PADA Sabtu, 28 Januari 2023, Akademi Bela Negara (ABN) Partai NasDem memfasilitasi pertemuan simpul relawan pendukung Anies Rasyid Baswedan sebagai calon presiden (capres). Di Aula Ki Hadjar Dewantara, tempat di mana tokoh-tokoh nasional biasa memberikan kuliah umum dalam ragam kegiatan pendidikan politik Partai NasDem, lebih dari 500 relawan berkumpul, menyatukan langkah memperjuangkan aspirasi politik mereka.
Pertama-tama, pertemuan simpul relawan ini tentu saja merupakan salah satu bentuk realisasi dari hak politik warga negara bahwa siapa pun demi kebaikan bangsa dan negara boleh berkumpul dan berasosiasi. Dalam hal ini, para relawan berkumpul karena bersepakat bahwa Anies adalah calon yang tepat untuk menjadi Presiden Republik Indonesia berikutnya, yang oleh karena itu harus diperjuangkan bersama.
Dari kacamata pendidikan, karena ABN sendiri adalah lembaga pendidikan politik, pertemuan simpul relawan ini berjalan seperti salah satu ajaran Ki Hadjar Dewantara tentang pendidikan: sukarela, demokratis, dan penuh kegembiraan. Tidak ada paksaan, merdeka beraspirasi dalam ragam simpul, dan bersukacita karena mereka memperjuangkan pilihan sendiri dengan cara sendiri.
ABN atau Partai NasDem sebagai induk organisasi tidak sedang memaksa atau mengondisikan mereka untuk menjadi anggota partai. Dengan fasilitas dan kemampuan yang ada, kami hanya ingin bekerja seperti diamanahkan konstitusi dan undang-undang partai politik bahwa pendidikan politik masyarakat--dalam hal ini bersifat eksternal Partai NasDem--merupakan kewajiban yang juga harus dijalankan.
Maka, dalam kegiatan tersebut, lebih banyak pembicaraan dan diskusi tentang kultur politik: kebangsaan, demokrasi, pemilu yang jujur dan adil, serta bagaimana semua warga negara dengan aman dan damai bisa menyalurkan aspirasi atau pilihan politik mereka. Karena merupakan simpul-simpul relawan Anies, maka juga ada pembicaraan tentang siapa, apa, dan bagaimana seorang Anies Baswedan--atau 3B: bibit, bebet, dan bobot.
Kultural-politik
Kerelawanan politik, setidaknya seperti ditunjukkan dalam pertemuan ini, dapat dilihat sebagai sebuah gerakan kultural-politik. Dalam hal ini, yang saya maksud dengan gerakan kultural-politik adalah bahwa terdapat warga negara, yang jumlahnya bisa jadi besar, yang tidak atau belum berafiliasi dengan partai tertentu, yang memiliki pemahaman, keyakinan, dan pilihan politik yang dalam konteks ini sama dengan pilihan resmi Partai NasDem.
Dari sisi Partai NasDem, persamaan pilihan ini tentu tidak bisa dilihat sebagai sekadar koinsidensi atau kebetulan semata. Dalam proses penjaringan aspirasi anggota dan pengurus partai dari seluruh Indonesia, secara terang benderang bisa dilihat oleh publik bahwa memang pilihan nomor satu mereka ialah Anies Baswedan. Dengan demikian, para pengurus partai yang terlibat dalam proses diskusi dan penentuan calon pada dasarnya merepresentasikan aspirasi rakyat yang dijaring di daerah masing-masing. Singkat kata, terdapat paralelitas antara apa yang menjadi aspirasi kultural-politik masyarakat dengan apa yang dipilih dan diperjuangkan oleh Partai NasDem.
Sementara itu, ketika disebut sebagai gerakan kultural-politik, tidak berarti hanya ada satu entitas kultural--misalnya umat Islam. Pengusung atau calon pemilih Anies berasal dari ragam agama, suku, bangsa, ras, dan kelompok sosial. Kalau terdapat atau disebut ‘mayoritas’ maka itu pada dasarnya paralel saja dengan struktur demografis Indonesia--yang, amat disayangkan, sejauh ini sering dinegatifikasi sehingga seolah-olah Anies adalah seorang kanan yang hanya akan memperjuangkan kepentingan kelompok muslim garis keras.
Padahal, misalnya dalam pertemuan simpul relawan Anies pada 28 Januari 2023, juga terdapat banyak peserta yang nonmuslim yang tak kalah semangat. Dan, itu bukan tanpa alasan atau preseden. Di antara sebab utamanya ialah apa yang dilakukan Anies selama menjadi Gubernur DKI Jakarta, yang tanpa ribet dan ribut Anies menyelesaikan isu dan perkara hak dan kerukunan beragama diIbu Kota.
Selanjutnya, bagi kepentingan demokratisasi, kita tentu mengharapkan akan muncul gerakan-gerakan kultural-politik lain, yang secara damai dan lugas disuarakan aspirasi berbeda, seperti adanya calon presiden lain. Rakyat banyak--yang dalam konteks politik Indonesia pada dasarnya tak banyak yang berasosiasi secara resmi dengan partai politik tertentu--selanjutnya akan melihat dan menilai siapa yang terbaik untuk dipilih.
Adapun partai-partai politik, meskipun memiliki hak untuk mengusung kandidat sesuai dengan undang-undang, tentunya akan melihat dan mempertimbangkan gerakan-gerakan kultural tersebut. Sebab, jika tidak, mereka berarti membuka peluang untuk ditinggalkan dan kalah karena tidak berpolitik berdasarkan aspirasi masyarakat.
Politik damai
Selain digelorakan oleh harapan, pertemuan simpul pendukung Anies ini juga diwarnai sedikit kekhawatiran. Saya katakan sedikit, karena seperti dikalahkan oleh sukacita dan kegembiraan. Namun, kekhawatiran itu menurut saya amat penting, bukan sekadar terkait perkara menang-kalah, tetapi lebih pada keberlangsungan demokrasi.
Kekhawatiran itu merentang dari kemungkinan negatifikasi dan kampanye negatif, sampai pada tindakan yang boleh jadi represif untuk menghalangi penyaluran aspirasi yang berbeda. Sosialisasi pencalonan Anies, sebagai contoh, sejauh ini telah mendapat rintangan, mulai dari kelompok sosial tertentu di berbagai wilayah sampai pada kesulitan perizinan yang semestinya didapatkan dari aparat keamanan.
Sejauh yang saya tahu, secara konstitusional dan peraturan perundang-undangan, semua itu semestinya tidak perlu terjadi. Jika alasannya ialah kondusivitas sosial, tentu saja kita akan terima sejauh itu bisa dibuktikan. Persoalannya, beberapa kali kegiatan sosialisasi, yang lebih sebagai kegiatan berkumpul sebagaimana yang dijamin oleh konstitusi, ternyata mengalami hambatan tanpa alasan yang bisa diterima secara legal-formal maupun sosial.
Kendati demikian, sebagai warga negara dan juga politisi Partai NasDem, saya memilih untuk menyerukan, baik kepada kawan-kawan relawan maupun pengurus partai yang terlibat dalam kegiatan sosialisasi Anies, untuk bergerak secara damai. Lebih baik kita melakukan cara-cara persuasif, berkomunikasi dengan tokoh masyarakat dan aparat terkait, dan berusaha untuk meminimalisasi kemungkinan konflik. Kita sebut saja sebagai ‘politik damai’, bahwa yang terpenting ialah suara dan pilihan kita terdengar hingga mencapai seluruh pelosok-penjuru Nusantara.