PADA 6 Januari 2022 Presiden Joko Widodo menandatangani Instruksi Presiden (Inpres) No. 1 Tahun 2022 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Ada 30 kementerian/lembaga (K/L) dan pemerintah daerah yang diinstruksikan dalam Inpres ini.
Kehadiran Inpres ini menuai polemik di masyarakat karena mengaitkan kepesertaan JKN dan pelayanan publik dinilai sebagai hal yang tidak relevan. Beberapa sanksi terhadap layanan publik dalam Inpres ini antara lain pembuatan SIM, STNK, sertifikat tanah, IMB, dan paspor.
Kaitan kepesertaan JKN dengan pelayanan publik merupakan amanat Pasal 17 ayat 1 dan ayat (2c) UU BPJS, yang dioperasionalkan dalam PP No. 86 tahun 2013 dan Inpres no. 1 Tahun 2022. Sanksi ini bertujuan agar seluruh rakyat Indonesia dijamin oleh Program JKN. Diharapkan tidak ada lagi masyarakat yang mengalami kesulitan pembiayaan ketika mengalami sakit. Kepesertaan wajib dan gotong royong merupakan dua dari sembilan prinsip sistem jaminan sosial nasional.
Dengan kepesertaan wajib maka seluruh rakyat bergotong royong membiayai pelayanan kesehatan bagi masyarakat yang sedang sakit. Bagi masyarakat yang tidak mampu, iurannya dibayar Pemerintah. Inpres no. 1 Tahun 2022 ini tidak hanya mengatur tentang kepesertaan, tetapi juga mendorong peningkatan pelayanan dan pembiayaan JKN. Pembiayaan JKN yang sejak tahun pertama hingga keenam mengalami defisit, di tahun ketujuh dan kedelapan mencatatkan surplus. Sehingga di akhir 2021 posisi aset bersih DJS (dana jaminan sosial) sebesar Rp39,45 triliun, masuk kategori sehat dan mampu memenuhi 4,83 bulan estimasi pembayaran klaim ke depan.
Dengan posisi aset bersih ini, pembayaran klaim pelayanan ke RS berjalan lancar, dan malahan BPJS Kesehatan mampu memberikan uang muka pelayanan kesehatan kepada RS sesuai Peraturan Direksi No. 55 Tahun 2021. Per akhir Desember 2021 sudah 196 RS yang mendapatkan uang muka dengan total Rp421,76 miliar.
Kemampuan pembiayaan seyogyanya diikuti oleh peningkatan kepesertaan dan pelayanan secara signifikan. Kepesertaan aktif JKN terus menurun dalam dua tahun terakhir ini, sementara kepesertaan nonaktif bertambah. Peserta nonaktif adalah peserta yang tidak bayar iuran sehingga tidak mendapatkan layanan JKN.
Peserta nonaktif per 31 Desember 2019 berjumlah 20.189.126 orang, naik menjadi 24.591.275 orang di akhir 2020, dan naik 100% lebih di 7 Februari 2022 menjadi 48.723.718 orang. Angka ini menunjukkan semakin banyak rakyat Indonesia yang tidak mendapat layanan JKN. Peserta nonaktif ini didominasi oleh peserta penerima bantuan iuran (PBI) yang dinonaktifkan Kementerian Sosial atau Pemda, dan peserta bukan penerima upah (peserta mandiri).
Kepesertaan nonaktif ini berpotensi terus meningkat. Paling tidak ada dua hal yang mendukungnya, yaitu, pertama, kebijakan Pemerintah menurunkan kepesertaan PBI di 2022 hingga 2024, seperti yang tertuang dalam Surat Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas tertanggal 26 Juli 2021.
Kedua, rencana penerapan kelas rawat inap standar di 2023 yang akan berdampak pada penetapan iuran baru kelas mandiri, berkisar Rp50 ribu-Rp75 ribu. Iuran baru ini berarti kenaikan iuran bagi peserta mandiri kelas 3, yang saat ini membayar Rp35 ribu per bulan.
Selain kepesertaan nonaktif ini, masih ada sekitar 40 juta orang yang belum pernah mendaftar di JKN. Masih banyak pekerja penerima upah swasta dan bukan penerima upah yang belum terdaftar di JKN.
Dengan kedua data di atas, berarti ada sekitar 30% masyarakat Indonesia yang tidak dijamin JKN. Sementara Pemerintah menargetkan kepesertaan semesta JKN dalam RPJMN 2019-2024 sebanyak 98%.
Relaksasi dan evaluasi berkala
Salah satu isu dalam G-20 adalah kesehatan inklusi. Sektor kesehatan yang inklusif ditandai, salah satunya, dengan cakupan kesehatan semesta untuk seluruh rakyat Indonesia, khususnya pada program JKN. Presidensi G-20 harus menjadi momentum perbaikan sistem jaminan sosial kesehatan di Indonesia, khususnya kepesertaan dan pelayanan. Kebutuhan masyarakat akan layanan kesehatan menjadi prioritas utama, khususnya masyarakat rentan.
Semangat Presidensi G-20 dan Inpres no. 1 Tahun 2022 harus mampu meningkatkan kepesertaan aktif dan peningkatan pelayanan kesehatan. Seluruh K/L dan pemda harus bekerja sama, dan serius melakukan tugasnya. Kementerian Kesehatan, pemda dan BPJS Kesehatan harus terus mendorong semua RS swasta bermitra dengan BPJS Kesehatan, sehingga akses peserta JKN ke RS semakin tambah mudah.
Demikian juga BPJS Kesehatan harus meningkatkan kualitas layanan unit pengaduan di RS, agar peserta mendapatkan informasi manfaat JKN secara menyeluruh. Tujuannya agar persoalan yang dialami peserta dapat langsung dibantu.
Mengingat potensi kepesertaan pekerja formal masih besar, Kejaksaan Agung, Kepolisian, Kementerian Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan harus meningkatkan pengawasan dan penegakkan hukum kepada perusahaan yang belum mendaftarkan pekerjanya ke JKN. Termasuk di dalamnya memastikan kepatuhan upah sebagai basis pembayaran iuran dengan Direktorat Jenderal Pajak.
Dari sisi regulasi, saya dorong Pemerintah melakukan relaksasi beberapa regulasi seperti memberikan diskon tunggakan iuran sehingga bisa menstimulus pembayaran tunggakan iuran. Sistem denda pun perlu direlaksasi dengan menetapkan denda hanya sekali dalam rentang masa denda 45 hari.
Sanksi layanan publik harus terus diedukasi kepada masyarakat agar tumbuh kesadaran atas pentingnya perlindungan JKN dan semangat gotong royong. Hal tersebut perlu dilakukan, sehingga masyarakat mampu mempersepsikan sanksi layanan publik ini sebagai usaha Pemerintah memproteksi masyarakat, bukan membebani masyarakat.
Presiden harus mengevaluasi pelaksanaan Inpres no. 1 ini secara berkala, sehingga mampu mencapai target yang diharapkan. Evaluasi ini sangat penting sehingga tidak mengulang kekurangberhasilan Inpres no. 8 Tahun 2017 tentang Optimalisasi Pelaksanaan JKN, dalam mengatasi persoalan JKN pada saat itu, khususnya masalah defisit pembiayaan JKN.