16 April 2023, 05:00 WIB

Mengelola Ritus Kebangsaan


Adiyanto Wartawan Media Indonesia | Opini

MI/Ebet
 MI/Ebet
Adiyanto Wartawan Media Indonesia

MULAI pekan ini, Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Indonesia bakal berangsur lengang ditinggal sebagian penghuninya mudik ke kampung halaman. ‘Upacara kenegaraan’ itu rutin dilakukan saban tahun. Tidak hanya dilakukan suku Jawa, tapi juga suku-suku lainnya di seluruh Nusantara. Sebagai pengelola negara, pemerintah tentu wajib memfasilitasi ritual kebangsaan itu. Sudah semestinya kebijakan yang dibuat berpijak dan berpihak demi kepentingan mobilitas masyarakat. Apalagi, konon, ritus ini telah ikut menggerakkan roda ekonomi.

Harus diakui jika dibandingkan dengan dua atau tiga dekade lalu, penyelenggaraan mudik kini semakin baik. Tol kian tersambung mulus. Tidak ada lagi warga yang berdesakan dan berdiri dalam gerbong kereta, bahkan hingga ke toilet. Begitu juga dengan penumpang yang umpel-umpelan seperti sarden dalam bus yang reot dan kurang laik jalan. Sejumlah instansi pemerintah dan swasta pun kini banyak yang menyediakan fasilitas mudik gratis dengan berbagai moda transportasi yang nyaman.

Meski begitu, bukan berarti ritual tersebut bukan tanpa masalah. Kemacetan parah dan melonjaknya kasus kecelakaan lalu lintas, antara lain, yang paling dikhawatirkan pada musim mudik libur Lebaran tahun ini. Apalagi jumlah pemudik tahun ini diperkirakan meningkat 45% dari 86 juta orang menjadi 123 juta orang. Kecelakaan beruntun yang menewaskan delapan orang di Tol Semarang-Solo Km 487 Boyolali, Jawa Tengah, Jumat (14/4) lalu, tentunya harus menjadi alarm bagi para stakeholder untuk mengantisipasi agar kejadian serupa tidak kembali terjadi.

Pengelola tol, Korlantas, Kementerian Perhubungan, perusahaan angkutan, dan instansi terkait lainnya kiranya perlu berkoordinasi lebih intens lagi agar ritual ini berjalan lancar, aman, dan nyaman. Cek dari hulu, terutama kondisi pengemudi dan kelaikan kendaraan, karena ini menjadi salah satu penentu paling penting keselamatan berkendara di jalan raya. Begitu juga fasilitas jalan, terutama kondisi aspal dan lampu penerangan. Segera perbaiki jika ada yang rusak. Jangan sampai karena hal kecil malah berakibat fatal.

Satu hal yang juga perlu diperhatikan ialah fasilitas rest area. Namun, karena jumlah kendaraan pada musim liburan meningkat, kabarnya pemanfaatan fasilitas tersebut dibatasi 30 menit. Artinya, sebuah kendaraan hanya boleh berhenti di area itu selama setengah jam. Pertanyaannya, bagaimana jika si pengemudi benar-benar lelah atau malah sakit dan butuh istirahat? Lagi pula bagaimana teknis cara mengaturnya? Ini yang menurut saya perlu dipikirkan baik-baik, jangan sampai menimbulkan masalah baru di lapangan.

Sesuai namanya, rest area ialah tempat untuk beristirahat yang tentunya harus dibuat senyaman mungkin, kalau perlu dengan dilengkapi fasilitas kesehatan. Untuk sementara, jika memungkinkan barangkali bisa dibuat rest area tambahan atau darurat di sekitar lokasi yang sudah ada. Bukankah sering kita jumpai masih banyak lahan kosong di sepanjang tol? Tentu saja mesti dilengkapi rambu-rambu dan fasilitas penunjang lainnya dengan koordinasi antarinstansi terkait. Itu semua demi kenyamanan dan keselamatan pengendara.

Selain fasilitas fisik, hal tidak kalah krusial ialah disiplin dari para pemudik, terutama mereka yang menggunakan kendaraan pribadi. Jangan menyetir ugal-ugalan, apalagi sembari menggunakan gawai. Selain membahayakan diri sendiri, tindakan itu juga dapat mencelakakan orang lain. Jangan lupa beristirahat jika lelah. Tidak harus di rest area. Anda barangkali bisa memanfaatkan masjid atau tempat penginapan di wilayah sekitar yang dilalui. Akhir kata, selamat melakukan ziarah batin di kampung halaman, semoga selamat sampai tujuan. Wasalam.

BERITA TERKAIT