08 June 2023, 05:05 WIB

Presiden Cawe-Cawe Pemilu, Halal atau Haram?


Guntur Soekarno Ketua Dewan Ideologi DPP PA GMNI, pemerhati sosial | Opini

MI/Seno
 MI/Seno
Ilustrasi MI

RABU (31/5), hampir seluruh media massa menurunkan berita mengenai pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) bahwa ia akan cawe-cawe dalam pemilu yang akan datang demi kepentingan bangsa dan negara. Mendadak sontak sekujur tubuh bangsa bergetar-getar laksana terkena gempa, terutama kalangan atas seperti tokoh politik, intelektual (mahawikan), pemerhati sosial politik, bahkan tokoh-tokoh agama.

Rata-rata mereka menyayangkan adanya pernyataan Presiden tersebut karena dianggap sudah mengambil posisi memihak sehingga pemilu tidak akan berjalan netral. Tak ayal lagi capres Koalisi Perubahan, Anies Baswedan, tarik suara bahwa pastinya akan terjadi kriminalisasi terhadap lawan politik.

Ketua DPP Partai NasDem Sugeng Suparwoto mengkhawatirkan demokrasi yang sudah berjalan dengan baik akan mundur ke belakang. Lain lagi pendapat Ketua Bappilu PDI Perjuangan Bambang Wuryanto yang menyatakan bahwa cawe-cawe bukan berarti Presiden akan mengintervensi pemilu.

Apa pun komentar dan pendapat-pendapat dari para tokoh tersebut, bagi kaum patriotik Soekarnois, interpretasinya, akar jawabannya harus diambil dari pikiran-pikiran ajaran Bung Karno khususnya mengenai fungsi dan tugas pokok dari seorang presiden dalam pemerintahan.

Pertama-tama, kita harus mengerti apakah negara itu menurut ajaran Bung Karno. Negara menurut Bung Karno tidak lain tidak bukan adalah machts organisatie (organisasi kekuasaan) seperti termaktub dalam Soekarno: Pancasila sebagai Dasar Negara. Sebagai suatu organisasi kekuasaan, negara diatur oleh yang namanya pemerintah yang dipimpin oleh seorang presiden sebagai kepala negara.

Kepala negaralah yang berkewajiban mengatur melaksanakan tindakan-tindakan yang dianggap perlu agar sedemikian rupa manajemen pemerintahan dapat berjalan dengan baik. Oleh sebab itu, apa pun yang dikerjakan oleh aparat kenegaraan maupun pemerintahan tidak boleh terlepas dari pengawasan seorang kepala negara yang dalam organisasi pemerintahan disebut sebagai presiden.

 

Beberapa contoh

Bila kita menoleh sejenak kepada proses Pemilu 1955 yang dianggap paling demokratis sepanjang sejarah pemilu di Indonesia, apa yang dilakukan oleh Bung Karno sebagai presiden, terutama sebagai kepala negara, sangat perlu diketahui dan dipahami.

Sebelum pelaksanaan pemilu, Bung Karno sebagai kepala negara melakukan kunjungan hampir ke seluruh daerah di penjuru Tanah Air dan berdialog dengan rakyat setempat tentang partai yang harus dimenangkan dalam pemilu yang akan datang, tanpa sedikit pun menyebut nama partai yang dimaksud agar keutuhan negara dan Pancasila dapat terjaga.

Tindakan Bung Karno ini jelas dapat dikatakan ikut cawe-cawe dalam Pemilu 1955 karena tujuan utamanya menjaga keutuhan negara dengan Pancasila sebagai pedoman dasarnya. Seingat penulis, safari Bung Karno ke daerah-daerah sebelum pemilu berjalan mulus, tanpa adanya protes-protes ataupun demonstrasi-demonstrasi yang menentangnya dari pihak mana pun.

Contoh lain ialah yang ada hubungannya dengan penetapan perdana menteri dalam era Republik Indonesia menganut sistem politik demokrasi liberal. Bila sebuah kabinet jatuh karena terkena mosi tidak percaya dari pihak oposisi, seluruh partai-partai berembuk, bermusyawarah untuk menunjuk seorang formatur yang ditugasi menyusun menteri-menteri kabinet yang baru.

Biasanya setelah ia melakukan 'politik dagang sapi' dengan partai-partai yang ada, terbentuklah susunan kabinet bayangan yang belum dilantik. Sebelum pelantikan dilaksanakan, dari pengalaman yang ada, yang bersangkutan bertemu dahulu dengan Presiden Sukarno untuk minta pendapat dan juga masukan-masukan mengenai susunan kabinet yang ia susun.

Dalam proses ini terjadi lagi presiden melakukan cawe-cawe untuk memberikan masukan-masukan agar susunannya diperbaiki lagi. Atau beberapa nama calon menteri dari partai tertentu diganti dengan yang lain sesuai cawe-cawe presiden.

Proses ini kadang-kadang berjalan sangat alot dan bertele-tele untuk mencapai kesepakatan. Bila sudah sepakat antara presiden dan formatur kabinet, barulah beberapa hari kemudian kabinet hasil cawe-cawe presiden dilantik. Adanya cawe-cawe dalam proses ini adalah, sekali lagi, untuk menjamin terpeliharanya keutuhan negara serta Pancasila tetap sebagai asas dasarnya.

Dengan demikian, seluruh cawe-cawe yang dilakukan oleh Bung Karno sebagai presiden dan kepala negara jelas bukanlah bentuk-bentuk kriminalisasi ataupun mundurnya proses demokrasi di Indonesia saat itu, melainkan untuk keutuhan bangsa dan negara.

Kembali kepada cawe-cawenya Presiden Jokowi yang membuat heboh, menurut hemat penulis adalah sama dan sebangun dengan apa-apa yang dilakukan Presiden pertama RI Sukarno yang pastinya bersifat 'halal'. Ada baiknya sebagai penutup tulisan singkat ini penulis kutip pernyataan Wakil Presiden ke-10 dan 11 RI Jusuf Kalla sebagai berikut, "Mendukung cawe-cawe Presiden Jokowi dalam Pemilu 2024 jika itu dimaksudkan demi pelaksanaan demokrasi yang baik serta pemilu yang jujur dan adil. Jika cawe-cawe itu sesuai dengan yang dijelaskan, itu sangat bagus dan kita dukung itu."

Demikian pernyataan dan pendapat Jusuf Kalla yang bagi kaum Patriotik Soekarnois sangat logis dan bijak.

BERITA TERKAIT