15 February 2023, 22:05 WIB

Gus Yahya dan Pesan Strategis NU di Abad ke-2


Nanang Fatchurochman, Kepala Kanwil Kemenag Banten | Opini

Dok pribadi
 Dok pribadi
Nanang Fatchurochman

RESEPSI puncak satu abad Nahdlatul Ulama (NU) telah usai beberapa waktu lalu. Acara akbar yang digelar di stadion Delta Sidoarjo, Jawa Timut itu bak magnet yang menarik lautan manusia dari segala arah. Kemacetan sepanjang puluhan kilo meter pun menjadi tidak terhindarkan. Saya dan siapapun yang berada langsung di sana, akan menyasksikan lautan manusia yang begitu khusyuk dan antusias untuk ambil bagian dalam momen penting sejarah NU tersebut.  

Kekhusyukan serta antusiasme warga semakin memuncak tatkala gema shalawat, zikir, serta iringan orkestra musik mulai dipentaskan. Salah satu bagian yang membekas dari acara itu ialah pidato pamungkas yang disampaikan Ketua Umum Tanfidziyah PBNU KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya). Dalam penggalan akhir pidato sambutannya itu Gus Yahya mengirimkan ucapan, "Selamat datang di abad ke-2 Nahdlatul Ulama."
 
Mula-mula Gus Yahya mengucapkan kalimat tersebut dengan nada pelan terutama ketika kalimatnya itu ditujukan terhadap Presiden Joko Widodo dan para ulama sepuh. Gus Yahya mulai menaikan nada bicara tatkala ia menyebut badan-badan otonom NU, Indonesia, dunia dan alam semesta. 

"Banseeerrr, selamat datang di abad kedua Nahdlatul Ulama, Indonesiaaa, selamat datang di abad kedua Nahdlatul Ulama, dunia, selamat datang di abad kedua Nahdlatul Ulama, alam semesta (universe) selamat datang di abad kedua Nahdlatul Ulama !!!!" Demikian kira-kira orasi penuh semangat Gus Yahya diakhir sambutannya. 

Pesan strategis

Pekikan orasi yang diucapkan Gus Yahya menurut saya mengandung setidaknya dua makna penting dan strategis. Pertama, beliau mengajak seluruh warga nahdliyin untuk tidak hanya menyambut NU di abad ke-2 secara seremonial, melainkan juga bersiap dengan akselerasi gerakan NU untuk menyongsong masa depan gemilang dengan beberapa prioritas penting di antaranya: penguatan sumber daya NU lintas ranah (jam’iyah-jama’ah), lalu berperan aktif dalam isu-isu strategis dunia meliputi perubahan iklim, krisis energi, adaptasi kemajuan dunia teknologi, serta antisipasi konflik global di masa depan.

Kedua, Gus Yahya mengajak sekaligus mengingatkan warga nahdliyin untuk tampil percaya diri pada perannya sebagai entitas yang mendiasporakan dan mengaplikasikan nila-nilai moderat (wasatiah), sebagai karakteristik utama dan melekat dalam diri warga nahdliyin. Karena di masa yang akan datang, tantangan menyangkut penetrasi ideologi yang memanfaatkan keterhubungan digital akan semakin masif. 

Selain itu, realitas tentang perubahan budaya global di tengah arus digitalisasi dunia membuat masing-masing warga nahdliyin dituntut untuk memberikan performa terbaik agar tidak gagal memahami kondisi zaman dan sekaligus tetap memegang teguh nilai-nilai Islam ahlussunnah waljama’ah. Ringkasnya, kader-kader NU memiliki tugas ganda yakni menjaga tradisi dan beradaptasi untuk melahirkan inovasi. Kedua pesan strategis tersebut memiliki irisan yang saling tehubung dengan peta jalan NU di abad ke-2. 

Irisan pertama 

Irisan pertama terletak pada penguatan sumber daya yang dimiliki NU. Sumber daya di sini meliputi kader, seluruh warga NU, serta fasilitas yang dimiliki organisasi. Berdasarkan urutannya, yang harus menjadi perhatian utama ialah bagaimana NU mampu mengembangkan sumber daya yang dimiliki melalui pemetaan potensi yang dimulai dari rasio usia muda seperti jenjang tingkat SLTP dan SLTA. 

NU mempunyai modalitas yang cukup dari keberadaan intitusi pendidikan sekolah dan pesantren yang berada di bawah naungannya. Dalam statistik yang dirilis Kementerian Agama menunjukan bahwa jumlah pesantren di Indonesia mencapai angka 36.600. Sementara jumlah santri aktif sebanyak 3,4 juta. Dari jumah tersebut, sekitar 26 ribu lebih merupakan pesantren yang bercorak NU menurut catatan Rabitah Ma’ahid Islamiyah Nahdlatul Ulama (RMI-NU). 

Artinya NU menaungi lebih dari 70% dari jumlah keseluruhan pesantren di Indonesia atau sekitar dua juta lebih santri aktif. Sedangkan untuk sekolah pada tingkat dasar (SD) sampai jenjang SLTA/Aliyah yang bernaung di bawah lembaga pendidikan Ma’arif-NU terdapat sekitar 48 ribu. Secara kuantitas, tidak ada satupun lembaga organisasi yang memiliki pesantren dan sekolah sebanyak NU. Hanya saja keberadaan institusi pendidikan dan pesantren yang dimiliki NU belum menyumbang kotribusi secara maksimal khususnya pada aspek aset ketersediaan pendidikan tinggi. 

Contohnya ialah dari sekitar 274 perguruan tinggi di bawah naungan LPTNU yang terdiri dari 84 di bawah Kemendikbudristek, dan 190 di bawah Kemenag, tidak satupun yang menembus peringkat 100 besar di Indonesia.  

Memang ada pendapat yang menyatakan bahwa NU memerlukan waktu lebih banyak untuk melihat perkembangan perguruan tingginya. Mengingat banyak di antara perguruan tinggi tersebut baru dibangun sekitar dua dekade terakhir. Dengan begitu dari aspek sumber daya serta pengalaman juga dianggap masih tertinggal.

Kendati demikian, menurut saya, dimensi temporal tidak bisa sepenuhnya dijadikan sebagai instrumen untuk mengukur capaian. Karena kaum intelektual NU sudah menjamur sejak dulu jauh sebelum NU mendirikan perguruan tinggi. Yang lebih penting sekarang ialah bagaimana NU dapat mengembangkan kepercayaan diri terhadap potensi sumber daya yang dimiliki, dengan manajeman penguatan tenaga profesional yang dicetak mulai dari jenjang usia muda. 

Hal lain yang juga tidak kalah pentingnya dan masih menjadi rumusan di poin pertama ialah bagaimana NU mampu membuat pemetaan potensi berbasis kebutuhan zaman. Sebab selama ini NU sudah dikenal sebagai kontributor penting di bidang pemikiran dan intelektualisme yakni sebesar 12,9% (survei Litbang Kompas, Januari 2023). 

Hanya saja dalam ranah ilmu, banyak di antara kader NU yang berkiprah pada disiplin ilmu keagamaan dan sosial-politik. Sedangkan dalam disiplin ilmu yang terkait dengan ilmu pasti dan yang berhubungan dengan teknologi masih bisa dihitung dengan jari. Dengan demikian peran intelektualisme kader-kader NU yang diamini publik sampai hari ini masih berkutat di tiga bidang tadi. NU tentu perlu untuk memikirkan srategi dan pendekatan yang labih adaptif agar kedepan banyak kadernya yang merambah disiplin ilmu yang relevan dengan kebutuhan makro. 

Irisan kedua

Untuk irisan di poin kedua, NU harus mendayagunakan peran sebagai entitas penyeimbang di tengah kompetisi ekonomi, percaturan politik global dan penetrasi ideologi trans kontinen. Nilai-nilai wasatiah merupakan modal sekaligus prinsip yang sudah final yang menurut saya akan sangat relevan di zaman manapun. Tinggal bagaimana NU mampu menduniakan prinsip tersebut tidak hanya di dunia Islam, melainkan meluas keseluruh umat manusia dipermukaan bumi. 

Karakter wasatiah yang bersumber dari wahyu ilahi, merupakan pusat pengendalian penting dari tak terkendalinya hasrat material yang sejak seratus tahun lalu diburu oleh negara-negara industri besar. Karakter wasatiah juga dapat menjadi perisasi dari tumbuh suburnya diaspora faham puritanisme keagamaan, yang memanfaatkan kemunculan kelompok urban pada masa kontemporer. 

Dualitas tantangan umum yang dihadapi oleh NU kenyataanya jelas jauh lebih kompleks dari yang diuraikan dalam tulisan ini. Akan tetapi, sekali lagi warga NU patut bersyukur memiliki prinsip dan ajaran nilai yang kokoh sebagai fondasi dalam berfikir dan melangkah. Karenanya, mengglobalkan prinsip wasatiah adalah jihad untuk kemanusiaan. Prinsip lembut dan seimbang ini perlu difahami oleh seluruh umat manusia. 
 
Dalam hal ini, NU bisa memanfaatkan dan memaksimalkan jejaring global untuk berperan secara aktif dalam isu-isu global. Keberadaan pengurus cabang internasional (PCINU) harus ditransformasikan sebagai lembaga penting yang merepresentasikan kiprah perjuangan serta visi besar NU. Ruang dialog untuk saling bertukar gagasan perlu digagas diseluruh negara melalui PCINU serta jejaring lembaga lainnya.
 
Segala ikhtiar mulai dari hulu hingga hilir yang digagas oleh NU harus dimulai dari sekarang. Satu hal yang juga penting untuk diingat ialah bahwa mendigdayakan NU untuk menjemput kebangkitan baru di abad ke 2 bukan hanya tugas PBNU ataupun badan-badan otonomnya. Melainkan pekerjaan kolektif antara jam’iyah dan jama’ah. Itu bisa terwujud jika antara keduanya mampu berjalan secara beriringan. Semoga NU mampu mewujudkan cita-cita besarnya di abad ke-2.

BERITA TERKAIT