09 March 2023, 21:50 WIB

Kebijakan Setengah Hati Mengurai Kemacetan Jakarta


Ahmad Jayadi, Pranata Humas Ahli Muda Kementerian PUPR | Opini

Dok pribadi
 Dok pribadi
Ahmad Jayadi

PERMASALAHAN kemacetan di kota-kota besar khususnya Jakarta sudah menjadi pemandangan sehari-hari, dan menjadi masalah klasik yang belum terurai dari beberapa era kepemimpinan. 

Bahkan mengutip pemberitaan di sejumlah media berdasarkan daftar kota termacet yang dirilis TomTom Traffic Index baru-baru ini, Jakarta menempati posisi ke-29 dari 389 kota dunia. Sedangkan dalam lingkup ASEAN, Jakarta berada di posisi pertama. 

Di ASEAN, Jakarta menempati urutan pertama kota paling macet. Di bawah Jakarta, ada Bangkok di posisi ke-57, disusul Singapura pada posisi ke-127, dan Kuala Lumpur pada tempat ke 143. TomTom melakukan riset terhadap 389 kota di 56 negara dan 6 benua di dunia. Penentuan kota termacet itu didasari pada perhitungan waktu perjalanan, biaya BBM, emisi karbon, dan kemudahan akses antarkota. 

Menjawab permasalahan kemacetan Jakarta yang semakin mengkhawatirkan, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyebutkan telah menyiapkan beberapa langkah sebagai solusi, antaranya Dishub DKI akan menutup 27 u-turn atau putaran balik di lima wilayah Jakarta pada Juni 2023. Lokasi itu ditengarai menjadi salah satu faktor penyebab kemacetan cukup tinggi di Jakarta. 

Menurut hemat penulis, kebijakan penutupan putaran balik hanyalah memindahkan titik kemacetan dari satu titik ke titik lainnya. Secara logika saja, jika memang tujuan pengendara berada di jalur seberang, otomatis pengendara tersebut tetap saja akan mencari jalan untuk memutar ke tujuannya.

Selain menutup putaran balik, Pemprov DKI juga berencana menambah jalan satu arah untuk mengatasi permasalahan macet di Jakarta. Penulis dalam hal ini juga melihat rencana kebijakan ini seperti setengah hati, jangankan untuk menerapkan sistem satu arah, menertibkan pengendara sepeda motor yang melawan arah/arus saja tidak pernah diatur tegas. 

Pemprov DKI Jakarta juga berharap perusahaan mengatur jam kerja agar kendaraan tidak terlalu padat saat jam sibuk. Namun lagi-lagi, kebijakan tersebut hanyalah 'setengah hati' karena bentuknya hanya imbauan menyerahkan ke masing-masing perusahaan soal pengaturan jam kerja pegawai.

Terakhir, rencana kebijakan terbaru Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk mengatasi kemacetan adalah dengan penerapan electronic road pricing (ERP) alias jalan berbayar. Pemerintah meyakini kebijakan ini dapat menekan kemacetan di Jakarta, karena akan membuat pengguna kendaraan pribadi berpikir untuk membawa kendaraannya jika banyak pengeluaran ekstra selain untuk bahan bakar dan parkir. 

Namun penerapan ERP dibutuhkan kajian yang sangat panjang dan matang karena kebijakan ini akan memiliki dampak sosial yang cukup luas. Bahkan di beberapa negara maju seperti Hong Kong, Edinburgh, ataupun kota-kota besar lainnya di Amerika Serikat, rencana penerapan ERP mendapat banyak penolakan. Betul saja, belum saja diterapkan, aturan soal ERP yang tercantum dalam rancangan peraturan daerah (raperda) tentang Pengendalian Lalu Lintas secara Elektronik (PLLE) mendapatkan penolakan dari masyarakat, khususnya pengemudi ojek daring. Karena penolakan itu, raperda ERP sempat akan ditarik, namun Pemprov DKI batal menarik raperda tersebut. 

Seperti setengah hati, Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Syafrin Liputo langsung merespons penolakan tersebut dengan mengatakan ojek online (ojol) bakal dikecualikan pada penerapan ERP. Padahal jika diterapkan di lapangan, bagaimana cara mengidentifikasi pengendara yang merupakan ojol atau bukan? Pasalnya ojek online hanya bermodalkan jaket, tanpa ada perbedaan warna tanda nomor kendaraan bermotor, seperti transportasi umum lainnya yang berwarna kuning. 

Melihat akar masalah 

Sebetulnya jika menilik semua akar masalah kemacetan terjadi karena jumlah populasi dan jumlah kendaraan yang beredar di Jakarta dan Bodetabek sudah melebihi kapasitas. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2021 jumlah kendaraan bermotor di Jakarta sudah mencapai 21,75 juta unit, atau tumbuh 7,6% dengan proporsi tertinggi adalah sepeda motor mencapai 75,92%, sebaliknya pertumbuhan jalan hanya 0,01%/tahun dan diperparah dengan kondisi jalan yang rusak serta penutupan sebagian jalan karena proyek abadi gali tutup lubang utilitas bawah tanah.

Presiden Joko Widodo baru-baru ini mengakui jika kemacetan jalan raya di berbagai daerah di Indonesia, seiring dengan semakin meningkatnya penjualan kendaraan bermotor. Untuk itu penjualan didorong untuk lebih ke arah ekspor. "Setiap tahun tumbuh signifikan. Tahun 2022 tumbuh 18% untuk penjualan mobil dan juga motor mengalami peningkatan 3,3%. Akibatnya, kita sekarang macet di mana-mana," kata Presiden, Kamis (16/2).

Sayangnya, pernyataan Presiden tersebut belum didukung dengan kebijakan tegas untuk pembatasan kepemilikan kendaraan bermotor. Ironisnya, pemerintah lewat kebijakannya juga mendukung kemudahan kepemilikan kendaraan pribadi, baik dari skema kredit/hutang, maupun dukungan produksi kendaraan murah serta terjangkau.

Dalam tulisan saya sebelumnya berjudul Mengatasi Ketertinggalan Transportasi Publik, bahwa mobilitas yang tinggi di perkotaan menuntut tersedianya sarana transportasi umum yang handal, bukan justru memanjakan warganya dengan kendaraan pribadi. Mengutip dari pernyataan Presiden Kolombia Gustavo Francisco Petro Urrego yang menyebutkan, "Negara maju bukan tempat di mana orang miskin memiliki mobil. Negara maju adalah di mana orang kaya menggunakan transportasi umum."
 
Jika memang mau mencari akar masalah kemacetan, dibutuhkan ketegasan regulasi yang jelas mendukung penggunaan angkutan umum, serta mengeluarkan juga regulasi yang bertujuan mengurangi jumlah populasi kendaraan pribadi. Berdasarkan data BPS, dalam lima tahun terakhir, cakupan pelayanan transportasi publik di Jakarta sudah meningkat hampir dua kali lipat dari 42% menjadi 82%. Hal ini tentu merupakan data yang baik yang harus disambut dengan kebijakan yang mendorong warga menggunakan transportasi umum.
 
Keterkaitan antara transportasi umum atau integrasi antarmoda harus menjadi perhatian, sebab mengutip halaman bptj.dephub.go.id, salah satu hal yang membuat angkutan umum tidak nyaman adalah tidak adanya integrasi antarmoda. Ini membuat masyarakat harus mengeluarkan upaya ekstra, baik secara fisik maupun materi, untuk sampai ke lokasi tujuan. 

Ojol seharusnya dapat berfungsi sebagai sarana penghubung ke transportasi publik, dengan catatan harus ada regulasi yang jelas terkait pengaturan ojol sebagai transportasi publik seperti pemberian plat kuning sehingga dapat dibatasi juga populasinya. 

Di samping itu, pembenahan transportasi umum lokal di kota-kota dalam wilayah Bodetabek yang masuk Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten juga harus segera dilakukan. Layanan transportasi umum, seperti Trans Patriot (Kota Bekasi), Trans Pakuan (Kota Bogor), Trans Anggrek (Kota Tangerang Selatan) dan Trans Tangerang (Kota Tangerang) harus dibuat terintegrasi. 

BERITA TERKAIT