PESANTREN ialah lembaga khas Nusantara. Ia lahir dari kearifan lokal bangsa. Segala spekulasi dan teori menyatakan bahwa pesantren bukan berasal dari Nusantara, melainkan bermula dari madrasah di era Abbasiyah, Zawiyah di Persia, ataupun Ashram para pandita di India sulit untuk diterima karena pada kenyataannya eksistensi pondok pesantren hanya ada di Nusantara dan tidak di tempat lain.
Pesantren, sebagaimana lembaga pendidikan secara umum tidak lahir dari ruang hampa, ia selalu merefleksikan keadaan masyarakat tertentu. Pesantren, lahir dari jiwa masyarakat Islam Nusantara yang sufistik, dan terbuka terhadap problem kemasyarakatan. Pesantren lahir dari rahim pertiwi sebagai sebuah kesadaran tanggung jawab atas trias khidmah kelembagaan, mencerdaskan bangsa, mendampingi masyarakat, dan tentu juga sebagai syiar agama.
Pondok pesantren telah menjadi akar rumput kebudayaan Nahdlatul Ulama (NU). Pesantren-pesantren di Nusantara inilah yang kemudian melahirkan Nahdlatul Ulama (NU), sebuah organisasi keagamaan keislaman yang menghimpun orang-orang pesantren dalam satu perahu besar, memperjuangkan Islam ahlus sunnah wal jamaah yang moderat dan fleksibel, berbasiskan tradisi keislaman, atau yang biasa dikenal para ahli sebagai komunitas Islam tradisional.
Nahdlatul Ulama akan memasuki usia satu abad pada tahun depan tepatnya pada 16 Rajab 1444, atau bertepatan dengan 7 Februari 2023. Sebuah usia NU berada dalam masa kematangan sebagai sebuah organisasi. Tak banyak organisasi keagamaan yang bisa mencapai usia ini, salah satunya yang beruntung ialah NU.
Lex specialis pesantren
Walau pesantren ialah lembaga pendidikan asli Nusantara, yang memiliki akar kelembagaan jauh sebelum era kemerdekaan sebagai negara bangsa (nation state), kedudukan kelembagaannya menjadi tidak jelas pasca-Indonesia merdeka.
Ketidakjelasan tersebut disebabkan setidaknya oleh dua hal. Pertama, hierarki dan jenis pendidikan bangsa Indonesia ialah warisan kolonial. Bukti yang diajukan atas hal ini ialah penjenjangan pendidikan kita masih sama dengan warisan kolonial dan pemilihan nama sekolah jika dibandingkan dengan nama lain juga menegaskan hal tersebut. Kedua, keputusan mengambil jarak oleh pesantren terhadap pemerintahan Hindia Belanda saat itu menjadikan pesantren tidak masuk narasi pendidikan, yang kemudian diadopsi pemerintah Indonesia.
Dinamika pesantren dan negara di Indonesia menjadi sangat unik. Sebagai sebuah Lembaga yang berada di luar sistem, pesantren dalam hal ini diwakili penggiat NU pada masa awal kemerdekaan mengambil peran aktif dalam politik, mewarnai pemerintahan. Bahkan, menjadi Menteri Agama pertama dengan sosok Wahid Hasyim, tetapi secara kelembagaan orang-orang pesantren mengambil jarak dengan pemerintah.
Saat Orde Baru berkuasa, sistem multipartai diberangus dan developmentalisme menjadi arah nasional, negara mencoba mengatur pesantren berbasis salafiyah milik orang-orang NU dengan tujuan agar dapat selaras demi menyukseskan agenda negara dalam pembangunan, tetapi karena jenis kelamin pesantren susah untuk dijelaskan dalam narasi pendidikan nasional, kemudian yang diatur ialah lembaga sistem klasikalnya (madrasah), dan bukan pesantrennya.
Percobaan Orde Baru bukan hanya itu, pengaturan juga terjadi tatkala Orde Baru mewajibkan semua lembaga pendidikan nonpemerintah haruslah di bawah yayasan, dan menurut aturan tersebut, pesantren bukan yayasan sehingga jika pesantren mau mengelola pendidikan, ia harus punya yayasan. Dampak atas hal ini ialah banyak pesantren membuat yayasan agar sesuai dengan narasi negara. Namun, itu pun juga dianggap formalitas bagi banyak kalangan pesantren di Indonesia. Nama-nama Arab yang ditambahkan ke nama pesantren menjadi penanda atas kebijakan itu.
Walau berbagai aturan dikeluarkan, pada kenyataannya narasi kolonial bahwa pendidikan itu harus berjenjang tak juga sirna dari benak para birokrat kita. Hingga kemudian, muncul UU Nomor 18 Tahun 2019 atau yang disebut UU Pesantren yang memberikan legitimasi kelembagaan kepada pesantren sebagai lex specialis sehingga berlaku kaidah lex specialis derogat legi generali, yakni asas hukum yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus mengesampingkan hukum yang bersifat umum.
Maka sejak itu, pesantren secara sah dalam tata regulasi Indonesia dianggap sebagai sebagai sebuah lembaga khas Indonesia yang diakui negara dan mendapatkan hak sebagai sebuah entitas yang diakui negara melalui undang-udang.
Keberhasilan ini tentu tak bisa dilepaskan dari peran santri yang terjun ke politik Indonesia pasca-Reformasi. Para santri tersebut menyebar dalam banyak partai, baik partai nasionalis maupun partai berbasis agama, meraih banyak posisi, baik di eksekutif maupun legislatif. Draf Undang-Undang Pesantren misalnya diajukan dua fraksi partai berbasis santri di DPR Pusat.
MI/Duta
Pesantren pada masa depan
Pada masa lalu, pesantren berperan dalam banyak sekali ranah perjalanan bangsa. Misalnya, sebagai lembaga pendidikan ia hadir secara mandiri untuk memberikan pendidikan terbaik yang bisa diberikan kepada anak bangsa sehingga tidak terjadi keadaan bangsa yang tidak terdidik karena ketiadaan negara yang saat itu masih dikuasi pemerintah kolonial. Kolonialisme dianggap sebagai vis a vis perjuangan kemerdekaan bangsa oleh orang pesantren sehingga resistansi keduanya sangat tinggi.
Keduanya berada dalam narasi kecurigaan antara satu sama lain. Kaum pesantren menganggap bahwa pemerintah kolonial melakukan pemerintahan tanpa hak, sedangkan pihak pemerintah kolonia menganggap bahwa orang-orang pesantren sebagai sarang dari pemberontakan atas pemerintah kolonial selama ini, seperti yang dilakukan pasukan santri di bawah komando Pangeran Diponegoro, yang menyebabkan kerugian besar di pihak VOC.
Saat ini, pesantren berada pada satu akselerasi peradaban di Indonesia, dengan percepatan perkembangan kelembagaan dan keilmuan di dalamnya. Masa depan pesantren di Indonesia akan menjadi salah satu leading peradaban Nusantara. Jika dikomparasikan dengan lembaga sejenis di Malaysia, Thailand Selatan, dan Filipina Selatan, jelas bahwa pesantren di Indonesia saat ini jauh lebih unggul dalam segala aspek.
Apa yang menyebabkan hal demikian bisa terjadi, rahasianya ialah pada kemampuan pesantren di Indonesia untuk fleksibel, menyesuaikan dengan sistem pendidikan nasional. Bahkan, masuk dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia. Hal inilah yang tidak dapat dilakukan tiga negara lainnya di Asia Tenggara.
Jika catatan masif pesantren saat ini dapat terus dipertahankan dan pesantren terus melangkah maju, ramalan Nurcholis Madjid tentang lembaga pendidikan tinggi berbasis pesantren yang maju akan segera terjadi. Ia meramalkan jika seandainya bangsa Indonesia ini tidak mengalami penjajahan, mungkin pertumbuhan sistem pendidikannya akan mengikuti jalur-jalur yang ditempuh pesantren-pesantren itu sehingga perguruan-perguruan tinggi yang ada sekarang ini tidak akan berupa UI, ITB, IPB, UGM, Unair, ataupun yang lain. Namun, bisa jadi namanya ialah "universitas" Tremas, Krapyak, Tebuireng, Bangkalan, Lasem, dan seterusnya.
Nurcholis Madjid pada 1997 menyatakan bahwa andai saja tidak terjadi penjajahan di negeri ini, sangat mungkin yang muncul menjadi universitas-universitas ternama bukanlah UI, UGM, dan seterusnya, tetapi universitas-universitas berbasis pesantren. Ramalan tersebut ternyata datang lebih cepat dari apa yang dibayangkan Nurcholis Madjid. Pada 2022, pesantren mulai banyak memiliki perguruan tinggi yang bagus-bagus, serta dapat bersaing dengan perguruan tinggi yang ada di Indonesia, bahkan dunia. Memang, belum semasif kampus-kampus negeri yang sudah berdiri lama. Namun, kondisi tersebut tidak lama lagi akan berdiri sejajar.
Saat ini kita dengan mudah dapat menemukan para santri yang bukan hanya ahli dalam bidang keagamaan, melainkan juga ahli dalam sains, politik, dan humaniora. Para tokoh dengan latar belakang santri dapat dengan mudah kita lihat di layar kaca Indonesia. Perkembangan pesantren yang semakin berwarna, baik secara kelembagaan maupun keilmuan, juga terlihat pada bagaimana akhirnya IAIN-IAIN di seluruh Indonesia dipaksa bermetamorfosis menjadi universitas-universitas karena demand yang juga beragam dari para alumni pesantren. Bahkan, dalam pendidikan tinggi, tidak sedikit para santri yang menempuh pendidikan tinggi di negara-negara Barat karena menganggap pilihan-pilihan melanjutkan perguruan tinggi di Timur Tengah tak lagi cukup dan memadai.
Jika NU bisa mengorkestrakan potensi pesantren yang sangat besar ini, bukan tidak mungkin pesantren bukan hanya menjadi kekuatan besar, tidak saja dalam hal politik, tetapi juga dalam hal pendidikan, ekonomi, kesehatan, pertanian, dan bidang lainnya. Untuk itu, perlu penguatan peran NU dalam mengoordinasi lembaga pendidikan pesantren melalui prinsip-prinsip sinergi, kolaborasi, dan berada di dalam suatu ekosistem yang kuat. Dengan begitu, pesantren akan menjadi pemain utama dalam menggerakkan peradaban bangsa dengan segala karakteristiknya.