SETIAP tahun saat Maret tiba, masyarakat dunia termasuk di Indonesia merayakan hari perempuan internasional. Telah berpuluh-puluh tahun dunia, memperingati hari monumental ini untuk merayakan gerakan sosial, dan politik yang dimotori oleh kaum perempuan. Tepatnya di 1911, yang mana tahun itu menjadi penanda seruan internasional dengan pesan betapa pentingnya kesetaraan.
Gerakan perempuan yang dimulai tepat di 1908, dipicu oleh penindasan dan ketidaksetaraan. Bagaimana tidak, nasib tragis itu dialami oleh kaum buruh perempuan, upah yang tidak manusiawi dan kebebasan berekspresi yang dibatasi. Perdebatan kritis terus terjadi dan puncaknya kerusuhan besar tidak dapat dihindari; sebanyak 15 ribu perempuan turun ke jalan dan menyuarakan tuntutan atas hak-hak mereka. Dua tahun kemudian International Conference of Working Women digelar di Kopenhagen, Denmark. Clara Zetkin sebagai motor penggerak kemudian mengajukan gagasan tentang hari perempuan sedunia.
Indonesia dan gerakan pencerahan
Dalam rentang waktu yang tidak terlalu jauh dengan peristiwa International Conference of Working Women (1910), di Indonesia; Hindia Belanda ketika itu, kesadaran akan perlawanan terhadap kolonialisme dan kritisisme terhadap kesetaraan manusia, sejak itu sudah dimulai.
Setidaknya itu telah jelas dimulai oleh Ki Hadjar Dewantara. Dalam pandangan tokoh tiga serangkai itu sudah mulai membincang hak-hak atas pendidikan yang harus diberikan kepada setiap manusia termasuk juga kaum perempuan. Bahkan fungsi perempuan di ruang publik baik untuk berkarir atau bekerja di luar rumah pun itu mesti dinikmati oleh oleh seorang perempuan dan tidak perlu dipersoalkan. Demikian yang amat ditekankan oleh Ki Hadjar Dewantara (1977:237)
Barangkali hari ini publik pantas menyematkan sebutan baginya sebagai male feminist, karena mempunyai cara pandang yang kritis sekaligus berbeda dalam melihat kesetaraan. Mungkin ia tergerak karena kegelisahannya, pascapemberlakuan politik etis pada akhir abad ke-19. Kondisi saat itu di Hindia Belanda mengubah peta jalan kebijakan pemerintah kolonial, secara tidak langsung mereka memberi kesempatan juga pada kaum perempuan untuk mengakses pendidikan formal.
Tak berhenti sampai di sana, gerakan-gerakan perlawanan terhadap kebijakan pemerintah kolonial semakin gencar, dan berlipat ganda. Sebut saja nama-nama lain yang dicatat dalam sejarah yang upayanya mendirikan sekolah khusus untuk kaum perempuan, di antaranya Dewi Sartika, RA Kartini, dan KH Ahmad Dahlan.
Manuver Ki Hajar Dewantara tidak hanya berhenti pada persoalan pendidikan semata. Di 1912 ia membuat gerakan sosial yang menyerukan pentingnya kesadaran politik dan diwujudkan bersama dalam gerakan sosial politik dan pendidikan bersama Douwes Dekker dan dr Cipto Mangoenkoesoemo. Selain itu juga berdiri Indische Partij dengan tujuan yang lebih jelas dan lebih berani yakni mencapai kemerdekaan.
Meski tidak berumur panjang, karena setahun kemudian atau 1913, partai ini ditolak oleh pemerintah kolonial. Tapi mereka tak patah arang, tak berhenti melawan. Komite Bumipoetra pun dibentuk masih pada tahun yang sama, dan apa yang mereka kerjakan nyaris tidak berubah; tetap melancarkan kritik terhadap pemerintah kolonial.
Puncak perlawanan itu berwujud sebuah tulisan yang pedas, sekaligus nekad, Ki Hajar Dewantara menulis Als Ik Eens Nederlander Was (Seandainya Aku Seorang Belanda), dalam kalimat satire yang berisi kegeraman karena kebijakan pemerintah menarik uang pajak, dari rakyat jajahannya hanya demi sebuah perayaan bebasnya Belanda dari jajahan Prancis. Dalam tulisannya kemudian Ki Hadjar Dewantara menulis "Bangsa ini perlu mewarisi semangat dalam memajukan manusia Indonesia dengan sepenuh hati dan tanpa membeda-bedakan agama, etnis, suku, budaya, adat, kebiasaan, status ekonomi, status sosial, dan jenis kelamin."
Tulisannya semakin membakar semangat perlawanan, dan istimewanya ia menyerukan pikiran-pikiran kritis itu dengan semangat egalitarian. Memang perjuangan itu mungkin akan bisa dimulai ketika kelas-kelas sosial itu dihapus, termasuk kelas-kelas sosial yang didasarkan oleh jenis kelamin. Sederhananya bagaimana mungkin semangat pembebasan itu akan terjadi, ketika dalam kelas-kelas sosial itu masih terdapat penindasan hanya karena jenis kelaminnya berbeda.
Ki Hadjar Dewantara menyeru kaum perempuan Indonesia, "Hai, perempuan Indonesia, masuklah kedunia pendidikan! Di situlah kamu akan merasakan kenikmatan diri, karena kamu bekerja untuk kemuliaan rakyat dan bangsa, selaras dengan kodratmu lahir dan batin."
".... ketahuilah, bahwa kaum perempuan sekalian berkuasa mendidik, karena besarnya pengaruh perempuan pada barang dan tempat di sekelilingnya dalam hal kesucian, kehalusan dan dalamnya batin. Ingatlah bahwa perempuan berhak turut campur dalam suatu permasalahan. Hukum adat kita memberi hak dan kelonggaran pada perempuan bahkan lebih daripada hak-hak perempuan eropa!! Usahakanlah kekuatan kalian! Pergunakanlah hak-hakmu! (Ki Hadjar Dewantara Jilid II, 1967:242)
Ironi dan perlawanan hari ini
Hari ini, kaum perempuan dunia berupaya kembali mengartikulasikan perjuangan yang telah dimulai lebih dari 100 tahun lalu. Hari ini, mereka berdiri diatas kesadaran akan kondisi peradaban yang disesaki oleh pertarungan nilai. Namun Kenyataan hari ini sudah di prediksi, bahkan sejak dimulainya revolusi Prancis, sebagaimana catatan Claude Lefort yang diberi judul La dissolution des repères de la certitude.
Dalam pikirannya, setiap perjuangan pembebasan itu akan bertemu— dijangkiti virus totalitarianisme, jelas virus itu berbahaya dan mengancam demokrasi. Pola kerja ancamannya akan selalu copy paste dengan pola kuasa lama suatu rezim. Ruang-ruang kuasa sebagaimana dimaksud oleh Lefort membuat segala jenis gerakan sosial akan buntu (termasuk gerakan perempuan). Itu karena sebuah marka atau simbol tradisi kekuasaan yang tertutup atau sengaja ditutup; didasari oleh trah politik kekuasaan. Dalam frasa yang dipilih Lefort jalan yang mesti ditempuh adalah 'mengosongkan ruang kuasa' agar ia dapat berhenti— diganti dengan ruang-ruang publik yang egaliter.
Memang tidak pernah ada yang sempurna dalam upaya perlawanan, namun becermin dari perlawanan yang pernah dilakukan di tanah Hindia Belanda, yang kini telah menjadi bangsa yang merdeka. Suara-suara perlawanan itu akan semakin keras ketika dibungkam, bisa jadi karena wajah-wajah operasi dari kekuasaan yang menjelma dalam beragam bentuk, bisa itu eksploitasi, marjinalisasi, kekerasan atau imperialisme budaya dan berujung pada ketidakberdayaan. Seburuk-buruknya keadaan ketika masyarakat terjebak dalam fatalistik yang melihat ketidakadilan dalam segala bentuk dan rupanya sebagai takdir, dan mereka tidak lagi melawan.