NASIB akademisi di Indonesia menjadi topik yang terus disorot dalam beberapa waktu terakhir. Sebagian besar pangkal masalahnya terletak pada gagalnya pemerintah dalam merancang struktur insentif layak, yang berarti bahwa ada banyak akademisi harus bergantung pada pekerjaan ‘sekunder’ untuk tetap bertahan.
Pada saat yang bersamaan, dosen di Indonesia dituntut untuk berbuat lebih banyak daripada hanya mengajar. Misalnya, membuat proyek penelitian, menghasilkan karya ilmiah, terlibat dalam kegiatan ilmiah, dan pekerjaan administrasi yang kompleks.
Menjadi rahasia umum bahwa dosen di Indonesia dibayar dengan nominal yang sangat kecil jika dibandingkan dengan gaji yang diterima rekan-rekan mereka di negara lain untuk posisi yang sama.
Memang tidak mungkin untuk membandingkan gaji dosen dalam nominal angka dengan negara lain secara apple to apple. Namun, kita dapat membandingkan rasio pendapatan layak yang diterima seorang dosen dengan harga barang dan jasa standar di suatu negara. Itu memungkinkan kita untuk membandingkan gaji dosen antarnegara dalam rasio pendapatan layak.
Terkait dengan hal itu, ada contoh riil yang dapat penulis bagikan dari pengalaman dan berbincang dengan dua kolega dosen yang masing-masing bekerja di Hong Kong dan Thailand, dua tempat penulis pernah tinggal sementara. Di Hong Kong sebagai mahasiswa PhD, di Thailand sebagai profesor tamu.
Di Hong Kong, fresh graduate yang memulai karier sebagai dosen junior dengan status research assistant professor, biasanya menerima gaji kisaran 45.000 HKD, atau setara Rp85 juta per bulan.
Di sebagian besar kampus, nominal tersebut disediakan di luar tunjangan-tunjangan lain, seperti tiket pesawat untuk mobilitas antarnegara, subsidi sewa apartemen, dan kinerja (contohnya hibah), dengan ‘beban kerja’ standar. Semua itu memberikan dosen dengan kesempatan untuk melakukan kegiatan akademik yang menarik dan meningkatkan karier mereka.
Beban standar yang dimaksud meliputi mengajar dua mata kuliah dalam satu semester, melakukan pembimbingan, mengelola dana hibah penelitian, memublikasikan beberapa karya ilmiah (umumnya dua sampai tiga per tahun) di jurnal yang berkualitas dan memiliki impact factor, serta melakukan tugas administrasi yang jauh lebih sederhana daripada di Indonesia.
Ini sangat generous. Itu karena biaya untuk mobilitas harian dan seluruh kebutuhan bulanan rumah tangga (dengan satu anak yang belum sekolah) dapat dikelola kurang lebih 6.000 HKD, atau sekitar Rp11,5 juta. Kalaupun harus membayar sewa rumah mandiri, seorang dosen cukup menyisihkan 12.000 HKD per bulan (sekitar Rp25,5 juta, termasuk air dan listrik) untuk sewa akomodasi layak di pinggir perkotaan. Namun, itu tidak berlaku di pusat kota yang harga sewa apartemennya bisa mencapai 17.000 HKD per bulan (sekitar Rp32 juta) atau lebih.
Jika dijumlahkan, total pengeluaran bulanan seorang dosen baru yang sudah berkeluarga di Hong Kong ialah sekitar Rp43,5 juta per bulan. Dengan pengeluaran tersebut, seorang dosen masih cukup untuk menabung 'minimal' Rp41,5 juta per bulan tanpa mengurangi kualitas hidup yang layak dan masih mampu mempertahankan beban kerja standar.
Di Thailand, situasinya sedikit berbeda. Seorang dosen junior dengan posisi dan profil tanggungan yang sama dengan rekan-rekan mereka di Hong Kong dapat menerima gaji pokok sekitar Rp20 juta-Rp25 juta per bulan. Itu di luar pekerjaan sekunder mereka dan insentif-insentif lain yang mereka dapatkan.
Itu juga terbilang sejahtera karena dapat memberikan dosen cukup banyak mobilitas dan kebutuhan bulanan. Berdasarkan pengalaman pribadi selama tinggal bersama keluarga di Thailand, biaya bulanan untuk kebutuhan itu bisa dimulai dari Rp7 juta-Rp9 juta per bulan. Sementara itu, sewa apartemen dengan satu kamar tidur dengan fasilitas layak sekitar Rp4 juta-Rp5 juta di pinggiran Kota Bangkok.
Dapat disimpulkan, dengan pendapatan bulanan sebesar Rp14 juta, seorang dosen baru di Thailand masih bisa menabung hingga minimal Rp6 juta-Rp11 juta per bulan dengan fokus pada pekerjaan utama, termasuk menghasilkan karya ilmiah pada jurnal internasional bereputasi.
Namun begitu, sama seperti di Indonesia, dosen junior di Thailand masih dibebani dengan mengajar setara dengan empat sampai lima mata kuliah per semester berikut dengan beban administrasi yang kurang lebih mirip. Namun, paling tidak, sistem penggajiannya lebih baik dan dapat memberi manfaat yang lebih besar bagi para dosen daripada di Indonesia yang sistem ekonominya mirip.
Dari pengalaman penulis di Hong Kong dan Thailand, penulis akhirnya memahami bahwa gaji pokok seorang dosen harus setidaknya dua kali lipat lebih tinggi dari standar hidup layak berkeluarga (bukan sekadar UMR) untuk memastikan bahwa mereka dapat hidup sejahtera. Hal itu sangat penting agar para dosen dapat terus menyediakan pendidikan yang berkualitas dan memberikan kontribusi yang berharga bagi masyarakat.
MI/Duta
Realitas di Indonesia
Di Indonesia, situasinya jauh dari ideal. Mereka yang baru masuk sebagai dosen junior harus rela bergaji pokok kurang dari Rp3 juta per bulan. Kalaupun dapat tunjangan, besarannya akan sangat relatif, bergantung pada kemampuan finansial setiap institusi tempat mereka bekerja. Sungguh mengejutkan bahwa jumlah total keseluruhan gaji dan tunjangan dari profesinya sebagai akademisi di kampus rata-rata tidak sampai Rp5 juta per bulan.
Situasi itu harus dihadapi para dosen junior, minimal hingga mereka mendapatkan sertifikasi pada tahun kelima. Pada saat itu, para dosen muda baru akan menerima tambahan gaji sebesar satu kali gaji pokok. Namun, sebagaimana yang sudah sering dibahas dalam banyak kesempatan, proses untuk lulus ujian sertifikasi tidaklah mudah.
Hidup layak bagi seorang dosen di Indonesia baru didapat setelah tahunan ‘mengabdi’ dan menjadi guru besar dengan nominal pendapatan dari gaji, tunjangan profesi, dan tunjangan kehormatan rata-rata sekitar Rp15 juta-Rp20 juta per bulan. Jika ditambah dengan jabatan struktural dan aktif di berbagai kegiatan di kampus, akan sangat mungkin seorang dosen dapat memperoleh pendapatan lebih dari Rp50 juta per bulan.
Untuk itu, berbagai upaya untuk meningkatkan jumlah guru besar telah dilakukan. Itu tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan institusi, tetapi juga karena motif untuk meningkatkan kesejahteraan dosen.
Kesulitan yang dihadapi para dosen di Indonesia ketika hanya berfokus pada pekerjaan utamanya dapat dilihat dari berbagai sisi. Sistem penggajian yang rendah membuat para dosen harus berjuang untuk mendapatkan ‘koin’ dan ‘poin’ dengan berbagai cara, seperti mengandalkan proyek-proyek temporal atau menempati peran-peran yang tidak terkait dengan bidang keahliannya.
Tidak banyak orang tahu bahwa sangat sedikit universitas yang memiliki akses ke sumber daya yang diperlukan untuk menjamin kesejahteraan dosen-dosennya dengan baik. Itu menyiratkan bahwa ketimpangan sosial yang sangat tajam dalam dunia akademisi tersebut benar-benar adanya.
Strategi lainnya ialah dengan bergantung pada insentif yang bersumber dari hibah riset atau penghargaan publikasi karya ilmiah. Namun, tidak semua universitas dapat memberikan para dosen berbagai macam privilese seperti ini. Selain itu, insentif-insentif semacam itu tidak selalu tersedia terus-menerus. Kalaupun tersedia, persyaratan untuk mendapatkannya akan selalu diatur dalam batasan-batasan efisiensi daripada subtansi itu sendiri.
Kenyataan itu mengungkap realitas bahwa profesi dosen di Indonesia sebenarnya masuk profesi rentan. Dosen tidak dapat hidup layak hanya dengan mengandalkan gajinya sebagai akademisi. Tanpa adanya sistem penggajian yang baik, akan sangat sulit dosen muda bertahan dalam situasi yang mungkin saja mengharuskan dirinya tidak terlibat dalam berbagai pekerjaan-pekerjaan sekunder yang selama ini menopang kehidupannya.
Celakanya, aturan pemerintah terkait dengan struktur insentif dosen bias dengan potret sebagian kecil dosen dan universitas yang memiliki lebih banyak akses ke pekerjaan-pekerjaan sekunder, atau bias dengan dosen-dosen senior yang taraf hidupnya jauh lebih baik. Persepsi bias itu jelas menghambat segala upaya reformasi untuk menyejahterakan dosen.
Urgensi reformasi
Sama seperti profesi lainnya, situasi gaji rendah di kalangan akademisi memiliki sejumlah konsekuensi. Misalnya, potensi brain drain, yaitu ketika para dosen bertalenta berpindah ke luar negeri untuk mencari pekerjaan dengan gaji yang lebih tinggi. Itu merupakan kerugian besar bagi negara karena peningkatan kualitas pendidikan akan terganggu dengan kehilangan para dosen-dosen terbaik.
Mengingat potensi itu, perbaikan struktur penggajian dosen (berikut dengan guru dan profesi-profesi yang dianggap rentan lainnya) harus menjadi agenda mendesak reformasi pendidikan di Indonesia. Bagaimanapun gaji pokok yang layak tidak hanya bermanfaat bagi dosen dan keluarganya, tetapi juga bermanfaat bagi negara secara keseluruhan. Dengan demikian, dosen-dosen terbaik dapat tetap tinggal di Indonesia dan terus memberikan kontribusi bagi pembangunan negara, tanpa harus khawatir sewaktu-waktu mengalami kemungkinan-kemungkinan yang tidak diharapkan.
Reformasi batas bawah gaji pokok dosen menegaskan sekali lagi bahwa hal tersebut akan menjadi jaring pengaman pendapatan yang sangat penting. Itu juga salah satu cara untuk menghargai dosen yang telah bersusah payah menempuh jenjang pendidikan tinggi dengan beragam tuntutan profesi.
Sebagai penutup, Hari Pendidikan Nasional perlu dimaknai tidak sebatas pengingat tentang pentingnya pendidikan, tetapi juga mendorong pemerintah untuk berinvestasi lebih banyak di sektor itu. Hal itu akan membantu meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan memungkinkan akademisi di Indonesia memiliki masa depan yang lebih cerah.