06 November 2022, 05:00 WIB

Bersatu Selamatkan Bumi


Adiyanto Wartawan Media Indonesia | Opini

MI/Ebet
 MI/Ebet
Adiyanto Wartawan Media Indonesia

SHAM  el-Sheikh, sebuah resor mewah di tepi Laut Merah, Mesir, akan menjadi tempat berkumpulnya para menteri lingkungan hidup dan sejumlah tokoh elite dunia. Di tempat itu, mulai hari ini hingga 18 November mendatang, mereka akan berdiskusi membahas perubahan iklim. Inti permasalahan yang akan dibahas pada konferensi yang sering disebut COP-27 itu masih sama seperti tema pertemuan-pertemuan sebelumnya, yakni bagaimana menekan laju suhu global agar tidak semakin panas. Seperti diutarakan sejumlah pakar lingkungan, pemanasan suhu telah memperparah berbagai bencana, seperti banjir, kebakaran hutan, dan badai yang semakin sering terjadi akhir-akhir ini. Ironisnya, komitmen sejumlah negara maju seperti yang telah disepakati pada KTT Iklim di Paris pada 2015 masih jauh panggang dari api.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bahkan mempertanyakan komitmen mereka. Pasalnya, upaya untuk mengurangi kenaikan suhu agar tidak lebih dari 1,5 derajat Celsius pada 2030 masih jauh dari harapan. Hal itu, menurut PBB, akan membuat dunia yang sudah didera oleh meningkatnya banjir, gelombang panas, dan badai, menuju bencana yang lebih parah. Dalam sebuah laporan yang dirilis pada pekan lalu, organisasi perubahan iklim PBB mengatakan saat ini Bumi justru bakal menghangat sekitar 2,5 derajat Celsius pada akhir abad ini jika dibandingkan dengan tingkat praindustri. Saat ini, dengan pemanasan 1,2 derajat Celcius saja, planet ini sudah dihantam berbagai bencana. Menurut para ahli itu, artinya dunia gagal bertindak untuk menekan emisi gas rumah kaca.

Pakar iklim PBB mengatakan laju emisi harus turun 45% pada 2030 untuk memenuhi tujuan menjaga suhu 1,5 derajat Celsius sesuai kesepakatan iklim Paris 2015. Sekjen PBB Antonio Guterres menekankan tujuan membatasi pemanasan hingga 1,5 derajat Cersius masih bisa dicapai, tetapi ia memperingatkan bahwa komitmen sejumlah negara masih rendah untuk mengatasi perubahan iklim. “Kita harus benar-benar mulai mengurangi emisi sekarang,” katanya dalam sebuah wawancara dengan BBC. Seruan yang disampaikan Guterres kiranya memang patut didengarkan, termasuk oleh kita selaku masyarakat awam. Sebab, suka atau tidak suka, kita juga  ikut merasakan dampak dari perubahan iklim, seperti banjir, tanah longsor, dan sebagainya. Berbagai masalah ekologis itu terjadi akibat perilaku kita semua, tanpa kecuali. Dari cara mobilitas, mengonsumsi, baik pangan maupun pakaian, hingga tata cara membuang sampah, secara langsung atau tidak, ikut berdampak pada perubahan iklim.

Dalam tulisannya di kolom Opini di harian ini pada Jumat (4/11), pengamat perkotaan Nirwono Yoga antara lain menyerukan agar pemerintah kota bersiap mengatasi banjir, baik banjir kiriman, banjir lokal, maupun banjir rob (untuk kota/kawasan pesisir). Banjir kiriman diakibatkan luapan air sungai yang membanjiri permukiman di sekitar bantaran sungai. Banjir lokal diakibatkan buruknya sistem saluran air/drainase kota. Sementara itu, banjir rob dipengaruhi proses alam bulan purnama sehingga terjadi limpasan air laut ke daratan. Maka itu, kata dia, solusinya ialah membenahi badan sungai dengan cara dikeruk, diperdalam, diperlebar, dan dihijaukan bantarannya, serta diikuti relokasi permukiman warga ke rusunawa. Hal itu didukung revitalisasi situ/danau/embung/waduk sebagai daerah tangkapan air, juga perluasan ruang terbuka hijau (RTH) sebagai daerah resapan air alami.

Langkah itu, menurut saya, tentu saja tidak akan berjalan efektif tanpa partisipasi warga. Masyarakat tidak bisa semata mengandalkan kebijakan dari para elite, tapi juga harus terlibat. Misalnya dengan ikut membantu membersihkan selokan atau lingkungan sekitar. Minimal ikut melaporkan jika melihat ada sampah yang menyumbat selokan ke aparat desa atau kelurahan. Dengan hadirnya jurnalisme warga, di beberapa platform media sosial, hal semacam itu mudah dilakukan. Sementara para elite merumuskan kebijakan di tataran makro, termasuk mereka yang sedang bersidang di Mesir, partisipasi aktif dari publik seperti inilah yang dibutuhkan untuk mengurangi dampak perubahan iklim. Selain sebagai kelompok penekan untuk terus-menerus mengingatkan pemerintah, masyarakat juga dapat berpartisipasi langsung dengan aksi nyata.

Satu pendekatan yang mungkin juga sering luput dalam upaya mengurangi dampak perubahan iklim ialah pendekatan budaya. Padahal, begitu banyak kearifan lokal dalam berbagai kebudayaan di Nusantara yang mengajarkan tentang pentingnya menjaga lingkungan. Kita mungkin pernah mendengar istilah ‘harta yang tidak habis dimakan hingga tujuh turunan’. Ungkapan itu jangan semata diartikan secara harfiah untuk merujuk pada crazy rich yang hartanya berlimpah, melainkan pesan penting yang terselip di dalamnya untuk menerapkan pola hidup berkelanjutan, termasuk dengan menjaga sumber daya alam agar dapat dimanfaatkan generasi-generasi berikutnya.

Begitu pun dengan teknologi sebagai bagian dari budaya yang dihasilkan manusia, entah itu listrik, mobil, pakaian, dan sebagainya. Kebiasaan kita yang sering berlebihan dalam menggunakan hasil teknologi tersebut secara tidak langsung juga ikut memengaruhi perubahan iklim. Selain aktif berdemonstrasi dan menggalang opini, aktivis lingkungan Greta Thunberg memutuskan untuk tidak lagi membeli baju atau pakaian baru. Itu karena ia sadar limbah industri fesyen, ikut berkontribusi pada kerusakan lingkungan. Cara ‘berhemat’ yang dilakukan remaja asal Swedia itu mungkin bisa kita adaptasi dengan mengurangi konsumsi listrik di rumah atau bensin, dengan mulai beralih ke transportasi publik, misalnya. Perubahan perilaku kecil ini dampaknya mungkin tidak secara langsung kita rasakan, tapi akan memengaruhi kondisi planet yang akan ditinggali anak cucu kita kelak. Seperti kata Sekjen PBB, kalau tidak dimulai dari sekarang, kapan lagi? Ayo, bersatu selamatkan Bumi!

BERITA TERKAIT