekolah. Di Indonesia tantangan ini menjadi tantangan bersama sehingga terlahir para pegiat pendidikan kemasyarakatan untuk 'menjangkau mereka yang tidak terjangkau'.

Untuk masalah bahasa, tantangan yang dihadapi oleh Thailand adalah bahwa jika siswa tidak bisa berbicara dalam bahasa Thai, mereka tidak dapat masuk ke sekolah menengah. Masalah ini bukan hanya dialami oleh Thailand, tetapi juga oleh banyak negara di dunia. Dengan begitu pemerintah Thailand berupaya untuk fokus pada masalah bahasa tersebut. 

Menurut Dr Nirada Chitrakara, Governing Board Member SEAQIL untuk Thailand, anak-anak yang bukan penutur asli bahasa Thai merasakan kesulitan dalam pembelajaran. Itu karena mereka tidak berbicara bahasa Thai di rumahnya, dan orang tua mereka juga tidak berbicara bahasa Thai. 

Mereka lebih nyaman berbicara bahasa Melayu Patani, bahasa yang lebih dekat dengan bahasa Indonesia daripada bahasa Thai. Padahal, mereka tinggal di Thailand dan harus mendapatkan pendidikan dalam bahasa Thai. Hal Ini menjadi masalah umum bagi banyak minoritas di Thailand.

Sebagai intermeso, bangsa kita melihat fakta itu dari Jirayut, seorang selebritas asal Thailand yang saat ini tampil sebagai pembawa acara dangdut di Indonesia. Ia tampak luwes berbicara dalam bahasa Indonesia. Akan tetapi bukan dia yang akan kita bahas, kita kembali ke praktik baik apa yang diterapkan Thailand pada kasus ini?  

Thailand menemukan kesenjangan dalam pencapaian mereka dibandingkan dengan penutur bahasa Thai asli. Menurut UNICEF, 55% pemuda usia 15-24 tahun dari rumah tangga yang tidak berbicara bahasa Thai adalah buta huruf dalam bahasa Thai. Bagi Thailand, ini merupakan masalah yang sangat serius.  

Padahal investasi besar telah dilakukan oleh Thailand khususnya dalam bidang pendidikan. Kebijakan itu tidak hanya menyentuh minoritas Melayu Patani, tetapi juga minoritas etnis lainnya. Bagi siswa Melayu Patani, masuk ke sekolah seperti pergi ke negara asing bagi mereka, karena guru-guru di sekolah berbicara dalam bahasa Thai, yang bukan merupakan bahasa ibu mereka. 

Pada akhirnya mereka putus sekolah karena gagal dalam ujian atau merasa terdiskriminasi, dan memutuskan untuk tidak melanjutkan ke sekolah menengah. Akan tetapi, tidak sedikit dari mereka yang pantang menyerah. Banyak dari mereka yang berhasil masuk sekolah, mengambil kelas selama 8 tahun namun tetap tidak bisa membaca atau menulis. 

Menurut Dr Nirada hal Ini menunjukkan bahwa sistem yang ada tidak cocok bagi siswa minoritas. Padahal Thailand sedang berfokus pada pada pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan yang keempat, yaitu memastikan pendidikan inklusif, berkeadilan, dan membuka peluang seluas-luasnya untuk pembelajaran seumur hidup bagi semua.

Solusi

Pemerintah Thailand membuat metode berbasis bahasa ibu. Metode ini pertama kali diterapkan di Thailand bagian selatan, karena banyak minoritas yang tinggal di sini, terutama di Provinsi Selatan yang dekat dengan Malaysia. Mereka berbicara dalam bahasa Melayu Patani yang memiliki tiga sistem penulisan yaitu sistem yawi, rumi, dan bahasa Thai dalam aksara Thai. Bahasa Thai adalah bahasa resmi yang digunakan dalam pendidikan.

Metode ini dimulai dengan cara mengajarkan anak-anak dalam bahasa ibu mereka, yang diikuti dengan pengenalan bahasa Thai. Hal ini dapat membuat mereka merasa lebih nyaman di sekolah. Selain itu, para guru diajarkan untuk menggunakan karakter bahasa Thai dalam pelajaran mereka, yang berbeda dari metode tradisional dengan mengandalkan alfabet bahasa Thai. 

Dalam metode ini, para guru akan memulai dengan cerita, yang kemudian diikuti dengan pelajaran menulis dan membaca. Metode ini membantu menciptakan jembatan antara bahasa sehari-hari dan bahasa akademik. Berdasarkan penelitian yang dilakukan akademisi di Thailand, ini adalah cara efektif untuk mengajarkan pendidikan multibahasa.

Metode ini tentunya membutuhkan materi ajar yang tepat. Pemerintah Thailand akhirnya menciptakan materi ajar baru yang sesuai dengan metode ini. Mereka menyelenggarakan berbagai workshop dan pelatihan guru. Hasilnya adalah peningkatan yang signifikan dalam kemampuan membaca dan menulis siswa, serta peningkatan nilai-nilai mereka dalam mata pelajaran lain. Sehingga bisa ditegaskan bahwa ini adalah bukti bahwa bahasa dapat menjadi jembatan untuk pembelajaran yang lebih baik.

Keberhasilan metode pembelajaran bahasa berbasis bahasa ibu ini bisa sukses karena adanya kolaborasi yang baik antara pemerintah, ahli bahasa, guru, dan masyarakat, tidak ketinggalan juga komunitas-komunitas lokal dan organisasi internasional seperti Uni Eropa. Akibatnya, mereka telah berhasil mengubah pendidikan bagi anak-anak minoritas di Thailand yang terpinggirkan menjadi terdepan dan membanggakan. Sebuah kisah sukses yang berawal dari keprihatinan negara pada pendidikan rakyatnya yang minoritas. 

BERITA TERKAIT