03 March 2023, 17:15 WIB

Intoleransi, Kemanusiaan pun Semakin tidak Manusiawi  


Gantyo Koespradono, Mantan wartawan, pemerhati sosial politik     | Opini

Dok pribadi
 Dok pribadi
Gantyo Koespradono

AKSI intoleransi di Indonesia, jika dibiarkan, sangat mungkin negeri ini lama-lama akan hancur, nilai-nilai kemanusiaan semakin tak memiliki makna apa pun. Tenggang rasa berganti menjadi tega.
 
Lebih memprihatinkan, disadari atau tidak (malah mungkin disengaja?), 'semangat' berintoleransi itu ditanamkan kepada anak-anak saat mereka menempuh pendidikan di sekolah. Kita sering mendengar kabar ada anak-anak yang tidak mau berteman dengan kawannya di sekolah dan kelas yang sama, hanya gara-gara sang teman berbeda agama. Saat ditelusuri lebih jauh, ternyata sikap intoleran anak-anak itu diperoleh dari orang tua dan guru-guru mereka. Keblinger, kan?
 
Maka beralasan jika tidak seperti biasanya, Forum Diskusi Denpasar 12 – forum ini digagas Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat – Rabu (1/3), mengusung tema Peran Pendidikan Melawan Intoleransi dan Mengawal Kebhinnekaan.

Tema itu diusung dengan latar belakang  bahwa konstitusi negeri ini dengan jelas dan tegas menggariskan bahwa setiap orang bebas memeluk agama dan beribadah menurut agamanya. Negara pun menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama serta beribadah sesuai dengan keimanan masing-masing.
 
Kata-kata dalam konstitusi tersebut memang terdengar indah, manis, juga menyejukkan. Namun faktanya tidak seindah kata-kata. Ini sekadar contoh apa yang terjadi di lapangan. Berdasarkan data hasil riset Setara Institute pada 2021, Depok menjadi kota 'juara' intoleransi dengan mendapat skor 3,577 dari 94 kota di seluruh Indonesia.
 
Survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) 2022 bahkan menyimpulkan masyarakat Indonesia belum toleran. Berikut adalah contoh kasus aktual. Tempo hari beredar di grup-grup WA ada foto seorang polwan yang sedang menggendong bayi yang ditelantarkan orang tuanya.
 
Jujur, saya tidak peduli dengan postingan tersebut kecuali menangkap pesan moral bahwa (maaf) di saat banyak oknum polisi berkelakuan buruk, masih ada polisi yang baik dan berhati mulia; peduli kepada kemanusiaan.
 
Kemarin ada anggota grup lain yang kembali mengirim foto polwan tersebut yang di bawahnya disertai link Instagram milik Peter Gontha dan disertai narasi yang diberi judul Kisah Kemanusiaan yang Tidak Manusiawi.

Peter menulis; Seorang Polwan yang punya kasih, ingin mengadopsi seorang bayi yang ditemukan di parit dalam kardus, kedinginan, sekarat, dibuang begitu saja.
 
Tapi Pemerintah Kota Binjai (Sumut) melalui Kepala Dinas Sosial HT Syarifuddin tidak memperbolehkannya, karena polwan yang mulia itu beragama Nasrani. Alasannya, karena terikat oleh PP No 54 tahun 2007 (Anak terbuang/terlantar hanya boleh diadopsi oleh warga yang beragama Islam).
 
Bayi tersebut kemudian diserahkan ke panti asuhan di Medan, Sumatra Utara. Banyak masyarakat yang protes tapi Pemkot Binjai tak menggubris. Sang polwan berujar dalam hati, begitu tulis Peter; 'Maafkan aku anak yang manis, polos, malang tak sanggup. Aku melepasmu karena sebulan kita bersama di RSU Djoelham Binjai dalam tali kasih murni. Aku tidak boleh mengadopsimu, karena undang-undang yang melarangnya, apa boleh buat. Inilah kehidupan dunia. Entah kapan kita berjumpa lagi sayangku, takdirlah yang menentukan. Kuberharap engkau Bahagia. Amin.'
 
Merinding saya membaca narasi Peter Gontha. Separah itukah intoleransi tatkala kita atau siapa pun melakukan aksi kemanusiaan?
 
Intoleransi yang berakibat aksi kemanusiaan tak manusiawi itu bagi saya sudah benar-benar parah. Saking seringnya menyaksikan dan mendengar aksi intoleransi yang wujudnya berupa penutupan gereja, mempersulit izin pendirian gereja, menghentikan secara paksa peribadahan di sebuah gereja seperti yang terakhir terjadi di Bandar Lampung, buat saya sudah imun.
 
Menyasar murid sekolah

Bukan lagi menjadi peristiwa menarik sebab selalu muncul setiap saat dan berakhir tanpa solusi sosial dan hukum. Negara seolah membiarkan dan berharap masyarakat segera melupakannya. Kelompok yang menjadi korban intoleransi juga menganggap peristiwa itu bagian dari cobaan iman.
 
Lha, mau bagaimana lagi? Membalas aksi dengan aksi serupa? Jelas tidak mungkin sebab akan semakin terdiskriminasi. Ujung-ujungnya pasrah.
 
Yang kita khawatirkan adalah jika aksi-aksi intoleransi seperti itu dijadikan pembenaran untuk melakukan aksi-aksi intoleransi berikutnya dan dijadikan 'acuan' bagi para orang tua dan guru untuk ditanamkan kepada muridnya di sekolah.
 
Siapa yang tidak khawatir jika Direktur Riset Setara Institute, Halili Hasan, dalam Forum Diskusi Denpasar 12 mengungkapkan, benih-benih intoleransi sudah ada sejak di bangku sekolah. Berdasarkan riset Setara terhadap pelajar SMA negeri pada 2016, tercatat ada 35,7% pelajar terindikasi intoleran aktif dan 2,4% intoleran pasif. Halili berterus terang, temuan tersebut jelas sangat mengkhawatirkan.
 
Lalu solusinya? Halili merekomendasikan agar Kemendikbudristek melakukan diseminasi mahasiswa dan pelajar lewat revitalisasi forum akademik, perbanyak ruang perjumpaan dan pembudayaan tradisi, dan kearifan lokal.
 
Selain itu, penting juga membangun sinergi kampus, orang tua dan mahasiswa. Mencegah kampus dan sekolah menjadi enabling environment bagi berkembangnya paham dan gerakan keagamaan yang intoleran, eksklusif, ekstrem dan kekerasan.
 
Yang tidak kalah penting, tegas Halili, mewujudkan tata kelola organisasi mahasiswa yang inklusif dan menerapkan inklusivitas serta meritokrasi dalam rekrutmen guru.

Tiga dosa besar
 
Saya setuju rekrutmen guru sangat penting. Guru yang terindikasi intoleran, pantang hukumnya untuk diterima dan berstatus menjadi guru. Bagaimana dengan guru-guru intoleran yang saat ini sudah terlanjur mengajar? Lebih baik mereka dipecat. Buat apa terus dipertahankan jika malah menjadi perusak kebinekaan Indonesia?
 
Kemendikbudristek sendiri, seperti disampaikan Kepala Bagian Pengolahan Laporan Pengawasan Inspektorat Jenderal Kemendikbudristek, Julians Andarsa, dalam diskusi tersebut, intoleransi adalah satu dari tiga dosa besar di kementerian yang bertanggung jawab di bidang pendidikan ini. Dua dosa besar lagi ialah perundungan dan kekerasan seksual.
 
Kalau Kemendikbudristek sudah memperkenalkan tiga dosa besar, tentu menjadi hal yang lumrah jika petinggi di instansi ini terus menerus berdakwah dan mengingatkan jajarannya yang masih membandel agar 'jangan berbuat dosa lagi'.
 
Kita tidak ingin mendengar lagi kabar ada guru yang mengajarkan atau sengaja menanamkan intoleransi kepada generasi penerus bangsa ini, yang berakibat kemanusiaan di Indonesia semakin tidak berperikemanusiaan.
 
Kita punya konsensus kebangsaan, yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika. Sebagai penutup, izinkan saya mengutip ajakan Lestari Moerdijat dalam diskusi tersebut, "Yuk kita bangun kesadaran bersama untuk berbenah, mencegah kasus-kasus intoleransi kembali terjadi."

BERITA TERKAIT