17 September 2022, 05:00 WIB

Renaisans Jawa-Islam dalam Serat Ambiya


Maria Fauzi Founder Neswa.id, Litbang Fatayat NU DIY, dan mantan anggota Fatayat PCINU Jerman | Opini

Dok. Pribadi
 Dok. Pribadi
     

“NASKAH ini merupakan manuskrip babon dan masterpiece di Museum Sonobudoyo, Yogyakarta. Dari serat inilah, relasi antara Hamengkubuwono V dan Pakualaman menjadi kuat.” Begitu tutur Fajar, seorang pustakawan dan penjaga naskah keraton yang disimpan di museum itu. Perawakannya masih muda, energik, dan pandai sekali berkisah tentang beberapa manuskrip keraton dari segala genre.

Itu merupakan pengalaman pertama saya menjejakkan kaki ke Museum Sonobudoyo yang jaraknya sebenarnya tak begitu jauh, ia persis ada di pusat Kota Yogyakarta. Kepopuleran museum itu mungkin tergilas oleh keramaian Malioboro meskipun sebenarnya tempatnya tak jauh dari pusat keramaian Yogya itu.

Sonobudoyo merupakan sebuah yayasan yang awalnya didirikan di Surakarta pada 1919 dan diberi nama Java Instituut. Dalam perjalanan selanjutnya, khususnya dalam keputusan Kongres 1924, Java Instituut memutuskan untuk mendirikan sebuah museum di Yogyakarta yang akan diisi data-data kebudayaan dari berbagai daerah di Nusantara, khususnya Jawa, Bali, Madura dan Lombok. Ir Th Karsten PHW Sitsen, Koeperberg, akhirnya dipilih menjadi salah satu anggota dewan panitia perencanaan pendirian museum 1931.

Seperti halnya tempat-tempat khusus koleksi naskah, bangunan itu bisa dikatakan sangat sepi. Hanya terlihat beberapa orang lalu lalang yang tak lain ialah pegawai kantor Sonobudoyo sendiri bagian manuskrip keraton. Kami bertemu Fajar untuk berbincang dan melihat beberapa manuskrip Al-Qur’an dan koleksi masterpiece dari museum itu, yaitu Serat Anbiyo atau biasa disebut dengan Serat Ambiya.

Saya jadi teringat tesis utama Prof Mark R Woodward, guru saya di CRCS UGM, dalam bukunya, Islam in Java: Normative Piety and Mysticism in the Sultanate of Yogyakarta. Beliau menegaskan, Islam di Indonesia mengalami adaptasi dan adopsi yang luar biasa dengan kultur sosial dan budaya setempat. Fakta itu terlihat khususnya pada upaya vernakularisasi (proses pembahasaan lokal) keilmuan Islam yang semakin marak di akhir abad ke-16 M di berbagai wilayah Nusantara. Salah satunya ialah dengan penggunaan aksara Arab Pegon. Terdapat banyak serapan kata dari bahasa Arab dan berkembangnya karya sastra yang terinspirasi dari sastra Arab dan Persia.

 

Naskah epik dan menarik di hadapan saya itu salah satunya, yaitu Serat Ambiya. Serat itu diproduksi dan ditulis dalam Arab Pegon dan aksara Jawa. Namun, yang ada tepat di depan saya itu ditulis dalam aksara Jawa. Bisa dikatakan Serat Ambiya merupakan adaptasi Jawa dari literatur Qashash al-Anbiya yang populer dalam sejarah Islam dan menjadi salah satu masterpiece dalam kesusastraan Islam Keraton Pakualaman. Menurut catatan sejarah, naskah itu ditulis Jayangminarso, saudara tiri Pakualaman II, akhir abad ke-19 dan dihadiahkan kepada Sri Sultan Hamengkubuwono V.

Hamengkubuwono ke V dikenal sebagai raja yang banyak menaruh perhatian dalam mengembangkan seni dan budaya keraton jika dibandingkan dengan melakukan intrik-intrik politik. Hal itu karena ia hidup di masa ketika relasi keraton dengan pemerintahan Belanda buruk sehingga membuat Sultan Hamengkubuwono V mengambil posisi aman, meskipun pada akhirnya hidupnya berakhir di tangan selirnya, Kanjeng Mas Hemawati.

 

Serat Ambiya

Serat Ambiya yang ada di hadapan saya itu diproduksi di bawah kesultanan Pakualaman dan dihibahkan kepada Hamengkubuwono ke-V. Iluminasinya tidak main-main, motif yang semakin beragam tidak terbatas pada flora, geometri, dan kaligrafi, tetapi juga membawa unsur metafora kebun tropis, replika bangunan keraton atau wedana gapuran, dan bahkan terdapat satu iluminasi yang menggambarkan sebuah bangunan Eropa.

Saya sangat terpukau dengan teknik dan kualitas gambarnya yang indah itu. Terlebih, iluminasi Serat Ambiya juga menggunakan unsur warna yang sangat beragam. Kertas yang tebal dan bagus serta ukuran yang cukup besar. Warnanya didominasi warna-warna dasar, merah, hijau, biru, hitam, ungu, kuning, dan emas. Warna emas dalam tradisi iluminasi naskah menyimpan makna yang sangat filosofis dan kerap kali menandakan bahwa naskah itu merupakan karya besar, mengandung simbol yang transenden tentang keagungan Sang Pemilik Semesta.

Menurut beberapa catatan lain, Serat Ambiya itu merupakan naskah yang ditulis ulang oleh Ki Ahmad Ngali pada 1844. Sebagai sastra islami, naskah itu berisi tentang cerita-cerita para nabi yang dituliskan menggunakan aksara Jawa. Naskah Serat Ambiya beraksara Jawa itulah yang menjadi babon manuskrip keraton, salah satunya karena dinilai sakral dan sangat indah.

Yang membuat naskah Serat Ambiya versi Hamengkubuwono V itu menarik karena menjadi ekspresi perjumpaan antara nilai-nilai Arab-Islam dan Jawa dalam rupa karya sastra dan karya seni yang bercita rasa tinggi. Bisa dikatakan, naskah Serat Ambiya versi HB V itu merupakan salah satu puncak dari perjumpaan tradisi Islam-Jawa.

 

Tradisi iluminasi naskah

Itu merupakan pengalaman saya untuk pertama kalinya menyentuh langsung sebuah manuskrip masterpiece keraton. Sebelumnya, saya beberapa kali menikmati manuskrip-manuskrip Arab, Ottoman, dan Persia yang tercecer di beberapa museum, seperti di Pergamon Museum Berlin, Topkapi Museum Istanbul, dan Museum Islamic Art di Kairo. Saya memang selalu tertarik dengan iluminasi pada manuskrip yang tak jarang membawa pesan serta metafora dan nilai seni yang tinggi.

Abad ke-16 sampai abad ke-18 M, menjadi titik poin penting bagaimana tradisi literatur di Nusantara mengalami perkembangan yang sangat pesat (Kumar & McGlynne: 1996). Tak hanya didominasi kesusastraan Hindu-Buddha, tetapi juga sastra Arab dan Persia mulai masuk dan diolah menjadi karya baru dari dan untuk masyarakat Nusantara, termasuk Menak Amir Hamzah, Menak Yusup, dan Menak Ahmad Hanapi.

Yang membuat saya terkesima pada Serat Ambiya ialah ornamen iluminasi yang sangat indah dan menawan. Iluminasi atau wadana renggan dalam naskah Jawa merujuk pada pola dekorasi naskah yang biasanya terdapat di pinggir, atau bahkan menjadi satu halaman penuh sebagai penanda pergantian subjudul dan topik, atau yang biasa disebut Pupuh.

Jika merujuk pada catatan filolog Jawa, Abad ke-15-16 M menjadi era tradisi iluminasi naskah Jawa mengalami perkembangan yang pesat. Hal itu disebabkan maraknya budaya translasi buku pengetahuan Islam yang dilakukan para ulama, intelektual muslim, pelajar, dan beberapa lembaga pendidikan agama seperti madrasah, pesantren, dan oleh kesultanan.

Tradisi iluminasi, tehzib/tahdzib atau zakhrafah/munamnamat (pembuatan hiasan iluminasi) itu dalam tradisi sejarah Islam dimulai pada abad ke-2 Hijriah ketika penyebaran madrasah keislaman meluas hingga keluar kawasan Arab. Transmisi keilmuan itu juga diikuti dengan berkembangnya seni iluminasi, bahkan dalam periode selanjutnya setiap kesultanan yang terbentang dari Andalusia, Seljuk, Mamluk, Ottoman, Timurid dan Savawi, hingga wilayah Afrika dan Asia mampu memproduksi detail-detail ornamen dalam manuskrip yang bercorak khas. Menariknya, dalam manuskrip Jawa, tradisi tehzib atau zakhrafah ini didapati dalam Serat Ambiya versi Hamengkubuwono V.

Motif utama dalam iluminasi naskah-naskah Nusantara mayoritas berbentuk floral, geometri, dan kaligrafi. Tujuannya memperindah naskah, menciptakan nilai yang suci dan sakral. Tak jarang ragam dekorasinya dibuat sangat indah dan berkualitas. Namun, tak hanya itu, kerap kali iluminasi dalam naskah-naskah tertentu menyimpan makna-makna filosofis dan spiritual untuk memperkaya dan memperdalam isi.

Ann Kumar dan McGlynn (1966) dalam studinya menegaskan paling tidak ada tiga setting proses dan kategori dalam tradisi penulisan naskah. Pertama, naskah yang ditulis di wilayah perdesaan biasanya sangat sederhana, tidak banyak dibubuhi dekorasi iluminasi, baik dalam naskah Al-Qur’an maupun naskah keislaman yang lain.

Kedua, naskah yang ditulis di kawasan perkotaan kerap kali menambahi beberapa dekorasi dengan teknik yang lebih bagus dan sudah menggunakan kertas dari Eropa. Ketiga, naskah yang dibuat di kesultanan atau di istana yang dalam proses pembuatannya melibatkan seniman-seniman kerajaan profesional dengan teknik dan kualitas yang sangat tinggi, sedangkan naskah yang ditulis di pesantren, biasanya berada di antara kategori pertama dan kedua.

 

Mengakomodasi unsur lokal

Beberapa iluminasi yang diproduksi di masa Jawa-Islam mayoritas menggunakan motif-motif flora dan geometri yang didapatkan dari dekorasi rumah-rumah Jawa, batik, dan seni pahat. Motif-motif itulah yang saya temui dalam manuskrip Serat Ambiya. Hal itu paling tidak dapat menandakan meskipun tradisi tehzib didapatkan dari seni Arab-Islam, ilustrasi yang dipakai terinspirasi dari ragam motif dalam ornamen budaya Jawa. Di situlah letak keunikan naskah Jawa-Islam, yang salah satunya terlihat dari iluminasi naskah Serat Ambiya yang natural dan realistis.

Nilai lokalitas dengan menggunakan simbol dan ornamen Jawa menjadi ciri khas serta yang membedakan seni iluminasi Jawa-Islam dengan Arab-Islam. Hal itu setidaknya menandakan adanya keterbukaan dalam akulturasi budaya dan terciptanya toleransi tradisi Islam terhadap nilai-nilai lokal yang dipahami masyarakat muslim Jawa saat itu.

Unsur lokal yang dikreasikan dan dikembangkan para penerjemah dan ilustrator naskah mencerminkan adanya ruang-ruang dialog yang terbuka antara keraton dan Islam. Sayangnya, beberapa tahun kemudian, tradisi itu tak lagi mendapat tempat di Kesultanan Yogyakarta. Menurut Claire Holt 1966, keraton tak lagi menjadi pusat berkembangnya seni, budaya, dan tradisi literatur yang kuat di masa-masa selanjutnya. Para seniman tak lagi mendapat tempat untuk berekspresi dan nasib naskah-naskah bernilai tinggi itu akhirnya lenyap tak berbekas.

Warisan budaya berbentuk naskah ataupun seni budaya lainnya, selain sebagai sumber pengetahuan masyarakat Indonesia modern, ia selayaknya menjadi kebanggaan. Setidaknya, masyarakat muslim Jawa pernah menghasilkan sebuah karya agung yang tak kalah indah dan bernilai seni tinggi dari manuskrip yang ada di beberapa kawasan dunia muslim lainnya. Kita pernah punya masa gemilang, yakni seni, pengetahuan, agama, dan budaya menjadi penggerak peradaban yang bisa kita sebut sebagai era renaissance (renaisans) Jawa-Islam.

BERITA TERKAIT