CATATAN Podium Media Indonesia (7/6) yang ditulis Abdul Kohar berjudul Cawe-Cawe Atasi Kemiskinan menarik untuk didiskusikan lebih lanjut. Mengutip Amartya Sen, peraih Hadiah Nobel Ekonomi 1998, dinyatakan bahwa kemiskinan bukan hanya tentang rendahnya pendapatan, tetapi juga ketidakberdayaan secara umum.
Dalam pikiran Sen, pembangunan adalah pembebasan yang menyangkut bukan hanya kesejahteraan (wellbeing freedom), tapi juga kebebasan individu (agency freedom). Seseorang secara ekonomi tergolong cukup, tetapi jika hidupnya terbelenggu dan tidak memiliki kebebasan menyampaikan pendapat, secara substansial sebetulnya ia miskin.
Di Indonesia, konsep Sen tentang kemiskinan masih belum diberlakukan. Jangankan berbicara soal kebebasan, di Indonesia perbicanganan tentang kemiskinan hanya pada aspek ekonomi kondisinya masih sangat memprihatinkan.
Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa menyebut, hingga 2024, di Indonesia ada 16 provinsi yang masih dalam kategori miskin. Jawa Tengah, Jawa Timur, DIY, Lampung, dan Aceh termasuk 16 provinsi dengan tingkat kemiskinan warga masih tinggi hingga 2024.
Bappenas melaporkan tingkat kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah masih mencapai 9,5% sampai 10%. Di Provinsi DKI Jakarta dan Bali serta Kalimantan, meski angka kemiskinan warganya relatif kecil dan cenderung turun, masih banyak penduduk miskin yang sehari-hari hidupnya sengsara, terutama ketika kondisi perekonomian nasional tidak segera pulih. Belakangan ini, di Indonesia ada indikasi keberadaan penduduk yang masuk kategori miskin ekstrem justru meningkat.
Miskin ekstrem
Di 2024, pemerintah sebetulnya telah menargetkan angka kemiskinan ekstrem dapat benar-benar dieliminasi hingga 0. Memenuhi target ambisius pemerintah untuk menghapus kemiskinan ekstrem ini tentu bukan hal yang mudah, meski menurut Bank Dunia Indonesia berhasil menekan tingkat kemiskinan ekstrem, dari 19% pada 2002 menjadi 1,5% pada 2022. Akan tetapi, mewujudkan angka kemiskinan ekstrem 0% sungguh membutuhkan strategi yang benar-benar tepat dan kontekstual.
Kalau melihat data dan indikator BPS dalam menentukan seseorang dikategorikan miskin atau tidak, kondisi kemiskinan di Indonesia sebetulnya cenderung membaik.
Namun, kalau melihat batasan yang direkomendasikan Bank Dunia, bukan tidak mungkin jumlah masyarakat di Indonesia yang masuk kategori miskin ekstrem justru bertambah.
Per definisi, yang dimaksud dengan kemiskinan ekstrem adalah kondisi ketidakmampuan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dasar, yaitu makanan, air bersih, sanitasi layak, kesehatan, tempat tinggal, pendidikan, dan akses informasi terhadap pendapatan dan layanan sosial. Sebuah keluarga yang menderita kemiskinan ekstrem bisa dipastikan tidak akan mudah begitu saja bangkit dari keterpurukan karena berbagai persoalan yang dihadapi biasanya sangat kompleks dan saling berkaitan.
Di Indonesia, selama ini garis kemiskinan ekstrem biasanya dihitung dengan purchasing power parity (PPP) sebesar US$1,9 per hari. Dengan standar tersebut, jumlah masyarakat miskin yang harus diatasi sebanyak 5,8 juta jiwa. Adapun kalau menggunakan standar garis kemiskinan menurut program Global Sustainable Development Goals (SDGs) dihitung dengan PPP sebesar US$2,15 per hari, jumlah masyarakat miskin naik menjadi 6,7 juta jiwa. Angka ini tentu tidak bisa dinafikan begitu saja.
Berbeda dengan penduduk miskin, penduduk yang dikategorikan miskin ekstrem tidak mudah diberdayakan semata hanya mengandalkan program yang sifatnya amal-karitatif. Penduduk yang menderita kemiskinan ekstrem biasanya ialah orang-orang marginal yang secara fisik sering sakit-sakitan, tidak memiliki kemampuan untuk melakukan pekerjaan produktif, cacat, dan sebagainya, sehingga tanpa program intervensi yang benar-benar berkelanjutan, niscaya tidak akan dapat mengentaskan mereka dari kondisi keterpurukan.
Program perlindungan sosial
Untuk menangani kemiskinan ekstrem, yang dilakukan pemerintah umumnya dengan mempercepat dan memperbaiki mekanisme penyaluran bantuan sosial. Menyediakan program jaring pengaman dan mencegah agar keluarga miskin ekstrem tidak terbebani oleh pengeluaran di luar kemampuan mereka.
Secara garis besar, upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat miskin ekstrem dilaksanakan melalui tiga strategi utama. Pertama, dengan cara membantu menurunkan beban pengeluaran masyarakat miskin.
Kedua, dengan program peningkatan pendapatan masyarakat miskin. Ketiga, mengurangi persebaran wilayah kantong kemiskinan dan mendorong tumbuhnya pemerataan hasil-hasil pembangunan yang lebih adil.
Untuk Tahun Anggaran 2024, Kementerian Keuangan dilaporkan telah mengusulkan alokasi anggaran untuk program perlindungan sosial Rp503,7 triliun sampai Rp546,9 triliun. Setelah alokasi untuk sektor pendidikan, usulan anggaran untuk program perlindungan sosial itu menjadi alokasi kedua terbesar dalam kerangka Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2024.
Sejauh mana peningkatan alokasi anggaran untuk program perlindungan sosial benar akan bermanfaat mengurangi penduduk miskin ekstrem, tentu waktulah yang akan membuktikan. Akan tetapi, menjelang tahun politik 2024, peningkatan alokasi anggaran untuk program yang sifatnya amal-karitatif memang rawan memancing munculnya kritik.
Meski alasan pemerintah menaikkan anggaran program perlindungan sosial terutama untuk menghapus kemiskinan ekstrem pada 2024, harus diakui bahwa pengguliran program bantuan sosial bukan satu-satunya jawaban.
Pertama, untuk menurunkan jumlah penduduk miskin ekstrem secara signifikan, yang dibutuhkan sesungguhnya ialah pendekatan komprehensif dan produktif lewat penciptaan lapangan kerja. Sekadar memberi bantuan amal-karitatif bukan tidak mungkin malah mematikan potensi self-help keluarga miskin itu sendiri untuk memberdayakan dirinya sendiri keluar dari belenggu kemiskinan.
Pengguliran program perlindungan sosial memang dibutuhkan untuk penduduk yang terjerat dalam kemiskinan ekstrem. Namun, setelah itu, tentu masalah ini perlu ditindaklanjuti dengan program pemberdayaan yang benar-benar berkelanjutan.
Kedua, mengucurkan dana program perlindungan sosial di tahun politik, diakui atau tidak, rawan diperlakukan salah. Ketika bantuan perlindungan sosial tidak bisa dijamin steril dari kepentingan politik pihak-pihak yang berkuasa, maka risiko bantuan itu diselewengkan niscaya akan sangat besar bila tidak dibarengi dengan mekanisme pengawasan yang ketat.
Pengalaman telah banyak membuktikan bahwa bantuan sosial yang digulirkan ke masyarakat miskin biasanya bias dan tidak tepat sasaran. Praktik-praktik korup sering kali masih menjadi masalah yang mudah muncul ketika dana tunai mengalir ke masyarakat miskin.