PADA akhir tahun lalu, 30 Desember 2022, pemerintah mengumumkan berakhirnya Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), yang merupakan upaya pengendalian pandemi covid-19. Penghentian PPKM ini merupakan konsekuensi logis yang dapat diterima dari terpenuhinya syarat perubahan covid-19 dari pandemi ke endemi, seperti yang disampaikan Kementerian Kesehatan RI pada Maret 2022.
Syarat tersebut adalah laju penularan kurang dari 1, angka pemeriksaan positif dan tingkat perawatan RS kurang dari 5%, tingkat kematian kurang dari 3%, serta level PPKM berada pada transmisi lokal level 1. Selain itu, tingkat cakupan vaksinasi yang cukup tinggi (dosis 1 mencapai 86,95%, dan dosis 2 74,48%) serta sudah banyaknya yang tertular, diyakini memberikan kekebalan kelompok yang baik.
Siapkah kita untuk pandemi berikutnya?
Kita bersyukur dapat melewati pandemi ini. Sikap dan perilaku seolah tidak percaya sains, menyangkal dan menyepelekan, utamanya dari para pemimpin, tidak boleh lagPertanyaan besarnya, siapkah kita menghadapi pandemi berikutnya, yang amit-amit mungkin saja terjadi. i dilakukan.
Masih segar di ingatan, alih-alih mempersiapkan diri, sebelum kasus pertama diumumkan pada 2 Maret 2020, pada Februari 2020 Presiden malah memberikan diskon bagi turis untuk berwisata di Indonesia, dan menyewa pemengaruh untuk menggenjot pariwisata. Seolah menyepelekan, di hari yang sama saat kasus pertama diumumkan, Menkes dr. Terawan menyampaikan ucapannya yang terkenal "nanti juga sembuh sendiri" saat menjelaskan mengenai penyakit ini.
Sikap seperti ini ‘turun’ sampai ke tingkat masyarakat, menyebabkan perpecahan. Seorang pendengung misalnya mengomentari pimpinan daerah yang saat itu mempersiapkan langkah menghadapi COVID-19 dengan ungkapan yang sangat kasar, “Ada orang dengan teganya sibuk sebarkan isu corona. Itu jelas-jelas binatang.” Sangat banyak hal lain seperti ini, yang menyebabkan tidak optimalnya usaha penanggulangan pandemi saat itu.
Keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi
Pelajaran yang dapat kita ambil, terutama bagi para pemimpin Republik ini, adalah adagium: keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi. Janganlah bermain-main dengan nyawa. Ingatlah bahwa barangsiapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah ia telah memelihara kehidupan manusia semuanya (QS. 5:32). Sikap berikutnya adalah percaya pada sains yang benar, yang didapatkan dari kaidah ilmiah yang baku yang berbasis bukti. Sains memberikan kita panduan bagaimana harus bertindak.
Bila dua sikap ini dipegang teguh, maka tahap berikutnya adalah menyiapkan sistem kesehatan agar tahan terhadap krisis. Pada kejadian pandemi, hendaknya sistem ini bukan hanya dapat menangani korban pandemi dengan baik, namun mereka yang menderita penyakit lain tetap dapat ditangani. Penyediaan fasilitas isolasi penyakit pandemi yang terpisah dengan fasilitas kesehatan umum adalah kunci.
Lebih dari itu, keseluruhan pelayanan upaya kesehatan perlu diperkuat. Berdasarkan UU Kesehatan 2009 upaya kesehatan bukan hanya kuratif; ia juga meliputi peningkatan taraf kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), dan pemulihan penyakit (rehabilitatif). Idealnya, misalnya, peran Puskesmas dalam program imunisasi dasar anak tetap dapat berjalan selama pandemi berlangsung.
Lonjakan kasus di Tiongkok
Baru-baru ini dilaporkan terjadi lonjakan kasus COVID-19 di Cina. Jika ini berlanjut membesar, maka ini menjadi ujian bagi Pemerintah, akankah belajar dari sejarah, atau mengulangi kesalahan yang sama.
Sebenarnya sudah jelas apa yang harus dilakukan. Berdasar UU Kekarantinaan Kesehatan 2018, kita perlu melakukan segala upaya untuk mencegah dan menangkal keluar atau masuknya penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan, sehingga tidak timbul kedaruratan kesehatan masyarakat.
Ini berarti pelancong dari daerah yang terdampak harus dilarang masuk ke Indonesia, bukan malah diberi karpet merah. Sesederhana itu.