DIPLOMASI berusaha untuk mengembangkan niat baik dan memelihara hubungan kerja sama dengan kelompok masyarakat dan bangsa asing. Tanpa mengerahkan kekuatan militer, diplomasi sangat condong ke arah negosiasi untuk mencapai kesepakatan dan menyelesaikan masalah secara win-win solution.
Diplomasi tidak semata-mata berfungsi pertahanan, tetapi dapat dijadikan tolok ukur sikap menghargai keberagaman secara utuh dalam hubungan bermasyarakat dan bernegara. Diplomasi yang diajarkan Rasulullah SAW bertujuan memaksimalkan keuntungan kelompok masyarakat dan bangsa tanpa risiko, kekerasan, dan kebencian. Diplomasi seperti inilah yang dipraktikkan sepanjang hidup Nabi Muhammad SAW, terutama pada kurun waktu sembilan tahun tinggal di Kota Yastrib (Madinah).
Nabi Muhammad SAW, seperti ditulis Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki dalam Syariatullah al-Khalidah, telah melakukan diplomasi tidak kurang dari 70 kali baik dengan kelompok maupun bangsa asing.
Jumlah itu jauh lebih banyak daripada pengerahan kekuatan militer yang dilakukan di zaman Nabi Muhammad SAW, yaitu sebanyak 19 kali. Hal itu menjadi bukti bahwa sebagai pemimpin umat Islam, Rasulullah sangat menghargai keberagaman sesuai dengan misinya untuk menyebarluaskan Islam sebagai agama rahmatan lil 'alamin.
Pemimpin yang melakukan diplomasi baik dengan kelompok maupun bangsa lain dapat memperkuat keadaulatan negerinya. Sebaliknya, pemimpin yang mengesampingkan diplomasi dan memilih memaksakan solusi sepihak dapat dianggap arogan karena tidak menghargai keberagaman dan kepentingan manusia secara universal. Dalam konteks itulah, kita layak mencontoh Rasulullah SAW selaku pemimpin (qudwah) yang memiliki keteladanan (uswah) dalam praktik diplomasi.
Diplomasi Nabi
Kebanyakan kita tahu bahwa diplomasi Nabi Muhammad hanya dengan Kaisar Heraclius, Negus, dan Muqauqis, dan beberapa pemimpin lainnya. Kita lebih banyak disuguhi sejarah peperangan daripada diplomasi Nabi; dan itu pun tidak utuh sehingga terkesan Islam mengedepankan pola pendekatan kekuatan dan kekerasan. Padahal, dari sudut jumlah korban perang di zaman Nabi totalnya di bawah 600 orang (rata-rata 30 korban) dari 19 kali pertempuran di antara kedua kubu.
Kehati-hatian Rasulullah dan para sahabat dalam peperangan mampu menekan jumlah korban yang meninggal. Perang merupakan pilihan paling pahit dan semaksimal mungkin dihindari Rasulullah SAW dengan cara mengedepankan diplomasi. Hanya sayangnya, pengetahuan dan wawasan kita sangat sedikit tentang diplomasi Nabi. Padahal, menurut sejarawan muslim bernama Mughlathawi, Rasulullah SAW melakukan diplomasi sebanyak 70 kali dengan dibantu 100 sahabat ahli diplomat.
Mereka di antaranya Hamzah bin Abdul Muthalib yang dikirim menemui rombangan Quraisy sebelum terjadi peristiwa Abwa’; Masab bin Umair yang dikirim ke Yastrib sebelum Rasulullah berhijrah; Amru bin Umayyah yang dikirim menghadap Raja Negus; Dihyah bin Khalifah diutus menyampaikan surat diplomasi Nabi kepada Kaisar Romawi Heraclius. Lalu, Abdullah bin Hudhafa al-Sahmi diutus menemui Raja Persia Khosrau II; Hatib bin Abi Balta’ah al-Lakhmi diutus menemui Raja Iskandariah dan Mesir Muqauqis.
Misi diplomasi itu adakalanya sukses dan ada kalanya gagal. Beberapa raja, seperti Raja Negus percaya dan menerima Islam, sementara raja lain seperti Heraclius menolaknya dengan cara baik. Raja Muqauqis semula masih ragu, tetapi akhirnya bersedia diajak masuk Islam dan ia memberikan hadiah khusus untuk Rasulullah SAW. Diplomasi Nabi yang terbilang gagal terjadi pada Raja Persia Khosrau II, yang telah merobek surat Rasulullah. Walaupun demikian, tidak semua diplomasi Rasulullah yang gagal berlanjut ke peperangan karena tujuan diplomasi ialah perdamaian dan pembuktian Islam sebagai rahmatan lil 'alamin.
Kepentingan diplomasi Nabi ialah untuk urusan dakwah dan latar belakang religius, seperti dikemukakan Jere L Bacharach dalam bukunya, Medieval Islamic Civilization an Encyclopedia. Itu sebabnya, dari 70 kali diadakan diplomasi, Nabi hanya menyisakan 19 tragedi peperangan dengan lawan karena alasan tak bisa dihindari dan dibendung.
Diplomasi Nabi sifatnya sangat moderat. Holmes (1991) pernah menelaah isi surat diplomasi Nabi dengan empat pendekatan, yakni partisipan, setting, topik, dan fungsi. Pertama, partisipan: jika surat ditujukan kepada kaisar non-Arab sapaan hormat disebutkan secara jelas, sedangkan kepada pemimpin jazirah Arab lainnya hanya menyebutkan keturunan (nasabnya).
Kedua, setting: untuk surat kepada kaisar non-Arab tidak menggunakan bahasa Arab, sedangkan kepada pemimpin jazirah Arab menggunakan bahasa Arab pada umumnya. Ketiga, topik: kepada raja-raja yang belum memeluk Islam diajak memeluk agama Islam, sedangkan kepada pemimpin-pemimpin yang sudah memeluk Islam diajak untuk menerapkan nilai-nilai ajaran Islam. Keempat, fungsi: memanfaatkan waktu gencatan senjata antara kaum muslimin dan kaum musyrikin Mekah dan menyebarluaskan Islam secara universal.
Secara umum, dapat dijelaskan bahwa diplomasi Nabi sangat memperhatikan budaya lawan tutur dan mengedepankan semangat persahabatan dalam keberagaman. Meskipun demikian, diplomasi Nabi itu tetap menggunakan prinsip efektif dan efisien menyerukan kepoloporan Islam sebagai agama yang cinta damai.
MI/Duta
Second track diplomat moderasi
Diplomasi tidak hanya dilakukan lewat jalur resmi melalui aktor negara. Ada istilah second track diplomat, atau diplomasi jalur kedua yang diperankan baik oleh pribadi maupun kelompok yang tidak diberikan tugas secara resmi. Keberadaan second track diplomat memiliki andil besar dalam penyebarluasan misi kenabian. Informasi yang disampaikan Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki tentang keberadaaan 100 sahabat yang membantu diplomasi Nabi menyebutkan umumnya mereka merupakan second track diplomat.
Pada prinsipnya, kepentingan diplomasi Nabi ialah untuk berdakwah dan menyebarluaskan Islam rahmatan lil 'alamin. Hal itu disimpulkan dengan merujuk surat diplomasi yang dikirimkan kepada Kaisar Heraclius menggunakan konsiderans ayat "Wa ma arsalnaka illa rahmatan lil 'alamin" (Tidaklah Aku utus dirimu kecuali menjadi rahmat bagi alam semesta) (QS Al-Anbiya: 107). Begitu pula, yang dikirimkan kepada Muqauqis menggunakan ayat "Qul ya ahlal kitab ta'alau ila kalimatin Sawaa" (Wahai ahlu kitab marilah menuju persamaan kalimat) (QS Ali Imran: 64).
Para pengikut Nabi yang tidak ditunjuk menjadi diplomat juga termotivasi untuk melakukan hal serupa. Mereka ialah orang-orang cerdas, yang tak sekadar bermodal fanatisme. Mereka dengan sukarela mencurahkan pikiran, tenaga, dan harta untuk meneruskan perjuangan anutan mereka, yaitu Rasulullah SAW. Prinsip mereka ialah, jika positif, tindakan mereka otomatis menaikkan nama baik pemimpin mereka. Sebaliknya, jika negatif keputusan mereka, nama baik anutan mereka akan tercoreng oleh arang.
Diplomasi Islam Indonesia
Dalam konteks Islam keindonesiaan, second track diplomat diperankan penyebar Islam yang sangat ramah. Sebut saja Wali Songo yang memerankan diri mereka sebagai diplomat. Mereka melakukan komunikasi dan hubungan dengan penguasa pribumi pra-Islam sekalipun tanpa mandat resmi. Mereka mengenalkan Islam lewat pendidikan, seni dan budaya, ekonomi, serta politik sehingga tampak wajah Islam Indonesia yang moderat seperti sekarang ini.
Kita juga bisa menjadi bagian second track diplomat Islam moderat. Kondisi Indonesia sebagai negara yang memiliki penduduk muslim terbanyak di dunia dapat kita jadikan sebagai sarana diplomasi. Kita dapat memperlihatkan kepada dunia sebagai negara yang toleran meski memiliki masyarakat plural-multikultural.
Masyarakat muslim Indonesia tetap menghormati agama-agama lain dan mampu berjalan berdampingan tanpa permasalahan berarti karena menganggap Pancasila sebagai 'kalimatun Sawaa'; searah kandungan surat diplomasi Nabi yang dikirimkan kepada Muqauqis.
Keberadaan jumlah penganut Islam yang mayoritas juga tidak memengaruhi berjalannya proses demokrasi. Kita menganggap demokrasi ialah musyawarah dan musyawarah merupakan rahmatan lil 'alamin; sebagaimana isi surat diplomasi Nabi Muhhamd SAW yang dikirimkan kepada Kaisar Heraclius.
Boleh saja baik jarak tempat maupun jarak waktu kita sangat jauh dari Nabi Muhammad SAW. Akan tetapi, nilai-nilai diplomasi yang diajarkan Nabi Muhammad SAW sangat lekat baik dengan model maupun modal diplomasi muslim Indonesia. Diplomasi yang lebih mengutamakan kepentingan keberagaman daripada unjuk kekuatan.