ISU penundaan Pemilu dan perpanjangan masa jabatan Presiden akhir-akhir ini menjadi wacana yang banyak dibicarakan. Beberapa kebijakan Pemerintah dicurigai mengarah kepada wacana itu, termasuk persetujuan tentang perpanjangan masa jabatan Kepala Desa disinyalir sebagai bagian dari roadmap penundaan Pemilu dan perpanjangan masa jabatan Presiden.
Sistem politik di Indonesia sekarang menunjukkan bahwa partai politik (parpol) menjadi sebuah kekuatan mengalahkan kekuatan rakyat, dan mengalahkan kekuatan eksekutif/Presiden. Setiap keputusan politik strategis negara, selalu ditentukan oleh parpol yang dilakukan melalui anggota-anggotanya di parlemen. Anggota parpol di parlemen, jika tidak tunduk kepada keputusan partai, terancam diganti dengan istilah PAW atau Pergantian Antar Waktu yang dibenarkan oleh Undang-Undang. Oleh sebab itu, anggota parlemen sangat tunduk kepada keputusan partai. Sehingga Ketua Umum Partai seakan-akan menjadi “monster” yang setiap saat dapat mengancam anggota parlemen yang tidak patuh dan tidak taat kepada keputusan partai. Bahkan ada partai yang menyatakan regulasi tertinggi partai berada di tangan Ketua Umum, mengalahkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga partai.
Pemerintah sebagai mitra Parlemen, acap kali takut dengan parlemen. Anggota Kabinet yang tidak mengakomodir saran dan kemauan parlemen, bisa jadi “bulan-bulanan” pada saat berlangsung rapat kerja dengan parlemen. Hal itu sering kali kita saksikan di media sosial, bagaimana seorang Menteri, di senggak, dipermalukan, dimarah-marahi anggota parlemen. Tidak jarang anggota parlemen dalam sidang atau rapat kerja, menunjuk-nunjuk pejabat Eselon Satu kementerian/ lembaga karena dianggap tidak mampu memahami aspirasi dan kehendak yang disampaikan oleh anggota parlemen.
Rakyatpun tidak berkutik dibuat parlemen karena mempunyai kewenangan membuat undang-undang, meskipun undang-undang itu diragukan manfaatnya bagi rakyat. Tapi dengan kekuatan yang dimilikinya, parlemen dengan mudah dapat saja melakukan “ketuk palu”.
Palu yang di pegang dan di ketuk oleh pimpinan sidang di parlemen, sesungguhnya bukanlah palu parlemen, tapi palu partai politik. Keputusan yang diketuk oleh pimpinan sidang adalah keputusan parpol melalui anggotanya di parlemen. Meskipun materi yang diputuskan mendapat penolakan dari rakyat, atau tidak sesuai dengan keinginan rakyat, tetap saja diketuk jika partai sudah memerintahkan.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa pada hakekatnya anggota parlemen itu bukanlah wakil rakyat, melainkan wakil partai. Apalagi pada saat pencalonan untuk menjadi anggota parlemen ditentukan oleh partai, maka benar-benar anggota parlemen itu ialah wakil partai, bukan wakil rakyat. Begitu kuatnya kedudukan parpol dalam sistem politik kita, sampai-sampai ada Ketua Umum Partai yang menyatakan bahwa “Presiden adalah petugas partai”.
Apabila partai dapat membangun koalisi besar, maka apa saja yang dikehendaki, pasti bisa terpenuhi, termasuk keputusan untuk menunda Pemilu, atau bahkan melakukan amandemen Undang-Undang Dasar yang muaranya melakukan perpanjangan masa jabatan Presiden. Kalau hanya sekedar merubah undang-undang tentang Pemilu cukup dilakukan oleh DPR, tidak perlu sampai ke MPR. Namun untuk merubah Undang-Undang Dasar, harus dalam sidang MPR. Anggota MPR terdiri dari anggota DPR dan DPD. Jumlah anggota DPD saat ini sebanyak 136 orang minus pemekaran Provinsi di Papua, sehingga jumlah anggota MPR adalah 575 + 136 = 711 orang. Anggota DPR periode 2019-2024 terdiri dari PDI-P (128 orang), Golkar (85 orang), Gerindra (78 orang), NasDem (59 orang), PKB (58 orang), Demokrat (54 orang), PKS (50 orang), PAN (44 orang) dan PPP (19 orang).
Jika mengikuti perkembangan politik saat ini, kenyataan menunjukkan bahwa Nasdem mengusung calon Presiden diluar yang dikehendaki Presiden Jokowi. Dapat dipastikan berdampak kepada koalisi yang sudah terbangun di dalam sistem politik di Indonesia, yakni adanya koalisi pendukung pemerintah dan koalisi non pendukung pemerintah atau lebih sering disebut dengan istilah “oposisi”. Jika Nasdem masuk ke dalam koalisi partai “oposisi” maka struktur koalisi partai di parlemen sedikit mengalami perubahan, dimana PKS, Demokrat, dan Nasdem menjadi koalisi partai “oposisi” sedangkan PDIP, Golkar, Gerindra, PKB, PAN dan PPP tetap menjadi koalisi partai pendukung pemerintah.
Namun jumlah koalisi partai “oposisi” masih belum cukup sebagai mayoritas dalam proses pengambilan keputusan di parlemen, sehingga DPR RI masih tetap dikuasai oleh partai koalisi pendukung pemerintah. Begitu juga di MPR, meskipun katakanlah DPD RI berkoalisi dengan partai “oposisi”, juga belum cukup untuk mencapai angka mayoritas di MPR. Dengan kata lain, hingga saat ini sistem politik kita masih dikuasai oleh parlemen pendukung pemerintah, sehingga seluruh kebijakan pemerintah bisa diatur oleh partai politik, termasuk jika ingin melakukan penundaan Pemilu bahkan melakukan amandemen UUD Negara RI Tahun 1945 yang mengarah kepada perpanjangan masa jabatan Presiden, dapat dilakukan jika koalisi partai mayoritas menghendaki.
Satu-satunya yang bisa menghempang hal itu ialah parlemen jalanan. “Pers” yang selama ini kita kenal sebagai Pilar ke empat demokrasi, kenyataannya sebagaian besar dikuasai oleh pemilik modal yang berada pada posisi pendukung pemerintah. Sehingga satu-satunya yang diharap bisa melakukan perlawanan terhadap keputusan kebijakan Pemerintah dan keputusan Parlemen tentang Penundaan Pemilu dan perpanjangan masa jabatan Presiden adalah parlemen jalanan, seperti yang terjadi pada tahun 1965 dan tahun 1998.
Keputusan tentang persetujuan perpanjangan masa jabatan Kepala Desa juga di sinyalir sebagai bagian dari roadmap penundaan Pemilu dan perpanjangan masa jabatan Presiden. Hal itu bisa saja terjadi dengan cara melakukan manipulasi aspirasi dengan memanfaatkan Kepala Desa untuk menyampaikan aspirasi penundaan Pemilu dan perpanjangan masa jabatan Presiden sehingga seakan-akan menjadi suara rakyat.
Era Post Truth
Pada masa sekarang kita masuk ke dalam suasana yang disebut dengan era “post truth” yakni suatu era dimana kebohongan dapat disamarkan menjadi sebuah kebenaran. Sebuah kebohongan dikemas dan diolah sedemikian rupa sehingga yang salah seakan-akan bisa menjadi benar. Caranya dengan memainkan emosi dan perasaan khalayak.
Dalam era post truth yang penuh dengan digitalisasi informasi, dengan berbagai tayangan yang mudah didapat dan dicari, untuk hiburan ataupun sekedar informasi, masyarakat tidak perduli lagi dengan kebenaran, karena fakta objektif tidak lagi dianggap terlalu penting dalam membentuk sebuah opini, yang penting adalah emosi, perasaan, dan kepercayaan masing-masing individu.
Fenomena post truth diperkenalkan oleh Steve Tesich seorang novelis berkebangsaan Serbia-Amerika yang menulis sebuah artikel berjudul “The Government of Lies” dalam majalah The Nation yang terbit di Oxford Amerika Serikat. Istilah post truth sempat menjadi “Word of the Year” versi Oxford Dictionary pada saat Pemilu 2016 di Amerika Serikat. Saat itu publisitas politik didominasi oleh kampanye digital melalui media sosial. Khalayak benar-benar terbius oleh media sosial.
Demikian juga halnya dengan perilaku politik yang kita rasakan saat ini di Indonesia. Kadang kala kita merasakan adanya upaya mendistorsi informasi demi menutupi kelemahan dan kekurangan dalam implementasi kebijakan publik dengan memanfaatkan media sosial dan media online. Situasi ini dapat saja digunakan untuk membentuk opini publik tentang penundaan Pemilu dan perpanjangan masa jabatan Presiden.
Berangkat dari kerangka pemikiran yang diuraikan diatas, kita berharap partai politik jangan “neko-neko” melakukan manuver politik penundaan Pemilu dan perpanjangan masa jabatan Presiden. Sebab hal itu akan memancing munculnya parlemen jalanan yang bisa saja tidak terkendali dan akhirnya bisa menimbulkan “riot” yakni kerusuhan massal sebagaimana pengalaman kita pada tahun 1965/1966 dan tahun 1998.
Penundaan Pemilu tidak saja berarti memperpanjang masa jabatan Presiden, namun berarti juga perpanjangan masa jabatan anggota parlemen. Oleh karenanya, jadwal yang telah ditetapkan oleh KPU hendaknya dipatuhi oleh semua pihak. Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan tanggal pelaksanaan Pemilu Serentak, yaitu Pemilihan Umum untuk memilih Anggota DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota dan Pemilihan Presiden/Wakil Presiden, yakni hari Rabu tanggal 14 Februari 2024. Hal itu sesuai dengan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 3 Tahun 2022 Tentang Tahapan Dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilu Tahun 2024.
Tentunya demi menjaga stabilitas politik negara dan menjaga integritas pemerintah dan parlemen tentang konsistensi terhadap regulasi yang telah diterbitkan, masyarakat meminta agar Pemilu Serentak tidak mengalami penundaan sesuai jadwal yang telah ditetapkan KPU. Sehingga pada tahun 2024 yang akan datang, Republik Indonesia akan memiliki anggota Parlemen dan Presiden/Wakil Presiden hasil Pemilu Serentak Tahun 2024.