17 March 2023, 05:05 WIB

Perdamaian Saudi dan Iran, Era Baru Timur Tengah?


Ibnu Burdah Guru Besar Kajian Dunia Arab UIN Sunan Kalijaga | Opini

Dok. Istimewa
 Dok. Istimewa
Ibnu Burdah Guru Besar Kajian Dunia Arab UIN Sunan Kalijaga

SUNGGUH mengejutkan, Arab Saudi dan Iran dua negara yang selama ini dianggap terlibat permusuhan abadi, tiba-tiba menandatangani kesepakatan ‘perdamaian’ di Beijing, China (10/3). Memang tak ada catatan dua kekuatan regional terbesar di Timur Tengah itu terlibat konflik bersenjata langsung. Namun, permusuhan keduanya telah ‘membakar’ banyak wilayah di Timur Tengah, bahkan lebih luas lagi. Setidaknya, permusuhan keduanya turut mempertajam poros-poros konflik yang ada di Timur Tengah, dan memicu permusuhan sektarian Sunni-Syiah yang begitu mengkhawatirkan di dunia muslim.

Perang di Yaman, yang telah menciptakan bencana kemanusiaan serius dan belum terselesaikan hingga sekarang, tidak terlepas dari permusuhan Arab Saudi dan Iran. Iran mendukung kelompok Houtsi yang beraliran Syiah dan Arab Saudi mendukung pemerintah Yaman di bawah kepemimpinan Presiden Hadi.

Lebanon, negeri mungil di bantaran Mediterania, jatuh jadi negara gagal setelah perseteruan sektarian tiada henti. Lagi-lagi, Arab Saudi dan Iran terlibat begitu dalam di negara dengan sistem demokrasi power sharing itu.

Pengaruh permusuhan Arab Saudi-Iran juga terlihat jelas di banyak wilayah lain di Timur Tengah, mulai Irak, Palestina, Suriah, Sudan, Bahrain, dan lainnya sehingga dalam kajian konflik di kawasan itu dikenal luas istilah poros Iran versus poros Arab Saudi. Kedua negara itu ialah patron bagi banyak klient yang bermusuhan di banyak wilayah di Timur Tengah.

 

Berpengaruh

Apakah dengan disambungnya kembali hubungan diplomatik kedua negara yang telah terputus total sejak tujuh tahun lalu itu akan berpengaruh terhadap perdamaian di Timur Tengah? Apakah mencairnya hubungan kedua kekuatan besar yang selama ini terlibat perang dingin, dan perang-perang proxy ini akan mendorong lahirnya Timur Tengah baru yang berbeda dari sebelumnya?

Jawaban afirmatif terhadap dua pertanyaan itu mungkin berlebihan. Sebab, faktor konflik dan perdamaian di Timur Tengah sangat kompleks baik aktor, isu, maupun dimensinya. Namun, hubungan Saudi-Iran merupakan faktor regional yang besar, yang tak bisa dianggap enteng meskipun bukan satu-satunya. Banyak faktor lain, baik domestik yang lebih rumit maupun faktor internasional yang lebih besar, di samping faktor-faktor regional yang lain.

Jika penandatanganan hubungan diplomatik Saudi-Iran dapat direalisasikan dengan saling membuka kantor kedutaan di ibu kota kedua negara dalam dua bulan sebagaimana rencana, lalu dilanjutkan dengan kerja sama yang ‘aktif’ dalam perbaikan hubungan antara kedua poros itu di seluruh kawasan, pengaruh kesepakatan Saudi-Iran ini akan signifikan di lapangan.

Namun, untuk terwujudnya semua itu butuh proses panjang yang tidak sederhana. Apalagi, kecanggungan psikologis kedua pihak tentu tidak kecil akibat permusuhan tajam dalam waktu cukup panjang. Setidaknya, penandatangan ini dapat segera mengurangi tensi ketegangan kedua poros dalam waktu dekat ini.

Apalagi, langkah menuju perbaikan hubungan ini juga didorong oleh kebutuhan ‘mendesak’ kedua pihak di tengah perubahan-perubahan yang terjadi. Arab Saudi ‘terpaksa’ mengambil diversifikasi jalan pertahanan dan survival pengaruhnya di kawasan secara lebih mandiri setelah tampak pengambil kebijakan di Riyadh meragukan ‘jaminan’ keamanan AS bagi sekutu-sekutunya selama ini.

Nasib Ukraina menjadi contoh nyata. Arab Saudi sekarang berbeda dengan sebelumnya, yang sangat menggantungkan jaminan keamanan kepada Amerika Serikat. Kerajaan itu dalam beberapa tahun terakhir tampak berupaya membangun hubungan dengan Rusia dan terus memperkuat relasi dengan Tiongkok, sang aktor besar baru di kawasan. Pembelian sistem pertahanan canggih oleh Saudi dari Rusia membuat Amerika sempat kebakaran jenggot.

Melalui perjanjian dengan Iran yang difasilitasi Tiongkok ini, Saudi jelas ingin melangkah lebih mandiri dalam menghadapi ancaman sangat dekat. Saudi tidak mau didekte Amerika ataupun Israel dalam hal ini. Saudi ingin menghadapi Iran dengan cara berbeda: mengurangi sumber ancaman dari sekelilingnya, khususnya negeri-negeri bulan sabit Syiah yang sudah mengepungnya melalui perbaikan hubungan dengan Teheran.

Iran juga merasa beruntung di tengah isu ancaman serangan preemptive Israel dan AS karena isu capaian pengayaan uranium, serta menderita pengucilan internasional, negara ini mampu menarik salah satu rival besarnya untuk mendekat. Kerja sama keamanan yang mungkin saja akan dilakukan kedua pihak jelas sangat merugikan Israel.

 

Harapan dari Timur 

Kesepakatan Saudi-Iran juga mulai mendedahkan kenyataan baru dalam konstelasi di Timur Tengah. Betapa tidak, aktor berpengaruh di kawasan selama ini, khususnya di Teluk, ialah Amerika Serikat. Negara ini bahkan disebut-sebut sebagai aktor internasional tunggal di kawasan ini. Kompetitornya yang biasa disebut, yaitu Rusia punya pengaruh di wilayah Timur Tengah bagian yang lain, dan itu pun tidak besar. Aktor lain yang disegani ialah Uni Eropa.

Keberhasilan Tiongkok, bukan aktor-aktor besar lain di atas, dalam mencairkan permusuhan Saudi-Iran sungguh historik meskipun harus dilihat perkembangannya di lapangan dalam beberapa waktu kemudian. Kehebatan perjanjian damai ini bukan hanya terletak pada kuatnya permusuhan kedua negara dan pengaruhnya di kawasan. Namun, keterlibatan aktif Tiongkok dalam isu perdamaian kawasan juga merupakan sesuatu yang baru.

Ini sungguh melegakan. Sebab, di tengah terus menguatnya pengaruh Tiongkok di kawasan, ia selama ini dikenal tetap saja ‘cuek bebek’ dengan berbagai persoalan yang mendera Timur Tengah. Tiongkok selama ini seperti tak peduli dengan persoalan kawasan dan begitu egois dengan kepentingan dagangnya. Ketika semua aktor mengambil posisi terhadap konflik Suriah misalnya, Tiongkok menunjukkan sikap netral yang pasif dan tampak hanya mengambil untung dari situasi untuk kepentingan ekonominya.

Keberhasilan Tiongkok mendamaikan Saudi-Iran akan menciptakan citra baru negeri ini di Timur Tengah. Peran positif Tiongkok dalam proses perdamaian tentu diharapkan akan menyentuh persoalan-persoalan krusial lain di Timur Tengah, seperti masalah Palestina-Israel, Fatah-Hamas, Faksi-faksi di Lebanon dan Irak. Masalah lainnya meskipun semua ini tentu tak bisa dianggap secara berlebihan. Namun, di tengah menurunnya peran AS dan Rusia sebagai peace maker di kawasan. Ini semua menjadi lebih mungkin.

Dengan berbagai alasan, Tiongkok saat ini lebih dapat diterima oleh pihak-pihak yang bertikai di Timur Tengah daripada Amerika Serikat. Peran tradisional sebagai peace maker dan mediator seperti yang dilakukan Kesultanan Oman akan efektif di lapangan jika ada sponsor kekuatan besar seperti Tiongkok ini. Wallahu a’lam.

BERITA TERKAIT