SETIAP tahun, setiap 25 Januari diperingati sebagai Hari Gizi Nasional. Tidak dapat disangkal bahwa kualitas asupan gizi akan berdampak pada perkembangan otak, dan ujungnya pada kualitas sumber daya manusia sehingga masalah kurang gizi kronis, yang menyebabkan anak stunting/tengkes telah menyadarkan kita semua untuk bertindak lebih terkoordinasi dan serius.
Secara antropometri, anak stunting terbagi dua, yakni stunted (pendek) dan severely stunted (sangat pendek). Dikatakan stunted (pendek), apabila tinggi badan anak lebih pendek antara 3 sampai 2 standar deviasi (SD) di bawah teman sebayanya sesuai standar WHO. Selanjutnya, dikatakan severely stunted (sangat pendek) apabila tinggi badan anak lebih pendek melebihi 3 standar deviasi (SD) di bawah teman sebayanya sesuai standar WHO. Di sini, tinggi badan anak sebagai rujukan ialah menggunakan rerata tinggi anak global sesuai dengan umur dan jenis kelamin. Untuk setiap umur balita dalam bulan, WHO telah menetapkan standar tinggi badannya sebagai referensi, dibedakan untuk laki-laki dan perempuan, untuk dipakai di seluruh dunia.
Sebagai ilustrasi anak laki-laki umur 3 tahun (36 bulan), dikatakan tinggi badannya normal bila tingginya berada di antara 88,7 cm sampai 103,5 cm (angka tengah/median ialah 92,4 cm). Bila tingginya antara 85,0 cm sampai 88,6 cm, dikatakan pendek (stunted). Selanjutnya, bila tinggi badannya di bawah 85,0 cm, masuk kategori sangat pendek (severely stunted). Angka tengah/median tinggi anak laki 36 bulan 92,4 cm ialah diambil dari rerata global.
Dengan perhitungan yang sama, WHO telah menetapkan tinggi badan anak balita (normal, stunted, severely stunted) menurut jenis kelamin dan menurut umur dalam bulan. Tinggi badan menurut jenis kelamin dan umur dalam bulan ini, apabila diplot dalam grafik akan menghasilkan kartu menuju sehat (KMS) tinggi badan. KMS tinggi badan itu dibedakan laki-laki dan perempuan. Standar tinggi badan laki-laki sedikit lebih tinggi jika dibandingkan dengan perempuan.
Dengan mengacu jumlah anak balita dari estimasi BPS, kita dapat melakukan estimasi jumlah anak balita stunting pada setiap tahunnya. Hasil Riset Kesehatan Dasar 2018 menunjukkan angka kejadian balita stunting ialah sebesar 30,8%. Dengan estimasi jumlah balita sebanyak 23.729.600 balita, 2018 terdapat anak stunting (pendek + sangat pendek) sebanyak 7.308.716 anak. Tahun 2019, dengan estimasi jumlah balita sebanyak 23.604.900 balita dan prevalensi stunting sebesar 27,7%, terdapat anak stunting sebanyak 6.538.557 anak.
Tahun 2020, karena survei tidak dilakukan, prevalensi stunting tidak bisa diestimasi. Tahun 2021, dengan estimasi jumlah balita sebanyak 22.045.300 anak balita dan prevalensi stunting sebesar 24,4%, terdapat anak balita stunting sebanyak 5.379.053 anak. Meski telah terjadi penurunan yang signifikan, dari 30,8% pada 2018 turun menjadi 24,4% pada 2021, terlihat bahwa jumlah absolut balita stunting masih cukup tinggi.
Akar penyebab masalah
Hasil kajian melalui review sistematis, Unicef telah mengidentifikasi penyebab malnutrisi termasuk stunting dalam model hierarki. Penyebab langsung ialah ketidakcukupan asupan zat gizi dan kejadian penyakit. Periode emas dalam pencegahan stunting ialah 1.000 Hari Pertama Kehidupan (1.000 HPK), yakni semasa ibu hamil (janin) dan usia bawah dua tahun. Asupan zat gizi pada 1.000 HPK ialah sangat krusial untuk pencegahan stunting. Selain itu, pencegahan penyakit pada periode ini juga sangat penting supaya intake and absorbsi zat gizi tidak terganggu. Oleh karena itu, imunisasi pada ibu hamil (tetanus toxoid) dan imunisasi lengkap pada usia bayi (HB, BCG, polio, DPT, HiB, dan campak) menjadi determinan penting dalam pencegahan stunting.
Penyebab intermediary (antara) ialah lemahnya ketahanan pangan keluarga, kurang baiknya perawatan ibu dan anak, dan kurangnya akses pelayanan kesehatan. Ketahanan pangan keluarga, tentu terkait dengan kemampuan keluarga untuk menyediakan pangan bergizi, yang sedikit banyak bergantung pada pendapatan keluarga. Perawatan ibu dan anak sedikit banyak bergantung pada tingkat pendidikan ibu dan kepala keluarga. Bahkan, meski pendapatan keluarga relatif kecil, dengan pendidikan ibu yang tinggi, perawatan ibu dan anak bisa memadai. Penyebab antara yang terakhir ialah akses pelayanan kesehatan dan lingkungan sehat. Akses pelayanan kesehatan esensial, seperti pelayanan antenatal dan imunisasi, serta tinggal di lingkungan yang sehat (rumah sehat, akses jamban, dan akses air bersih) merupakan determinan antara yang sangat berpengaruh terhadap kejadian stunting.
Penyebab mendasar (underlying causes) dari kejadian stunting ialah status ekonomi masyarakat, yang secara inherent sangat dipengaruhi situasi ipoleksosbudhankam (ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamaman) suatu bangsa/ negara. Dengan pendekatan penyebab yang berlapis ini, intervensi juga bisa dilakukan secara berlapis, untuk menuju sebuah model sinergi dan konvergensi untuk pencegahan stunting.
Dari kerangka konseptual penyebab stunting tersebut, para pakar telah memetakan intervensi pencegahan stunting menjadi dua kelompok, yakni intervensi spesifik gizi and intervensi sensitif gizi. Intervensi spesifik gizi adalah intervensi yang menjamin intake dan absorbsi zat gizi berlangsung optimal pada periode emas.
Periode emas adalah periode 1.000 Hari Pertama Kehidupan (janin dalam kandungan dan bawah dua tahun). Intervensi spesifik mencakup kesehatan remaja, kesehatan perempuan usia subur, suplementasi zat gizi pada ibu hamil (macronutrient dan micronutrient), ASI eksklusif pada bayi 0-6 bulan, makanan pendamping ASI bayi/anak 7-24 bulan, praktik stimulasi pada bayi/anak, suplementasi dan fortifikasi zat gizi pada bayi/anak, pencegahan penyakit menular (imunisasi), dan penanganan kedaruratan gizi (wasting).
Intervensi spesifik gizi haruslah didukung intervensi sensitif gizi, yakni intervensi yang menjamin ketahananan pengan keluarga dan lingkungan tempat tinggal yang sehat. Intervensi sensitif itu mencakup program pertanian dan ketahananan pengan, jaring pengaman sosial, stimulasi balita, pemberdayaan ibu-ibu, program perlindungan anak, penyediaan air bersih, penyediaan jamban dan sanitasi, dan program keluarga berencana.
Meningkatkan asupan protein hewani
Pertumbuhan linier (pertambahan panjang badan/tinggi badan) adalah suatu proses yang kompleks. Faktor genetika, epigenetika, dan lingkungan termasuk intake makanan, merupakan determinan utama pertumbuhan linier. Pertumbuhan linier pada dasarnya sangat bergantung pada pertumbuhan tulang. Pengaruh zat gizi pada pertumbuhan tulang ialah melalui proses kompleks yang dimediasi hormon. Untuk bisa tumbuh dengan normal, baik macronutrient (energi dan protein) maupun micronutrient (vitamin dan mineral), keduanya dibutuhkan balita. Karena asam amino yang bersumber dari protein ialah bahan baku untuk membentuk hormon, enzim, dan tulang rawan, maka tidak dapat dimungkiri pemenuhan protein merupakan sesuatu yang esensial untuk pertumbuhan linier.
Hal tersebut yang menginspirasi Hari Gizi Nasional tahun ini mengambil tema Protein hewani cegah stunting, dengan slogan Protein Hewani Setiap Makan dan Isi Piringku Kaya Protein Hewani. Untuk mencegah stunting pada balita, kecukupan gizi khususnya protein hewani sejak ibu hamil sampai anak berumur 5 tahun (60 bulan) menjadi esensial.
Survei oleh Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan (BKPK) menunjukkan bahwa 23% dari bayi baru lahir termasuk kategori stunting. Hal itu mengindikasikan bahwa telah terjadi gangguan pertumbuhan sejak janin berada dalam kandungan ibu. Penyebab utama dari bayi lahir stunting (panjang badan < 48 cm) ialah ibu hamil mengalami kurang energi kronis (KEK). Ibu dalam kondisi KEK ini tentu tidak mampu memberikan gizi yang adekuat pada janin yang di kandungnya. Untuk itu, intake gizi pada prakehamilan dan masa kehamilan haruslah adekuat, baik itu sumber energi, maupun protein. Untuk mencegah anemia, ibu hamil juga harus diberi suplemen zat besi.
Survei Status Gizi Indonesia 2021 menunjukkan angka prevalensi stunting pada balita sebesar 24,4%. Maknanya 1 dari 4 balita Indonesia ialah menderita stunting (tengkes). Angka itu masih cukup tinggi, dan sesuai dengan WHO, dengan prevalensi stunting di atas 20%, masih dianggap sebagai masalah kesehatan masyarakat (public health problem).
Dengan menggunakan pendekatan periode emas pencegahan stunting, pencegahan bisa difokuskan pada bayi/anak umur 0 sampai 24 bulan (bawah dua tahun). Untuk memenuhi asupan gizi bayi 0-6 bulan, sesuai dengan pedoman WHO ialah pemberian ASI eksklusif. Artinya, untuk bayi 0-6 bulan cukup diberi air susu ibu “saja” dan tidak perlu diberi tambahan makanan/minuman lainnya. Tentu, agar produksi air susu ibu adekuat, intake zat gizi ibu menyusui haruslah cukup. Cukup dalam konteks kecukupan karbohidrat, protein, lemak, dan zat gizi mikro (sayuran dan buah-buahan). Dengan asupan gizi yang adekuat, harapannya produksi ASI akan mencukupi kebutuhan bayi secara eksklusif.
Apabila bayi sudah menginjak umur 7 bulan, bayi harus mendapatkan makanan pendamping ASI (MPASI). Maknanya, ASI bisa diteruskan sampai anak bisa disapih, dengan diberi makanan pendamping ASI untuk memenuhi kebutuhan zat gizi. Kebutuhan zat gizi, tentu mencakup sumber karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral. Bentuk makanan tentu harus disesuaikan dengan umur bayi/anak. Semakin tambah usia bisa semakin bentuk padat. Yang penting, asupan zat gizi harus adekuat untuk mendukung pertumbuhan bayi/anak tentu asupan protein harus cukup untuk mendukung pertumbuhan linier/memanjang.
Setelah anak berumur 25 bulan ke atas (lulus baduta), untuk menghindari growth faltering, yang bisa jatuh ke dalam stunting pula, perlu dipertahankan asupan gizi yang cukup. Meski, secara teoritis, intervensi pada periode emas (janin dan baduta) lebih menjanjikan untuk pencegahan stunting. Namun demikian, mempertahankan asupan gizi yang cukup pada kehidupan seterusnya, yakni 25 bulan dan setelahnya, juga tetap penting untuk mencegah growth faltering dan tetap mempertahankan pertumbuhan linier (meninggi) yang normal.
Operasionalisasi perbaikan asupan protein
Agar 1.000 Hari Pertama Kehidupan (masa hamil dan masa baduta) mendapatkan asupan gizi yang cukup, khususnya protein hewani, tentu harus ada program nyata di lapangan. Pertanyaan sederhananya ialah bagaimana kita menjamin bahwa asupan protein untuk ibu hamil adekuat? Asupan ASI eksklusif adekuat? Asupan protein bayi/anak umur 7 bulan sampai 2 tahun adekuat?
Hasil studi Survei Konsumsi Makanan Individu (SKMI) 2014 menunjukkan angka kecukupan protein (AKP) untuk ibu hamil yang di bawah 100% AKP masih sebesar 68,6%, terbagi dalam AKP antara 80%-100% sebesar 19%, dan AKP di bawah 80% sebesar 49,6%. Bila dilakukan disagregasi, menurut kuintil pendapatan keluarga, ibu hamil dengan kuintil terbawah AKP di bawah 100% ialah sebesar 83,6%, terbagi dalam AKP antara 80%-100% sebesar 16,5% dan AKP di bawah 80% sebesar 67,1%.
Data-data di atas menunjukkan bahwa konsumsi protein ibu hamil di Indonesia masih sangat perlu untuk ditingkatkan. Asupan protein yang adekuat untuk ibu hamil menjadi penting karena dalam teori fetal programming, dampak kekurangan nutrisi sewaktu janin berkembang dalam rahim akan menghasilkan gene-gene yang mengatur pertumbuhan anak (termasuk pertumbuhan linier) terganggu, dan gene-gene yang menandai penyakit tidak menular, seperti jantung, stroke, hipertensi, diabetes, dan sebagainya. Hal itulah yang menyebabkan dampak buruk stunting, tidak hanya terkait dengan gangguan kecerdasan (IQ), tetapi juga risiko menderita penyakit tidak menular di kala usia tuanya.
Begitu pentingnya asupan gizi ibu hamil, guna memberikan nutrisi yang adekuat, untuk janin yang dikandungnya, perlu dicari cara efektif untuk meningkatkan asupan protein pada ibu hamil.
Agar pencegahan stunting tepat sasaran, bisa saja diprogramkan pemberian suplementasi protein hewani pada ibu hamil, dan suplementasi makanan pendamping ASI (MPASI) pada bayi/anak umur 7-24 bulan. Di sini, program suplementasi gizi difokuskan pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan (janin dalam rahim dan bawah dua tahun).
Sebagai uji coba (piloting), bisa saja ibu hamil selama masa kehamilannya diberikan tiga telur per hari, mulai tes kehamilan positif sampai melahirkan bayinya. Secara kasar, akan dibutuhkan telur sebanyak 270 x 3 = 810 telur. Dengan harga telur Rp2.000 per biji, maka dibutuhkan anggaran sebesar Rp1.620.000 selama kehamilan. Sudah tentu, teknik pemberian telur diberikan 2 minggu sekali, sekaligus melakukan pemeriksaan kehamilan (ANC). Kemudian, si ibu diberikan instrumen kartu monitoring makan telur (KMMT). Lalu, pengontrol makan telur bisa diserahkan kepada suami atau anggota keluarga yang lain.
Kemudian, untuk menjamin ASI eksklusif, bisa juga ibu menyusui diberikan suplementasi makanan bergizi untuk ibu menyusui. Untuk suplementasi ibu menyusui tentu saja tidak harus telur. Namun, diberikan suplementasi makanan dengan jumlah yang cukup, bervariasi dan seimbang (sumber karbohidrat, protein, lemak, dan vitamin/mineral). Dengan suplementasi gizi yang adekuat kepada ibu menyusui, harapannya produksi ASI akan cukup untuk memenuhi kebutuhan ASI eksklusif pada bayinya sampai dengan umur 6 bulan.
Setelah memasuki umur 7 bulan, kemudian diprogramkan makanan pendamping ASI (MPASI) sampai anak berumur 24 bulan. Makanan pendamping ASI bisa saja dalam bentuk makanan padat gizi, dalam bentuk sesuai perkembangan umur, atau alternatif lain, untuk mendorong ekonomi lokal, ibu-ibu PKK menyediakan makanan pendamping ASI, dengan sumber makanan lokal, tetapi tetap memperhatikan kandungan zat gizinya.
Piloting suplementasi gizi ibu hamil, ibu menyusui, dan bayi/balita 7-24 bulan ini, kiranya perlu diuji coba atau dilakukan piloting, untuk menjalankan intensifikasi percepatan penurunan stunting secara nyata di lapangan. Model suplementasi gizi ini, barangkali bisa digunakan sebagai inovasi dalam menjalankan amanat Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting. Semoga problem stunting segera teratasi, untuk memasuki era Indonesia Emas 2045.