KURANG dari satu tahun lagi, negara kita akan memasuki puncak dari tahun politik nasional, yang titik momentumnya akan dilakukan dengan perhelatan pemilu. Secara teknis, penyelenggaraan Pemilu 2024 berbeda dengan proses pemilu di beberapa periode sebelumnya. Di 2024, proses pemilu dilaksanakan secara serentak pada bulan Februari, di mana rakyat Indonesia dapat menggunakan hak konstitusional mereka untuk memilih calon anggota legislatif, sekaligus calon presiden dan wakil presiden. Masih di tahun yang sama, yakni tepatnya di bulan November, rakyat Indonesia juga akan memilih pasangan calon kepala daerah, baik untuk tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
Dengan adanya pemilihan secara serentak, atmosfer politik di 2024 semakin terasa hangat jika dibandingkan dengan periode pemilu sebelumnya. Patut di syukuri bahwa hangatnya atmosfer Pemilu 2024 di tahun ini (2023) tidak seperti pada periode pemilu sebelumnya, yang marak dengan narasi kebencian dari kelompok-kelompok yang bersaing. Panasnya atmosfer pemilu kali ini lebih karena peta persaingan baru dalam pemilihan presiden (pilpres) dan pemilihan kepala daerah (pilkada). Meski dalam berbagai survei politik telah beredar berbagai nama potensial dalam pilpres dan pilkada, belum semua parpol yang secara tegas menyatakan atau mengumumkan dukungan kepada calon tertentu.
Hingga saat ini, baru bursa pencalonan presiden yang memunculkan nama, itu pun baru satu yang muncul dengan tegas, yakni Anies Baswedan. Nama itu diusung oleh tiga partai politik (NasDem, PKS, dan Demokrat) sebagai calon presiden. Selebihnya partai politik lain masih belum dapat meneguhkan nama kandidat karena masih perlu memantapkan lobi-lobi politik dalam menentukan calon presiden yang mereka inginkan.
Bursa pilkada di daerah-daerah juga banyak memunculkan nama calon gubernur, wali kota, dan bupati. Beberapa kandidat bahkan sudah mempromosikan diri melalui spanduk, baliho, atau media sosial. Tetapi, mereka pun belum secara pasti diusung oleh partai politik atau koalisi partai.
Selain dari maraknya upaya mempromosikan diri para tokoh politik untuk bursa pencapresan dan pilkada, baik itu yang dilakukan dengan memasang foto dan nama mereka di media luar ruang serta media sosial, atau bahkan yang dilakukan dengan safari politik, Pemilu 2024 juga tidak kehilangan kesemarakan bursa caleg. Seperti di pemilu sebelumnya, profil para calon anggota legislatif juga sudah banyak menghiasi media luar ruang. Hal itu dilakukan agar masyarakat dapat mengenal dan mengingat mereka jelang pemilu yang tinggal hitungan beberapa bulan lagi.
Peta koalisi
Diperkirakan, Pemilu 2024 ini akan memberikan konektivitas politik yang kuat antara pilpres, pileg, dan pilkada, mengingat waktu penyelenggaraan pemilu yang dilakukan secara serentak akan menuntut parpol dan para calon presiden hingga kepala daerah untuk bekerja secara cerdas, efektif, bahkan efisien.
Lambatnya partai menentukan calon presiden, di antaranya turut memperhitungkan bagaimana mekanisme kerja dan koalisi mereka dalam pilkada. Perbedaan rekan koalisi dalam pilpres dan pilkada akan membuat partai, termasuk para calon anggota legislatifnya, untuk bekerja dua atau tiga kali lebih berat ketimbang mereka yang masih memiliki koalisi sama. Akan tetapi, tentu diperlukan adanya suatu kesepahaman yang kuat terlebih dahulu di antara parpol sebelum menyatakan diri akan berkoalisi.
Koalisi politik merupakan suatu keniscayaan di tengah sistem politik demokrasi terbuka yang diterapkan di Indonesia, di mana sebuah partai akan sangat sulit untuk mendapatkan suara dominan meski unggul dari partai-partai lainnya. Kesulitan sebuah partai politik untuk mendapatkan suara dominan tidak bisa membuat mereka untuk mengusung sendiri capres dan wapres, serta calon kepala daerah dan wakilnya. Kalaupun bisa mengusung sendiri pasangan capres dan cawapres ataupun pasangan kepala daerah dan wakil, mereka akan dihadapkan pada posisi dan kekuatan politik partai lain yang akan menjadi kompetitor dalam bursa pilpres dan pilkada.
Mencari kesepahaman politik dalam membentuk koalisi adalah hal yang gampang-gampang susah. Terutama, menyangkut siapa yang berhak mendapatkan posisi lebih tinggi dan seperti apa daya tawar serta dukungan politik yang akan diberikan.
Komitmen koalisi yang berlanjut dalam pilkada juga perlu mempertimbangkan kekuatan politik di daerah sebab kuatnya sebuah partai di level nasional belum tentu sama dengan di tingkat daerah. Akan tetapi, meski cukup berat di awal dalam menentukan posisi politik dalam koalisi, kesamaan koalisi pilpres dan pileg untuk Pemilu 2024 dapat membuat partai dan mesin politiknya bisa bekerja lebih efisien, dengan kata lain logikanya cost politics dapat mereka tekan.
Sejauh ini, baru tiga partai politik yang telah membuat komitmen koalisi dalam bursa pencalonan presiden. Namun, antara NasDem, PKS, dan Demokrat juga belum menentukan sikap untuk bursa pilkada. Bagaimana dengan partai-partai lain? Tentu dengan semakin pendeknya waktu yang terus mendekati pelaksanaan pemilu, partai politik lain juga perlu segera menetukan sikap agar mesin partai dapat segera bekerja dan tidak dilanda oleh kebimbangan.
Penentuan sikap politik tentunya tidak boleh didasari hanya pada sikap pragmatis para elite, tetapi juga mempertimbangkan kepentingan ideologis, para kader, dan tentu konstituen. Apabila penentuan koalisi dan juga kandidat capres atau cakada (calon kepala daerah) hanya atas kepentingan pragmatis elite, para kader dan konstituen bukan tidak mungkin akan meninggalkan partai politik, yang berarti partai dan kandidat yang diusung harus siap kalah dalam pemilu.
Siapa diusung dan didukung
Setelah Anies Baswedan diusung oleh koalisi NasDem, PKS, dan Demokrat, pekerjaan berikut dari koalisi ini ialah menetukan dengan tepat siapa calon wakil presiden yang akan mendampingi Anies. Perbincangan mengenai komposisi sipil-sipil atau sipil-militer yang masih mengemuka bisa dijadikan bahan pertimbangan oleh tim koalisi.
Tentu bukan hanya oleh koalisi NasDem, PKS, dan Demokrat, tapi juga bisa dipertimbangkan oleh koalisi yang kelak dibangun oleh partai lainnya. Mengingat partai seperti PDI Perjuangan, Gerindra, Golkar, dan PKB juga berpotensi mengusung calon presiden atau wakil presiden dari internal mereka, seperti halnya Puan dan Ganjar dari PDI Perjuangan, Prabowo dari Gerinda, Airlangga dari Golkar, dan Cak Imin dari PKB.
Di luar nama-nama tersebut, bila dikaitkan dengan komposisi sipil-sipil, mereka yang berpotensi untuk maju ialah Sandiaga Uno, Erick Tohir, Ahmad Heryawan, dan Khofifah Indar Parawansa. Hanya yang perlu diperhatikan, bukan hanya siapa diusung oleh siapa, tetapi siapa akan didukung oleh siapa. Maksudnya ialah, apakah setelah mereka diusung oleh partai politik, juga akan didukung oleh kekuatan lain di luar partai politik? Tentu itu yang harus dijawab oleh partai.
Demikian halnya, ini berlaku bagi kandidat yang diusung dengan latar belakang pernah aktif dalam institusi kemiliteran, seperti Andika Perkasa dan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Posisi keduanya turut diperhitungkan dalam komposisi sipil-militer dalam pilpres.
Jadi, meski keduanya telah menjadi seorang sipil karena tidak lagi aktif sebagai personel TNI, persepsi sebagai calon yang berlatar belakang militer masih lekat terhadap keduanya. Dan, karena itu, posisi serta pengalaman keduanya akan menjadi pertimbangan masyarakat dalam memprediksi cara kerja dan komunikasi politik mereka.