25 February 2023, 05:00 WIB

Perempuan Muslim dan Feminisme: Antara Islam, Dekolonialitas, dan Universalitas Etik Kemanusiaan


Yuyun Sri Wahyuni PhD Candidate di Program Global Gender Studies University at Buffalo Amerika Serikat, Sekretaris Pengurus Cabang Istimewa Amerika Serikat dan Kanada 2021-2023 | Opini

Dok. Pribadi
 Dok. Pribadi
    

“FATAYAT dan Muslimat jangan ikut-ikutan feminisme. Feminisme itu tidak tepat untuk kita. Kita harus memulai dengan wawasan keagamaan yang kita miliki.” (KH Yahya Cholil Staquf, Ketua Umum PBNU 2021-2026)

 

Pernyataan KH Yahya Cholil Staquf ini viral di media sosial menjelang peringatan satu abad NU yang lalu, dan setidaknya ada dua respons dari pernyataan tersebut. Pertama, pembelaan terhadap Gus Yahya dan penegasan bahwa beliau tidak sedang berlaku misoginis dan tidak sedang mengampanyekan ketidakadilan terhadap perempuan. Hal itu dibuktikan dengan kehadiran perempuan dalam badan struktural PBNU periode 2021-2026, titik sejarah baru dalam perjalanan satu abad NU.

Kedua, kritik pada statement tersebut sekaligus kepada aktivis Fatayat/Muslimat yang cenderung apologetik dan tidak ‘berani’ kritis terhadap instruksi Gus Yahya selaku Ketum PBNU. Respons kedua menyebutkan hal ini berpotensi melemahkan perjuangan panjang feminis muslim di kalangan nahdliyin yang tidak mudah. Selain itu, hal ini mirip dengan tren gerakan Indonesia tanpa feminisme akhwat puritanist yang naik daun beberapa tahun terakhir: Islam sudah adil kepada perempuan, Islam tidak perlu feminisme.

Preseden dan perdebatan ini, jika kita amati lebih dalam, terkait dengan isu yang lebih besar yang terus-menerus diperdebatkan, yakni isu kesetaraan dan keadilan perempuan, Islam, dan feminisme.

Pada persimpangan ini, saya mengambil titik tengah. Kedua respons dan interpretasi atas pernyataan Gus Yahya mengenai perempuan NU dan feminisme bisa jadi benar. Akan tetapi, kedua posisi tersebut bersifat parsial sehingga belum menyentuh inti persoalan yang lebih kompleks yang dihadapi oleh perempuan muslim di Indonesia, begitu juga sebagian besar perempuan NU.

Selain itu, mempertentangkan Islam dan feminisme mereifikasi spektrum sejarah serta perkembangan feminisme yang dinamis dan tidak bergerak satu arah. Akibatnya, posisi mempertentangkan lebih mengarah pada kelanjutan demonisasi feminisme atas dasar politisasi ideologi gender. Padahal, berbeda dari anggapan politis maupun awam mengenai feminisme, kajian ilmiah menunjukkan bahwa feminisme adalah sebuah istilah generik yang memayungi macam-macam bentuk pemikiran serta gerakan kesetaraan dan keadilan perempuan global.

MI/Duta

 

Teori dekolonial dan kritiknya

Teoretikus dekolonial berpandangan kolonialisme adalah sisi gelap dari modernitas. Melalui kelanjutan kolonialitas kekuasaan, ilmu dan peradaban di luar epistemologi Barat dibungkam atau dihapuskan. Jika pernyataan Gus Yahya kita pahami seiring dengan arah perkembangan isu dan teori dekolonialitas, hendaknya juga kita lengkapi dengan kajian kritik di atas kritik. Misalnya, kritik teori dekolonial menunjukkan gejala patriarki yang kembali menguat di masyarakat seiring dengan kesadaran atas keberlanjutan dominasi Barat atas Timur. Sehingga, tanpa kehati-hatian dan tanpa mengindahkan perkembangan teori sosial humaniora semacam ini, pernyataan Gus Yahya menegaskan dan dipahami secara mentah bahwa feminisme dan Islam yang bertentangan.

Mempertentangkan Islam dan feminisme mereduksi sejarah perkembangan gerakan perempuan muslim di Indonesia. Hal ini juga mempertaruhkan keberlanjutan perjuangan kesetaraan dan keadilan perempuan muslim di Indonesia, yang erat kaitannya dengan isu-isu interseksionalitas.

Beragam studi interseksionalitas menunjukkan bahwa ketidakdilan pada perempuan tidak dihasilkan dari sebuah bentukan faktor tunggal sehingga solusi peminggiran perempuan sulit didapatkan hanya dengan mengkaji dan mendalami satu bidang ‘saja’. Pertentangan ini juga memutus perkembangan feminisme Islam di Indonesia yang menjadi lokus dialogis peradaban atas pertemuan Timur (Islam) dan Barat dalam universalitas nilai kemanusiaan dan etik keadilan.

 

Sejarah (singkat) istilah feminisme Islam

Islam dan feminisme tidak berada pada posisi biner yang paradoksikal. Sebagaimana Islam, feminisme berpihak kepada yang lemah dan dilemahkan. Cara pandang ini melahirkan kesadaran dan beragam jenis teoretisasi dan gerakan politik perempuan atas kesetaraan dan keadilan, tidak hanya untuk perempuan, tetapi untuk semua bentuk penindasan yang sebagian besar korbannya ialah perempuan.

Feminisme juga merupakan salah satu perkembangan dari teori-teori ilmu sosial yang berdialektika dengan realitas kehidupan sehari-hari perempuan dan gender. Sehingga, sekali lagi, feminisme bukan sebuah realitas tunggal.

Dalam sejarah keilmuannya, feminisme dikooptasi oleh kepentingan ekonomi dan politik yang mendukung dominasi ras kulit putih dan melanjutkan bangunan keilmuan yang tidak netral. Akibatnya, feminisme diapropriasi sebagai hegemoni dan ‘penindasan jenis baru’ dari perempuan kulit putih atas perempuan berwarna, termasuk perempuan muslim.

Hal ini menimbulkan beragam kritik dari feminis kulit berwarna, di mana kritik-kritik tersebut berkontribusi atas munculnya beragam teori dan gerakan feminisme, seperti feminisme pascakolonial dari Asia Selatan yang terkenal dengan teori subaltern. Juga, karya fenomenal Saba Mahmood, Politics of Piety: The Islamic Revival and the Feminist Subject, yang menggarisbawahi realitas penindasan perempuan muslim yang berbeda dari Barat sekaligus bentuk agency yang berbeda dari Barat.

Di samping itu, juga ada feminisme dekolonial yang dikembangkan oleh teorist dan feminis perempuan Amerika Latin, yang menginspirasi lahirnya teori-teori dekolonial. Sayangnya, perkembangan selanjutnya dari teori-teori dekolonial dianggap mencerabut kontribusi ilmuan perempuan dan menegasikan isu keadilan pada perempuan.

Aktivisme dan teoretisasi aktivisme kesetaraan dan keadilan perempuan muslim disebut feminisme Islam. Feminisme Islam berangkat dari kesadaran atas ketimpangan hidup perempuan muslim yang disebabkan oleh penafsiran yang bias gender. Kesadaran ini digali dan dikembangkan berdasarkan sumber-sumber authoritative dalam Islam seperti Al-Qur’an dan sunah, serta dirujuk pada intelektualitas kritis para sahabat perempuan radhiyallahu ‘anhunna di masa kenabian.

Contohnya, di masa Rasulullah SAW para sahabat perempuan sudah mempraktikkan tradisi kritis yang mempertanyakan struktur masyarakat patriarkis. Salah satunya pertanyaan kritis sahabat perempuan kepada Rasulullah SAW yang menjadi sebab turunnya ayat ke-35 di dalam Surah Al-Ahzab. Jadi, berbeda dari anggapan awam bahwa feminisme Islam adalah sebuah ‘proses ikut-ikutan Barat’, feminisme Islam lahir dari kesadaran kritis. Kesadaran ini melahirkan beragam format intelektualitas, dan gerakan feminisme Islam disandarkan pada perspektif dan metodologi keilmuan Islam yang berdialog dengan isu-isu gerakan perempuan global, feminisme.

 

Perdebatan dan perkembangannya di Indonesia

Feminisme Islam mendapatkan resistensi ganda, baik dari feminis Barat maupun dari perempuan muslim yang mendapatkan label feminis. Feminisme Barat yang berkembang dari semangat enlightenment sekuler mempertanyakan posibilitas kesetaraan yang dinisbatkan pada hal yang mereka anggap sebagai sumber ketertindasan perempuan, agama (dalam konteks ini Islam). Sebaliknya, ilmuwan perempuan muslim, seperti Asma Barlas, menyebutkan bahwa intelektualitas yang ia kembangkan bukan hal baru dalam Islam. Barlas beranggapan label feminis yang disematkan kepadanya mereduksi dan memaksa karyanya berada dalam bangunan epistemologis feminisme Barat.

Berbeda dengan Barlas, kelompok ilmuwan dan feminis perempuan muslim lain melihat urgensi istilah feminisme dalam intelektualitas dan aktivisme perempuan muslim. Mereka menisbatkan diri sebagai feminis muslim. Adapun karya intelektual dan aktivisme mereka dikenal dalam tradisi feminisme sebagai feminisme Islam.

Dalam karya-karya tersebut, feminisme dan Islam tidak dipertentangkan, tetapi dikembangkan menjadi alat analisis yang sangat efektif untuk mengkaji kontur keteririsan beragam unsur, baik politik, agama, maupun budaya, yang menyebabkan kehidupan perempuan berada pada impitan ketidakadilan interseksional.

Di Indonesia, feminisme Islam berkembang melalui pemikiran dan aktivisme feminis muslim Indonesia generasi awal, seperti Ibu Lies Markoes dan KH Husein Muhammad sampai dengan generasi feminisme Islam muda saat ini seperti Dr Nurrofi’ah Bil Uzm dan Dr Fakihuddin Abdul Kodir.

Melalui dialektika akademik dan aktivisme, feminisme Islam Indonesia berkembang sejalan dengan realitas sosial masyarakat Islam Indonesia. Tetapi, juga terkait dengan sejarah politik ideologi gender Orde Baru, banyak kelompok muslim memiliki antipati pada gerakan perempuan dan feminisme. Akibatnya, penggunaan istilah feminisme dihindari di kalangan para aktivis muslim perempuan. Meskipun demikian, pinjam-meminjam istilah dan alat analisis, serta dialog dalam Islam dan feminisme di Indonesia terus diperjuangkan.

Terkait dengan isu Islam, kesetaraan dan keadilan perempuan, dan feminisme, pertanyaan lebih lanjut yang seyogianya kita refleksikan dan jawab bersama ialah: mengapa gerakan kritis perempuan muslim, feminisme Islam, tidak disukai sekaligus didemonisasi? Jika jawaban mudah yang kita pikirkan—anggapan bahwa feminisme berasal dari Barat—bukankah kita juga menggunakan istilah lain dari Barat? Jika karena perempuan memperjuangkan kesetaraan dan keadilan tidak sesuai adat ketimuran, bukankah laki-laki dan perempuan adalah makhluk yang setara?

Selanjutnya, mengapa filter dialog peradaban berabad wal-akhdzu bil jadidil ashlah dapat diterima untuk kemaslahatan bangsa (laki-laki) dan sulit untuk kemaslahatan dan citizenship perempuan? Akhirnya, kita juga perlu bertanya secara kritis dan reflektif, apakah pandangan kita tentang Islam yang bergerak ke arah esensialis dan statis dapat membawa Islam di Indonesia sebagai pusat peradaban muslim, ataukah hal ini termasuk ke dalam sebuah bentuk kesombongan exceptionalism sebagaimana yang kita kritik dari Barat?

BERITA TERKAIT