04 May 2022, 05:00 WIB

Idul Fitri Momentum Membahagiakan Anak


Rita Pranawati Wakil Ketua Majelis Pelayanan Sosial Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Koordinator Sosialisasi dan Perundang-undangan Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Pusat Aisyiyah, dosen FISIP UHAMKA, dan Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) | Opini

Dok. Pribadi
 Dok. Pribadi
    

SETELAH sebulan berpuasa, tiba saatnya umat Islam merayakan Hari Raya Idul Fitri. Hari raya yang dinantikan setelah menjalankan ibadah puasa sebulan penuh dari 12 bulan yang dijalani. Selama Ramadan, lapar dan dahaga menjadi situasi yang semakin lumrah dialami. Namun, sejatinya, puasa tidaklah hanya soal menahan lapar dan dahaga.

Puasa mengajarkan manusia menjaga harkat martabat kemanusiaan. Dengan berpuasa, manusia belajar merasakan kondisi dan situasi yang dirasakan orang-orang yang memiliki keterbatasan terhadap akses makanan. Keterbatasan akses makanan sering kali juga berdampak pada keterbatasan akses terhadap informasi, pendidikan, dan sumber daya. Oleh karenanya, puasa mengajarkan kita menghargai setiap kondisi manusia lain, berlaku secara baik dan adil, dan tidak memperlakukan sewenang-wenang.

Puasa tidakah semata-mata mengajarkan menahan haus dan lapar. Namun, puasa mengajarkan agar manusia dapat menahan emosi. Puasa mengajarkan manusia untuk dapat mengendalikan diri agar tidak melakukan kekerasan. Mengendalikan diri agar berpikir soal hakikat dan substansi, bukan hanya soal memenuhi kebutuhan fisik semata. Makna puasa sudah semestinya diejawantahkan dengan berpikiran positif, berperilaku yang baik, dan menebar kebajikan.

Anak merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan kita semua dalam segala hal. Anak sering kali menjadi objek dalam kehidupan jika dibandingkan dengan sebagai subjek. Anak sejatinya memiliki harkat martabat kemanusiaan yang harus dijaga, dilindungi, dan dipenuhi hak-hak mereka. Mereka ialah bagian dari kehidupan kemanusiaan yang sering terabaikan. Dalam konteks kehidupan spritual, kondisi anak tak ubahnya pandangan umum yang sering kali masih menganggap anak sebagai objek, makhluk yang lemah, dan mudah diperdaya. Tulisan ini akan mengangkat bagaimana makna puasa dan Idul Fitri untuk kebahagiaan anak.

 

Idul Fitri sebagai hari kemenangan

Ketika kita semua memaknai Idul Fitri sebagai hari kemenangan, sudah seharusnya kemenangan itu ialah kemenangan untuk kita bersama dalam kehidupan. Kemenangan mengendalikan hawa nafsu, amarah, tindak kekerasan, dan tindakan biadab lainnya. Kemenangan itu tidak hanya diimplementasikan bagi orang dewasa semata, tetapi juga perlu diterapkan kepada anak-anak.

Kemenangan di hari raya sudah seharusnya diwujudkan dalam pemenuhan prinsip-prinsip perlindungan anak. Pertama, setiap anak diperlakukan dengan adil tanpa diskriminasi. Anak laki-laki dan perempuan diperlakukan secara berkeadilan untuk mendapatkan akses pendidikan, gizi yang sehat dan seimbang, akses informasi terhadap edukasi kesehatan reproduksi, hingga keterampilan kecakapan hidup (life skill). Dengan mendapatkan pemenuhan hak tanpa diskriminasi, sejatinya anak akan mendapatkan kesempatan yang baik untuk dukungan tumbuh kembang mereka.

Kedua, pemenuhan prinsip kepentingan terbaik bagi anak. Idul Fitri mengajarkan kita untuk menyelami makna ibadah puasa kita, mengendalikan hawa nafsu. Sebagai orangtua, orang dewasa, dan komunitas yang menyelenggarakan perlindungan anak, mereka semua sudah seharusnya berorientasi pada kepentingan terbaik bagi anak. Ada banyak pemikiran bahwa segala tindakan orangtua/orang dewasa diperuntukkan kepentingan terbaik bagi anak. Namun, sejatinya tindakan-tindakan tersebut lebih mengutamakan kepentingan terbaik menurut orang dewasa. Orangtua terkadang membuat tindakan berdasarkan prioritas kebutuhan orang dewasa, tidak memperhatikan fase tumbuh kembang anak yang hanya berjalan sekali dan maju.

Ketiga, memenuhi hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan. Idul Fitri yang didahului dengan ibadah puasa sebulan penuh mengajarkan kita untuk mengatur kebutuhan fisik dengan baik sekaligus menjaga perkembangan psikologis. Hak hidup seorang anak harus dipenuhi sebagai penghargaan terhadap hak yang paling dasar. Dengan menjalankan sahur dan berbuka dengan teratur, sejatinya kita memberikan asupan gizi yang pas dan sesuai dengan kebutuhan serta tidak berlebih-lebihan. Ajaran tersebut juga mengisyaratkan bahwa anak pun perlu mendapatkan asupan gizi seimbang untuk kelangsungan hidup mereka. Anak juga memerlukan stimulus yang baik, sebagaimana nilai-nilai puasa agar anak dapat memiliki kematangan menjadi pribadi yang mulia, dengan perkembangan psikologis yang baik.

Keempat, prinsip penghargaan terhadap pendapat anak. Ketika Hari Raya Idul Fitri, kita semua saling memaafkan dan mendengarkan tiap individu saat saling sungkem atau meminta maaf. Kesempatan emas itu penting untuk dimaknai bahwa orangtua dan anak harus membangun komunikasi yang baik. Komunikasi yang baik merupakan prinsip perlindungan anak, yaitu mendengarkan pendapat anak. Secara tradisi, orangtua memang harus didengarkan dan sering kali ingin didengarkan pendapatnya. Namun, sejatinya, menghargai pendapat anak ialah penghargaan terhadap martabat kemanusiaan yang mereka miliki.

 

Saling memaafkan, kembali suci

Hari Raya Idul Fitri identik dengan hari kemenangan, hari tempat kita saling memaafkan apa yang sudah terjadi. Meskipun sebenarnya meminta maaf dapat dilakukan kapan saja, Idul Fitri identik dengan penyampaian mohon maaf lahir dan batin. Saling memaafkan dapat melepas iri dengki dan perseteruan yang selama ini hadir dan menatap masa depan yang lebih baik.

Dalam konteks hak anak, laporan terhadap anak sebagai korban konflik orangtua menjadi salah satu kasus dua besar dalam 12 tahun terakhir. Bahkan pada 2021, jumlah aduan ke KPAI terkait dengan anak korban konflik orangtua mencapai 2.281 kasus yang merupakan aduan tertinggi. Kondisi itu sangat terkait dengan kondisi pandemi yang berdampak pada kehidupan ekonomi keluarga hingga menimbulkan konflik dalam keluarga yang berkepanjangan. Selain itu, data Bapenas menyebutkan meningkatnya angka perceraian 3% per tahun yang secara tidak langsung berdampak pada kesejahteraan anak.

Anak harus menjadi prioritas bersama dalam kondisi apa pun. Kondisi keluarga boleh saja mengalami konflik, perpisahan, hingga perceraian. Upaya-upaya damai tentu saja harus diupayakan sebelum pengambilan keputusan. Apa pun keputusan yang diambil sudah seharusnya kondisi anak tidak terpengaruh oleh kondisi konflik tersebut. Namun, fakta di lapangan justru sebaliknya, anak menjadi korban konflik orangtua.

Anak sering kali menjadi korban rebutan kuasa asuh oleh kedua orangtua yang berkonflik. Masing-masing merasa berhak atas kehidupan anak. Padahal, sejatinya, apa pun kondisi orangtuanya, anak-anak berhak mendapatkan pengasuhan dari keduanya tanpa batas waktu. Kuasa asuh hanyalah aspek hukum untuk mewakili anak dalam tindakan hukum.

Dalam situasi orangtua berkonflik, anak juga sering kali mengalami kesulitan mendapatkan akses bertemu orangtua dan saudara kandung. Momen Idul Fitri sudah seharusnya menjadi momen memberi ruang bagi anak untuk bertemu orangtua mereka atau saudara kandung mereka dan menjadi momen bertemu dengan kerabat dan sanak saudara. Hal itu selaras dengan Idul Fitri sebagai momentum menyambung silaturahim. Apalagi, tahun ini menjadi tahun pertama setelah dua tahun pandemi yang dijalani masyarakat Indonesia.

Nafkah anak juga menjadi hal yang harus dipenuhi. Ketika mengakhiri Ramadan, umat Islam menggenapkan ibadah dengan memberikan zakat fitrah bagi yang mampu. Zakat bagi sesama menjadi penanda penyempurnaan ibadah puasa. Karena itu, sudah sewajarnya orangtua memberikan hak nafkah anak bagaimanapun kondisi orangtua. Orangtua tidak perlu berpikir dengan siapa saat ini anak tinggal, tetapi nafkah bagi anak untuk pemenuhan hak dasar anak, kebutuhan pangan, papan, sandang, kesehatan, pendidikan, dan rekreatif untuk tumbuh kembang.

Apa pun yang terjadi dengan orangtua, orangtua perlu saling memaafkan di hari nan fitri ini. Memaafkan berarti melepas semua beban, berserah diri kepada Allah SWT. Berserah diri meringankan beban psikologis sehingga menjadi berpandangan positif. Anak tetaplah darah daging yang memiliki hubungan darah yang tak terputus. Anak juga investasi orangtua di kehidupan akhirat dengan doa yang dipanjatkannya kelak sehingga orangtua, bagaimanapun, keadaannya, tetap perlu memperhatikan tumbuh kembang anak dengan memberikan hak nafkah, akses bertemu, dan pengasuhan terbaik.

 

Hari fitri, menjaga kelembutan laku

Hari Raya Idul Fitri bermakna kembali suci. Ibadah Ramadan mendidik kita agar melembutkan dan menyucikan hati kita. Kelembutan hati di Hari Raya Idul Fitri mengajarkan kita berkasih sayang, menghargai dan menghormati sesama, kelembutan laku, dan menjadi manusia berperilaku yang baik kepada sesama, termasuk kepada anak-anak penerus generasi bangsa.

Idul Fitri seharusnya menjadi momentum kesadaran agar menyayangi anak tanpa melakukan kekerasan. Kekerasan terhadap anak beragam bentuknya, mulai kekerasan fisik, psikis, hingga seksual. Berdasarkan laporan ke KPAI, terdapat 2.982 kasus kekerasan terhadap anak. Dari jumlah kekerasan itu, yang paling banyak ialah korban kekerasan fisik dan psikis, yaitu sebanyak 1.138, anak korban kekerasan seksual sebanyak 859, serta anak korban pornografi dan kejahatan siber sebanyak 345. Kasus tersebut ialah kasus yang dilaporkan kepada aparat penegak hukum.

Sejatinya, kasus-kasus kekerasan fisik dan psikis merupakan fenomena gunung es yang tidak selalu dilaporkan kepada pihak berwajib. Catatan KPAI awal pandemi (2020), misalnya, ada peningkatan anak mengalami kekerasan fisik, psikis, hingga kekerasan di dunia maya. Dari survei tersebut ditemukan bahwa ibu lebih banyak menemani anak belajar yang seharusnya pengasuhan menjadi tanggung jawab kedua orangtua. Kelelahan ibu selama pandemi berefek domino pada kerentanan anak mengalami kekerasan fisik dan psikis. Dalam hal ini, keterlibatan laki-laki dalam urusan domestik dan pengasuhan akan menjadi kebersamaan yang membawa kesejahteraan bagi anak.

Idul Fitri menjadi momentum kebersamaan seluruh anggota keluarga dan lingkungan untuk menjaga dan melindungi anak dari kekerasan seksual. Anak yang pengetahuannya masih terbatas perlu untuk dijaga dengan membuat kebijakan keselamatan anak di institusi-institusi yang bekerja untuk anak. Kebijakan keselamatan anak mengedukasi anak dan sumber daya manusia yang bekerja dengan anak, termasuk membuat prosedur operasional standar agar anak tidak berada dalam situasi rentan.

Layanan pelaporan juga dibuat agar ada proses pelaporan yang berpihak kepada korban yang rentan. Pada kasus kekerasan seksual yang dialami seorang anak, jika kasus tersebut tidak dilaporkan, sejatinya kita sedang berpikir kepentingan terbaik bagi institusi dan orang dewasa. Sementara itu, dalam ruang keluarga, orangtua harus saling mengedukasi anggota keluarga dan anak agar anak terbebas dari kekerasan seksual.

Akhirnya, kebersamaan anak dan orangtua selama Lebaran menjadi momentum peningkatan kualitas keluarga. Libur Lebaran dapat dimanfaatkan menjadi momentum kebersamaan orangtua dalam mengasuh dan mendidik anak untuk pengasuhan berkualitas. Lebaran juga mengajarkan membangun persaudaraan dan bukan memupuk permusuhan. Berkunjung kepada sanak saudara dengan protokol kesehatan menjadi momentum anak belajar bersosialisasi. Semoga Idul Fitri membawa kebahagiaan bagi anak-anak Indonesia.

BERITA TERKAIT