SATU abad bukanlah waktu yang sebentar bagi sebuah organisasi. Banyak organisasi timbul tenggelam dalam satu abad ini, baik yang besar maupun yang kecil, misalnya, PNI, PKI, Masyumi, HTI, FPI, dan beberapa organisasi lain pernah kita dengar, dan diperbincangkan khalayak di Indonesia. Dengan satu dan lain sebab akhirnya organisasi-organisasi tersebut runtuh tak lagi ada di Indonesia, dan tak lagi diakui dan tak teregister di pemerintahan.
Nahdlatul Ulama (NU) ialah satu dari sedikit organisasi kemasyarakatan yang masih bertahan dalam rentang yang panjang dan menunjukkan eksistensinya di Indonesia. Sejak dideklarasikan pada 16 Rajab 1344 Hijriah atau 31 Januari 1926 Masehi, NU telah menjalani dinamikanya dalam percaturan sosial politik kemasyarakatan di Indonesia. Sempat menjadi partai politik pada masa Orde Lama, lalu dipaksa berfusi dalam Partai Persatuan Pembangun (PPP), menerima Pancasila sebagai asas tunggal pada 1983, memutuskan kembali menjadi organisasi masyarakat pada muktamar 1984. Lalu, ikut andil mendirikan PKB pada awal era reformasi, dan kemudian sekarang memutuskan kembali mengambil jarak yang sama dengan semua partai politik pascamuktamar 2021.
Nalar NU selalu dibangun atas nalar respons keagamaan yang mereka pahami (orthopraxy) sebagai entitas Islam tradisional di Indonesia. Saat Komite Hijaz sebagai cikal-bakal NU dibentuk dan mengirimkan utusan ke penguasa Hijaz saat itu, hal tersebut dilakukan sebagai respons atas pengharaman Kitab Dalailul Khairat dan isu akan dibongkarnya makam Nabi oleh penguasa Hijaz pada masa itu. Fatwa jihad yang dikeluarkan KH M Hasyim Asy’ari ialah respons atas aksi sepihak tentara sekutu yang akan menduduki kembali Indonesia saat itu. Semuanya dibangun dari nalar beragama yang dipahami orang-orang NU. Termasuk di dalamnya ialah tatkala NU memutuskan menjadi partai politik kembali ke khitah (kembali ke tujuan awal didirikannya NU), menerima Pancasila, dan keputusan-keputusan lain yang dikeluarkan Nahdlatul Ulama.
Hal yang menarik dari NU di usianya yang satu abad ialah karakter keagamaan NU yang konsisten dan berkesinambungan, sebagai bagian dari kelompok komunitas Islam tradisional, yaitu komunitas yang kompatibel dengan adat istiadat, menerima sejarah panjang khazanah Islam sejak era Nabi SAW hingga masa kontemporer, mementingkan ketersambungan sanad keilmuan, mengakui sistem mazhab, dan menerima mistisisme Islam.
Jika pun ada perbedaan antara satu ketua umum tanfidiyah danketua umum tanfidiyah sebelumnya biasanya tak lebih dari sekadar style kepemimpinan dalam menghadapi zamannya. Jika pada Gus Dur misalnya, NU tampil di garis terdepan sebagai kekuatan civil society berhadapan dengan Orde Baru yang otoriter saat itu, Said Aqil dengan respons aktifnya terhadap Gerakan trans-nasional di Indonesia, dan ketua umum yang sekarang banyak tertarik dengan isu-isu perdamaian global.
Konsistensi karakter keagamaan NU itu, setidaknya terjadi karena beberapa hal di antaranya, pertama, posisi ketua umum di NU bukanlah wilayah mutlak, ia hanya berfungsi layaknya lurah pondok di pesantren dan pemimpin sebenarnya ialah Rais ‘am yang banyak mengurusi hal-hal yang lebih bersifat prinsip layaknya pengasuh di sebuah pesantren sehingga ketua umum tidak memiliki hak untuk mengubah haluan organisasi. Rais ‘Am juga tidak berdiri sendiri, ia mewakili royal family di NU yang terdiri dari kiai-kiai karismatik di pondok-pondok pesantren. Rais ‘Am juga tidak dapat bertindak sendirian karena ia juga bersifat kolektif kolegial dengan rais syuriah lainnya.
Kedua, komunitas sesungguhnya dari NU ialah pesantren-pesantren berhaluan ahlus sunnah wal jamaah yang tersebar di seluruh Indonesia. Mereka itu pemilik saham sebenarnya dari organisasi sehingga mereka dapat melakukan kritik langsung kepada ketua umum, atau bahkan ‘mengadili’ ketua umum atas apa yang dilakukan oleh ketua umum dan jajarannya.
Dalam konteks keikutsertaan NU dalam berbicara masalah-masalah global, tak mengherankan jika ketua umum yang sekarang bertanggung jawab atas terselenggaranya R20 (Religion of Twenty) yang mengumpulkan pemuka-pemuka agama dunia untuk duduk bersama merundingkan tatanan dunia yang damai dan harmonis, Halaqah Fikih Peradaban 1 yang dilaksanakan sejak 11 Agustus 2022 hingga puncaknya dilaksanakan di Surabaya pada 6 Februari 2023.
Halaqah tersebut juga mengundang para pemuka agama Islam dari berbagai wilayah di dunia, untuk ikut membicarakan isu-isu keagamaan yang muncul belakangan ini. Termasuk, tentang ide khilafah yang banyak dikampanyekan Gerakan Islam trans-nasional atau lebih tepatnya Islam antinasionalisme. Kesimpulan halaqahnya pun menarik bahwa khilafah sudah tidak signifikan untuk didirikan karena akan menimbulkan konflik berkepanjangan antar negara bangsa yang ada dan menyatakan sikap untuk lebih menerima lembaga internasional yang ada untuk lebih aktif menjalankan misi perdamaian internasional.
Isu-isu internasional itu sebenarnya bukan barang baru di NU karena sejak awal keberadaannya ialah sebagai respons atas persoalan global umat Islam sehingga tak mengherankan jika dalam permasalahan lintas negara umat Islam, NU terlihat lebih dewasa, lebih sabar dan juga di saat bersamaan cenderung progresif mengambil langkah. Sebutlah, misalnya, dalam kasus Komite Hijaz sebagaimana disinggung di atas, advokasi NU dalam membantu dan mencarikan solusi bagi problem Palestina, muslim Thailand Selatan, muslim Filipina Selatan, muslim Rohingya Myanmar, hingga masalah muslim Uighur di Tiongkok.
MI/Duta
Tantangan abad kedua NU
Pertanyaannya ialah apa yang akan dihadapi NU di abad kedua ini? Untuk menjawab hal itu kita bisa melihat dari laporan World Economic Forum yang merilis bahwa sepuluh besar tantangan jangka panjang umat manusia saat ini ialah kegagalan mitigasi perubahan cuaca, penyakit, kepunahan makhluk hidup, dan kehancuran ekosistem dunia, migrasi karena terpaksa (involuntary migration), semakin tipisnya kohesi sosial dan semakin terpolarisasinya kelompok masyarakat, ketegangan ekonomi, kejahatan siber, dan kerusakan lingkungan.
Lebih lanjut, secara geo politik tantangan kita ke depan ialah ketegangan geoekonomi, konflik sipil, negara gagal, penggunaan senjata pemusnah massal, dan serangan teroris, sedangkan secara sosial sebagaimana disebutkan di atas ada dua masalah sosial yang menjadi ancaman, yaitu migrasi karena terpaksa dan polarisasi masyarakat dunia.
Lalu, apa yang bisa dilakukan NU untuk setidaknya memberikan sumbangsih bagi kemanusiaan, tidak saja bagi Indonesia, tapi juga bagi dunia. Pertama, penekanan ideologi damai sebagai arus gerakan masyarakat lokal dan global harus selalu ditekankan. Tujuannya tentu agar kohesi sosial dapat dipertahankan dan polarisasi masyarakat tidak terjadi. Untuk hal yang satu itu, NU telah terbukti menjadi garda depan perdamaian dengan mengusung dialog inter agama, dialog antaragama, dan seruan-seruan untuk mengakhiri konflik yang didasarkan pada tafsir keagamaan yang sejuk.
Kedua, NU dapat berperan aktif untuk terus menyuarakan isu-isu pentingnya melindungi ekosistem dan lingkungan menggunakan narasi-narasi keagamaan. Secara lokal misalnya, orang-orang NU sudah bergerak dengan Gerakan eko pesantren yang sekarang menjadi tren di banyak pesantren NU. Tentu eko pesantren saja tidak cukup karena harus ada ide besar untuk menyelamatkan lingkungan dan itu harus digaungkan.
Ketiga, ketidaksetaraan ekonomi (economic inequality) masih akan jadi permasalahan di abad kedua NU ini dan celakanya untuk kasus Indonesia dan beberapa negara di dunia, kantong kemiskinan itu berada di perdesaan. Untuk perdesaan di Indonesia, orang Islam yang tinggal di desa di Indonesia ialah orang-orang NU sehingga dapat dipastikan jika NU dapat berperan aktif membangun ekonomi masyarakat pedesaan sesungguhya NU telah turut serta mengurangi ketiakadilan ekonomi yang sedang terjadi.
Untuk hal-hal di atas, terutama pada poin ketiga, mau tidak mau NU harus memiliki big data yang dapat me-mapping masalah dan kemudian tindak lanjut yang tepat sesuai dengan karakteristik jemaah NU. Untuk big data yang dipunyai ialah data yang terintegrasi baik mulai tingkat pengurus besar, pengurus wilayah, hingga pengurus ranting NU. Lembaga-lembaga yang dimiliki NU dapat didorong untuk melakukan eksekusi program pemberdayaannya sesuai bidangnya masing-masing. Hal itu sangat mungkin dilakukan NU jika melihat resources yang dimiliki NU dan hal itu akan berjalan efektif jika NU dapat berjalan seiring seirama antara struktur dan kultural NU, serta antara pengurus besar dan pengurus-pengurus yang ada di bawahnya.