22 May 2022, 06:00 WIB

Hak Asasi Binatang


Adiyanto Wartawan Media Indonesia | Opini

MI/Ebet
 MI/Ebet
Adiyanto Wartawan Media Indonesia

MASALAH sengketa dan perebutan tanah atau bahkan anak sering masuk ranah pengadilan, dan itu hal yang biasa. Namun, bagaimana jika seekor gajah masuk dan jadi perdebatan di ruang sidang? Itu barangkali hanya terjadi di Amerika Serikat. Happy, demikian nama gajah betina itu, bukan secara fisik menerobos dan mengacak-acak ruang pengadilan. Namun, ‘kehadiran’ hewan penghuni kebun binatang Bronx itu untuk menggugat konsep tentang hak asasi. Apakah ia layak diperlakukan seperti manusia? Apakah konsep HAM juga dapat diterapkan pada binatang?

Menurut pengacara Nonhuman Rights Project (NRP), lembaga pembela hak-hak binatang, Happy layak mendapatkan hak yang dilindungi undang-undang seperti halnya manusia. Apalagi, kata mereka, Happy secara kognitif hampir memiliki kesamaan dengan manusia. Dalam ilmu psikologi, kemampuan kognitif secara umum dimaknai sebagai keterampilan menerima informasi atau pengetahuan. Adapun informasi yang dimaksud mencakup perasaan dan kesadaran terhadap diri sendiri, pengalaman pribadi, atau lingkungan sekitar. Oleh karena itu, mereka mendesak hewan tersebut segera dipindahkan dari kebun binatang seluas satu hektare itu ke tempat perlindungan yang lebih luas.

Sebaliknya, pihak kebun bintang menolak. Mereka beralasan gajah tersebut tidak dikurung secara ilegal dan tetap dirawat dengan baik. Ia dihormati sebagai makhluk yang luar biasa. Pengacara NRP mengatakan tidak peduli bagaimana Happy diperlakukan di kebun binatang itu. Mereka melihat hak kebebasan tubuhnya dilanggar. Mereka berpendapat jika pengadilan mengakui hak Happy atas kebebasan itu di bawah prinsip habeas corpus (kebebasan atas tubuh), dia layak diperlakukan seperti manusia dan mesti dilepaskan dari kebun binatang tersebut.

Para hakim di pengadilan banding negara bagian takzim mendengarkan argumen kedua kubu yang berseteru itu dalam sidang yang digelar pada Rabu (18/5). Mereka tentu saja tidak bisa menanyai Happy, apakah ia senang tinggal di kebun binatang yang telah dihuninya selama 45 tahun. Namun, mereka tetap kritis kepada kedua belah pihak yang bersengketa. "Jadi, apakah itu berarti saya tidak boleh memelihara anjing?” tanya salah seorang hakim kepada pihak penggugat.

Kisah tentang Happy ini saya baca di The Guardian, Kamis (19/5) lalu. Saya tidak tahu ujung dari cerita itu karena sidangnya masih berproses. Yang pasti, pada pengadilan di tingkat sebelumnya, tuntutan para penggugat ditolak. Namun, dari kisah tersebut, kita mungkin patut merenungi lagi relasi manusia dan hewan, termasuk gajah. Apalagi, sepanjang sejarah peradaban manusia, hewan itu memiliki peran penting, baik secara sosial, ekonomi, maupun politik. Gajah pernah jadi tunggangan para raja, bahkan digunakan sebagai armada perang di berbagai kekaisaran. Kita bisa membaca kisahnya, baik di lembar sejarah maupun kitab suci. Namun, sekarang, mengapa hewan itu justru terus diburu manusia hingga nyaris punah?

'Gugatan-gugatan' kecil itu mungkin juga bisa kita pertanyakan terhadap relasi manusia dengan jenis hewan lainnya, seperti ayam, kucing, anjing, kera, sapi, dan sebagainya. Apakah betul hewan-hewan itu tidak memiliki perasaan sehingga boleh diperlakukan seenaknya. Apakah ayam-ayam yang digantung di belakang sepeda motor itu tidak menangis diperlakukan demikian? Apakah kera-kera bahagia dijadikan aktor dalam pertunjukan topeng monyet? Apakah burung-burung yang kita pelihara itu 'happy' kita kurung di dalam sangkar, sedangkan habibat mereka sesungguhnya di alam luas? Begitupun ular dan harimau yang dibunuh untuk sekadar memuaskan selera dan gaya hidup manusia.

Silakan pertanyaan-pertanyaan itu tuan dan puan renungkan. Mumpung, katanya, ini Hari Keanekaragaman Hayati. Selamat berakhir pekan.

BERITA TERKAIT