HARI Kesaktian Pancasila yang diperingati setiap 1 Oktober merupakan momentum bersama untuk merefleksikan sejauh mana pelaksanaan Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi bangsa. Persoalannya, peringatan tersebut dilatari peminggiran pemikiran pendiri bangsa dari diskursus Pancasila. Jika ingin Pancasila benar-benar sakti, pemikiran Pancasila pendiri bangsa tersebut mesti dihidupkan kembali.
Dalam sejarah Pancasila, terdapat dua macam peringatan Hari Pancasila. Pertama, peringatan Hari Lahir (Harlah) Pancasila setiap 1 Juni. Kedua, peringatan Hari Kesaktian Pancasila setiap 1 Oktober.
Peringatan Harlah Pancasila lebih dahulu diadakan, yakni sejak 1958. Hanya saja, peringatan resmi kenegaraan baru diadakan sejak 1 Juni 1964, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Agama melalui Menteri Koordinator Kesejahteraan atas persetujuan Presiden Soekarno. Sejak saat itu, Harlah Pancasila diadakan hingga 1968. Pada 1967-1968, Presiden Soeharto memberikan pidato kenegaraan dalam upacara peringatan tersebut. Hanya saja sejak 1970, peringatan Harlah Pancasila ditiadakan, diganti dengan peringatan Hari Kesaktian Pancasila.
Saat ini Harlah Pancasila diadakan kembali berdasarkan Keputusan Presiden Joko Widodo Nomor 24/2016 tentang Harlah Pancasila. Penghidupan kembali Harlah Pancasila didasarkan fakta historis, bahwa pada 1 Juni 1945, gagasan Pancasila sebagai filsafat dasar negara, pertama kali dicetuskan Soekarno di sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
Peringatan Hari Kesaktian Pancasila mulai diadakan pada 1 Oktober 1967 berdasarkan Keputusan Presiden Soeharto Nomor 153/1967. Kesaktian Pancasila dimaksudkan sebagai momentum peringatan kegagalan pemberontakan Gerakan 30 September (G-30-S), Partai Komunis Indonesia (PKI) ditengarai terlibat di dalamnya. Ini berarti kesaktian Pancasila diletakkan dalam konteks Pancasila versus komunisme, Pancasila terbukti memenangi kontestasi tersebut.
Dehistorisasi
Persoalannya, Hari Kesaktian Pancasila dicanangkan bersamaan dengan upaya Orde Baru mencerabut akar historis Pancasila. Hal ini dilakukan melalui beberapa langkah. Pertama, penghapusan peran Soekarno sebagai penggagas Pancasila. Penghapusan ini dilakukan melalui pendaulatan Mr Muhammad Yamin sebagai pengusul Pancasila. Yamin yang pada sidang BPUPK berpidato pada 29 Mei 1945, disebut telah mengusulkan lima sila yang mirip Pancasila, meskipun tidak menamainya Pancasila. Lima sila tersebut ialah kebangsaan, kemanusiaan, ketuhanan, kerakyatan, dan kesejahteraan rakyat.
Hal ini didasarkan pada buku Naskah Persiapan UUD 1945 yang disunting Yamin pada 1959. Padahal teks pidato Yamin dalam buku tersebut bukan notulensi aslinya pada 29 Mei 1945, melainkan draf pembukaan UUD yang ditulis Yamin atas perintah Soekarno untuk keperluan rapat Panitia Sembilan pada 22 Juni 1945. Sebagai Ketua Panitia Sembilan, Soekarno memerintahkan Yamin menulis draf itu, dan meminta agar Yamin memasukkan lima sila yang diusulkan Soekarno pada 1 Juni 1945.
Menurut kesaksian Bung Hatta dalam Memoir (1979: 435), draf Yamin terlalu panjang sehingga Panitia Sembilan menolak draf itu. Ternyata, Yamin masih menyimpan draf tersebut dan dimuat di buku Naskah Persiapan UUD pada 1959. Draf tersebut dimuat Yamin sebagai pengganti notulensi aslinya pada 29 Mei 1945, yang tidak mengusulkan Pancasila.
Selama Orde Baru, teks pidato Yamin yang hoaks itu dijadikan landasan untuk menyatakan bahwa Yamin-lah pengusul Pancasila sebelum Soekarno. Ini yang membuat peringatan Harlah Pancasila pada 1 Juni ditiadakan sejak 1970.
Kedua, pengabaian pemikiran para perumus Pancasila. Orde Baru tidak hanya menghapus peran historis Soekarno, tetapi juga perumus Pancasila yang lain, yakni tokoh-tokoh yang tergabung sebagai Panitia Lima, memuat Bung Hatta, AA Maramis, Achmad Soebardjo, AG Pringgodigdo, dan Sunario. Tiga tokoh pertama merupakan mantan anggota Panitia Sembilan perumus Piagam Jakarta, sedangkan Pringgodigdo merupakan mantan Wakil Kepala Tata Usaha BPUPKI, serta Sunario mantan aktivis Perhimpunan Indonesia.
Sayangnya, rekomendasi Panitia Lima ditolak pemerintah Orde Baru. Padahal, rekomendasi tersebut memuat konsep Pancasila menurut para perumus Pancasila. Rekomendasi itu lalu dibukukan dan diterbitkan secara umum dalam Uraian Pancasila (1977). Dalam buku tersebut, Panitia Lima menyusun konsep Pancasila yang bersifat teosentris karena menempatkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sumber bagi sila-sila lainnya.
Konsep Pancasila teosentris dari Panitia Lima ini sebenarnya sangat kita butuhkan karena ia membangun sistem pengetahuan Pancasila yang religiositas. Hal ini dibutuhkan demi menampik tuduhan bahwa Pancasila merupakan dasar negara sekular.
Pengakaran kembali
Oleh karena itu, jika kita ingin membangun kesaktian Pancasila, dasar negara ini mesti diakarkan kembali pada akar pemikirannya. Hal ini sangat dibutuhkan sebab arti Pancasila dasar negara ialah norma dasar negara (Grundnorm) yang bersifat meta-legal. Sifat meta-legal ini berada pada ranah filosofis, yakni Pancasila dasar negara berarti Pancasila filsafat dasar negara. Itulah mengapa pada 1 Juni 1945, Soekarno menyebut Pancasila sebagai dasar filosofis negara (Philosophische grondslag).
Dasar filosofis ini telah disusun Soekarno, lalu dikembangkan Bung Hatta, Panitia Lima, termasuk Ki Hadjar Dewantara, Muhammad Yamin, hingga Kiai Wahid Hasyim, dan Agus Salim. Berbagai tokoh pendiri bangsa ini telah menyusun pemikiran filosofis Pancasila yang merupakan kandungan konseptual dasar negara.
Misalnya, keraguan sebagian umat muslim bahwa Pancasila bertentangan dengan Islam bisa dibantah dengan pemikiran Kiai Wahid Hasyim, yang memaknai sila Ketuhanan YME sebagai cerminan tauhid. Hal ini ia kembangkan dalam momen finalisasi Pancasila pada 18 Agustus 1945. Jika di dalam Pancasila terdapat tauhid, bagaimana dasar negara ini bisa dinilai sekular dan tidak Islami?
Atau pemikiran Ki Hadjar Dewantara dalam karyanya, Pantjasila (1950) yang menyusun konsep Pancasila humanistis. Bagi Ki Hadjar yang merupakan anggota BPUPKI-PPKI, Pancasila ialah dasar negara yang mencerminkan kemuliaan martabat manusia. Untuk itu, kemanusiaan harus menjadi “pokok sari” dari semua sila Pancasila, dan tujuan utama bernegara. Pemikiran Ki Hadjar ini penting, untuk menempatkan Pancasila sebagai dasar bagi perlindungan dan pemenuhan hak-hak asasi manusia (HAM).
Berbagai pemikiran pendiri bangsa tersebut perlu dijadikan akar bagi Pancasila, agar Pancasila benar-benar sakti sebab berbagai keraguan terhadap Pancasila dan bangsa ini telah dijawab dengan paripurna oleh para pendiri negara tersebut.