13 August 2022, 20:35 WIB

Kebangkitan Kendaraan Listrik dalam Mengubah Lintasan Emisi Gas Rumah Kaca 


Melati Wulandari, Penasihat untuk Energi terbarukan dan Efisiensi Energi pada Perusahaan Jerman GIZ | Opini

Dok pribadi
 Dok pribadi
Melati Wulandari

TRANSPORTASI telah menjadi salah satu sektor kunci yang membentuk lanskap energi di kawasan The Association of Southeast Asian Nations (ASEAN). Pada 2017 sektor transportasi berkontribusi sebanyak 35% dari total konsumsi energi di kawasan tersebut, menempati posisi terbesar kedua setelah sektor industri sejak 2005. 

Hal itu menunjukkan ketergantungan yang besar pada bahan bakar fosil karena sektor transportasi secara konsisten menyumbang bagian terbesar dari permintaan minyak. Sektor transportasi juga telah menjadi salah satu penghasil emisi gas rumah kaca (GRK) terbesar di ASEAN, yang bertanggung jawab atas 23% emisi GRK yang terkait dengan energi pada 2017. Seperti disebutkan dalam ASEAN Energy Outlook ke-6 (AEO6; Proyeksi Energi di ASEAN), kecenderungan ini akan terus berlanjut hingga akhir tahun dari proyeksi tersebut pada 2040.

AEO6 adalah kajian resmi dari ASEAN mengenai tren energi, kebijakan, pembangunan sosial ekonomi, dan analisis lingkungan, yang diterbitkan oleh ASEAN Centre for Energy (ACE), dengan dukungan dari Deutsche Gesellschaft fuer International Zusammenarbeit (GIZ) GmbH melalui ASEAN-German Energy Programme (AGEP). Beberapa upaya kunci yang disebutkan di dalam kajian tersebut, dalam rangka meningkatkan ketahanan energi dan mengatasi masalah emisi GRK pada sektor transportasi adalah adopsi kendaraan rendah karbon melalui substitusi bahan bakar fosil ke biofuel dan implementasi kendaraan listrik (electric vehicle/EV). 

Di saat biofuel sudah memainkan peran penting dalam strategi energi di banyak negara anggota ASEAN (ASEAN member states/AMS), pengadopsian EV, di sisi lain, masih dalam tahap awal. Meskipun demikian, beberapa AMS telah menetapkan target EV dan memiliki proyeksi pertumbuhan yang cepat.

Singapura, sebagai salah satu negara yang terdepan dalam implementasi EV, berkomitmen untuk mengalihkan seluruh kendaraan berbahan bakar fosil di negeri tersebut pada 2040. Pada 2020, populasi EV di Singapura adalah sekitar 1.400 dari total lebih dari 950 ribu kendaraan. Sembari menjaga agar jumlah EV tetap sesuai target, Singapura juga fokus meningkatkan instalasi titik pengisian listrik untuk mencapai rasio EV yang ditargetkan, dengan rasio 8:1 per titik pengisian pada 2030.

Thailand, sebagai pusat regional untuk kendaraan mesin pembakaran internal (internal combustion engines/ICE), juga sedang membangun basis manufaktur EV dengan meluncurkan berbagai insentif keuangan untuk semua rantai pasokan utama, dan memanfaatkan keahlian pekerja rumah tangga eksisting di industri otomotif. Negara tersebut menargetkan 30% EV, atau sekitar 750 ribu unit produksi mobil pada 2030 dan mengejar kepemilikan 2,5 juta EV (termasuk mobil, sepeda motor, dan bus) di jalanan negara tersebut pada 2037.

Sumber daya melimpah

Indonesia, sebagai negara dengan ekonomi sekaligus penghasil emisi GRK terbesar di kawasan ASEAN, juga terberkati dengan sumber daya alam yang melimpah seperti nikel, kobalt, seng, dan mangan yang merupakan bahan baku baterai EV. 

Dengan adanya kekuatan utama tersebut, pemerintah Indonesia berupaya untuk menarik investasi. Upaya itu dilakukan dengan mendirikan perusahaan induk baterai milik negara, dan bernegosiasi dengan beberapa investor untuk menjajaki opsi industri rantai pasokan baterai EV. Selain itu, pemerintah Indonesia juga mengupayakan untuk memproduksi kendaraan yang 20%nya adalah kendaraan listrik dan hibrida pada 2025. Selain itu juga membangun lebih dari 1.500 stasiun pengisian listrik pada 2024.

Meski memiliki tahapan pengembangan yang berbeda, AMS mengemban amanat dan arahan yang sama dalam merangkul pertumbuhan EV di kawasan ASEAN. Di saat pemerintahan saling berlomba-lomba mengembangkan ekosistem industri EV dengan kebijakan dan insentif, studi regional yang dilakukan oleh Nissan juga menunjukkan antusiasme yang besar terhadap EV di seluruh kawasan ASEAN. 

Survei tersebut menemukan bahwa sebanyak 43% (Thailand) dan 45% (Filipina) pemilik kendaraan non-EV menunjukkan keinginan untuk membeli kendaraan listrik dalam tiga tahun ke depan, sementara lebih dari 70% masyarakat Indonesia juga tertarik untuk memiliki kendaraan listrik. Bahkan di tengah pandemi covid-19, ketika aktivitas perjalanan sehari-hari telah melambat sejak tahun lalu, tren pasar EV terlihat masih tangguh. 

Hal itu bisa dilihat, misalnya, penjualan mobil EV di Thailand mengalami peningkatan sebesar 1,4% pada 2020. Sebaliknya penjualan mobil reguler merosot sebesar 26%. Di Singapura, tren yang sama juga terjadi dengan jumlah EV terdaftar di jalanan pada 2020 yang mengalami peningkatan sebesar 5,3% dibandingkan tahun sebelumnya.

Dengan pertimbangan berbagai target dan pencapaian di atas, tantangan utama ASEAN dalam mengadopsi EV masih terletak pada kesiapan infrastrukturnya. Saat ini, beberapa AMS seperti Kamboja, Laos, dan Myanmar hampir tidak memiliki infrastruktur EV. Hal tersebut sejalan dengan salah satu kekhawatiran terbesar dalam kepemilikan kendaraan listrik, berdasarkan survei konsumen Nissan, yang menggarisbawahi tuntutan atas ketersediaan infrastruktur seperti stasiun pengisian yang luas. Terlebih mengingat saat ini jumlah stasiun pengisian yang ada di kawasan ASEAN masih sangat terbatas. 

Idealnya, pembangunan infrastruktur ini pada awalnya dapat dipelopori oleh pemerintah, dan kemudian diikuti dengan keterlibatan yang lebih besar dari sektor swasta untuk meningkatkan kemajuan tersebut. Aspek lain dari kesiapan infrastruktur EV berkaitan dengan peningkatan teknologi karena jangkauan dan daya tahan baterai adalah penentu utama dalam percepatan pasar EV. 

Meskipun telah terdapat kemajuan dalam reduksi biaya baterai yang mencapai lebih dari 85% sejak 2010 secara global, baterai masih merupakan bagian yang paling penting dan mahal yang mencakup sekitar 40-50% dari total harga kendaraan. Masalah ini hanya dapat diatasi dengan pencapaian skala ekonomi yang pada akhirnya akan mendorong EV yang lebih terjangkau di kawasan ASEAN.

Selain kesiapan infrastruktur, perhatian utama dalam mengadopsi EV adalah sumber energi itu sendiri. Pasokan listrik di kawasan ASEAN didominasi oleh bahan bakar fosil. Di samping itu, pembangkit listrik di sebagian besar kawasan ASEAN berasal dari pembangkit listrik tenaga batu bara, yang mana hal ini berarti bahwa kendaraan listrik dengan campuran jaringan listrik eksisting tetap akan menambah tekanan pada sistem yang sudah berada di bawah tekanan. 

Jadi, meskipun kendaraan itu sendiri tidak mencemari lingkungan melalui emisi knalpot, justru sumber energi yang digunakan dalam proses elektrifikasi dapat menyebabkan emisi GRK keseluruhan yang lebih besar di kawasan tersebut. Oleh karena itu, integrasi jaringan dengan porsi energi terbarukan (RE) yang signifikan adalah hal vital bagi keberhasilan implementasi EV secara luas. 

AEO6 menyatakan bahwa meskipun semua target energi baru terbarukan (EBT) nasional tercapai (ASEAN target scenario/ATS), pangsa EBT dalam bauran energi ASEAN atau total pasokan energi primer (TPES) hanya akan mencapai 17,7% dari target regional sebesar 23% pada 2025. AMS perlu berupaya lebih keras untuk dapat mencapai atau bahkan melampaui target EBT mereka untuk bisa menyempurnakan tren positif EV saat ini.

Selain adanya keterlambatan dalam integrasi jaringan EBT, salah satu permasalahan transportasi yang dihadapi kota-kota besar adalah kemacetan lalu lintas. Pengerahan EV, seiring dengan pembangunan infrastruktur, perlu juga ditekankan pada transportasi umum. Di kota-kota yang padat, bus merupakan kendaraan transportasi utama yang tidak memperparah kemacetan dan kendaraan ini tidak mudah digantikan oleh mobil. Seperti yang telah dijalankan di sebagian besar AMS, termasuk Malaysia dan Filipina, bus listrik sudah mulai menggantikan pengoperasian bus ICE konvensional. 

Pemerintah yang saat ini masih dalam proyek percontohan ataupun dalam tahap awal implementasi EV mungkin akan tetap dapat memperoleh manfaat dengan cara mengamati dan belajar dari pendekatan ini. Memfokuskan EV dalam sistem transportasi umum menjadi solusi nyata untuk mengatasi masalah polusi udara dan kemacetan lalu lintas, terutama di ibu kota-ibu kota negara ASEAN.

Karena EV hanya merupakan salah satu teknologi utama yang diakui untuk mengurangi polusi udara di kota-kota padat penduduk di banyak ibu kota ASEAN, EV tidak dapat diposisikan sebagai solusi tunggal dalam memecahkan masalah iklim di kawasan ASEAN. Solusi tersebut juga perlu dilengkapi dengan kematangan pasar, infrastruktur, dan rangkaian rantai pasokan yang kuat sebelum mencapai skala ekonomi yang diperlukan. 

Penetrasi jaringan EBT yang tinggi merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi oleh sektor transportasi supaya dapat bertransisi energi ke EV. Jika tidak dilengkapi dengan upaya yang terus-menerus untuk memperbarui jaringan listrik, bisa jadi EV akan membebani jaringan bahan bakar fosil yang sudah 'kesulitan'. Dukungan pemerintah dalam hal infrastruktur dan untuk mendorong kebijakan yang lebih kuat juga sangat penting dalam mempercepat pengadopsian EV. 

Dengan bantuan yang besar dari sektor sekitarnya, implementasi EV yang sukses dapat menjadi kunci perubahan struktural yang signifikan dalam sistem energi. Terlebih bagi kawasan ASEAN untuk berkontribusi dalam membatasi kenaikan suhu global hingga 1,5 derajat celcius dibandingkan dengan saat pra-industri, sebagaimana telah disepakati dalam Paris Agreement.

BERITA TERKAIT