JIKA Barbara Lewis menjawab pertanyaan Robert Solow sekenanya saja, sepertinya tidak akan ada teori pertumbuhan eksogen yang diganjar Hadiah Nobel. Pertanyaan Solow sebenarnya sederhana, apakah mata kuliah ekonomi yang diambil Lewis merupakan sesuatu yang bermanfaat?
Jawaban dari pertanyaan inilah yang pada akhirnya membuat Solow memutuskan untuk mengikuti jejak Lewis mengambil studi doktoral di Harvard. Jadilah sepasang suami istri ini menapaki jalan yang sama sebagai akademisi di bidang ekonomi. Teori pertumbuhan eksogen ini memang sangat fenomenal dan menjadi patron dari perjalanan ilmu ekonomi neoklasik.
Salah satu yang menjadi fondasi teori ini ialah terminologi yang disebut sebagai residu Solow, yang menjelaskan bagian tertentu dari pertumbuhan ekonomi yang tidak bisa dijelaskan secara spesifik, tetapi menjadi dasar bagi pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan.
Residu tersebut menjelaskan sisi perkembangan teknologi yang tidak dapat ditangkap secara jelas dalam sistem, tetapi memiliki peranan yang sangat signifikan dalam peningkatan produktivitas.
Meski dalam perjalanannya teori ini mendapatkan banyak koreksi, semisal dari Douglas North mengenai peran institusi dalam pertumbuhan ekonomi, atau teori pertumbuhan endogen yang digagas Kenneth Arrow dan kawan-kawan, tetap saja teori pertumbuhan eksogen ala Solow ini tetap menjadi acuan literatur terkini ketika menjelaskan pertumbuhan ekonomi dan pendukungnya.
Kami pun tak lepas dari patron ini. Model matematika yang kami kembangkan bersama doktor Agung Trisetyarso, model Dirac-Solow-Swan, yang merupakan perkongsian antara teori ekonomi dan fisika kuantum mengenai peran inovasi dan teknologi dalam pertumbuhan ekonomi juga dilandasi teori pertumbuhan Solow.
Selain memberikan inspirasi teoretis, model pertumbuhan ekonomi Solow menjadi patron praksis dari para pembuat kebijakan yang ingin mengejar pertumbuhan ekonomi yang solid dan berkesinambungan. Bagaimanakah perjalanan kabinet Jokowi dalam dua tahun terakhir? Sudahkah selini dengan embusan Solow?
Kabinet Jokowi-Ma'ruf sejatinya dimulai dengan ekspektasi masyarakat yang tinggi. Di antara jalinan ekspektasi tinggi tersebut, ekspektasi terhadap perbaikan ekonomi Indonesia terbilang cukup dominan. Memasuki masa awal kabinet, dengan menggunakan analisis sentimen publik berbasis artificial intelligence (AI), Next Policy menemukan lonjakan (spike) sentimen positif pada hari kabinet Jokowi 2.0 diumumkan.
Namun, pandemi covid-19 menghancurkan momen tersebut dengan adanya kontraksi di sana-sini. Meski sempat terlihat kegagapan di awal, perlahan tetapi pasti perekonomian mulai kembali ke jalurnya. kontraksi ekonomi yang mewarnai 2020 tampak mulai pupus sejak kuartal II 2021, yang menunjukkan lonjakan ekonomi hingga 7,07% secara tahunan.
Meski demikian, patut dicatat bahwa hal ini secara teknis merupakan sesuatu yang tidak terlalu mengejutkan, mengingat adanya efek batas bawah (low base effect) yang terjadi karena besaran pembandingnya pada 2020 berada di dasar jurang kurva pertumbuhan, wajar jika seakan melonjak tinggi. Namun, biar bagaimanapun jelas ini kabar baik.
Tetap waspada
Beberapa seri intervensi fiskal dan nonfiskal sepertinya memiliki efek circumstansial terhadap proses pemulihan ekonomi tersebut. Beberapa di antaranya ialah relaksasi impor, insentif pajak, dan stimulus fiskal yang menjejaki perekonomian sepanjang 2020 dan 2021.
Kenaikan angka purchasing manager index (PMI) in manufacturing yang solid, kinerja neraca dagang yang memggembirakan, dan tren pembalikan ekonomi pada umumnya menjadi cerita-cerita positif yang sepertinya masih terus berlanjut.
Namun, tetap saja kita harus tetap waspada. Simulasi kami menunjukkan ada beberapa faktor pembentuk gejolak yang masih harus dihadapi dalam waktu dekat. Faktor yang paling dominan ialah covid-19 yang memberikan sumbangan 17% sampai 18% terhadap gejolak yang timbul. Jika terjadi ledakan-ledakan infeksi berikutnya, hal itu akan semakin menekan usaha pemulihan ekonomi ke depan.
Revenge tourism, yang diwanti-wanti Menparekraf Sandiaga Uno beberapa waktu yang lalu, bisa jadi menjadi faktor pemantik ledakan pandemi berikutnya. Betapa tidak? Di mana-mana sekarang kita melihat tingkat okupansi hotel yang meningkat, restoran yang kembali penuh pelanggan, serta objek wisata yang penuh melimpah.
Hal itu memang mengindikasikan geliat ekonomi, tetapi di sisi lain menjadi potensi risiko yang juga cukup mengancam. Jika kemudian berujung pada kenaikan jumlah kasus secara signifikan, hal itu akan menyebabkan PDB Indonesia terkontraksi sebesar -0,73% pada dua kuartal selanjutnya, sebagai akibat pembatasan ekonomi dan efek dari hilangnya produktivitas.
Faktor pembentuk gejolak berikutnya ialah dari jalur komoditas global mengingat adanya tekanan dari sisi ini dalam beberapa waktu terakhir meskipun sejatinya gejolak ini sebenarnya bukan hal yang terlalu mengejutkan. Pada 2020, di awal Mei kami sempat mengirimkan notifikasi ke Menteri Perdagangan mengenai ragam potensi risiko ekonomi yang akan mengemuka. Dalam memo tersebut, kami sampaikan kekhawatiran akan adanya decoupling, antara demand dan supply seiring dengan proses pemulihan di masa pandemi.
Beberapa risiko yang mungkin muncul ialah naiknya harga pangan, energi, dan komoditas pada umumnya akibat berebut sumber daya yang langka. Hal itu dimungkinkan akibat terjadinya pertumbuhan yang disproporsional antara demand dan supply. Demand terkerek dari rencana stimulus, terutama dari negara-negara besar, sementara supply lambat menyesuaikan karena karakteristik adaptasi untuk segera melaju tidak secepat daya adaptasi dari sisi demand. Butuh waktu untuk menjalankan industri, merekrut kembali pekerja, menjalankan logistik yang mandek, dan seterusnya.
Fenomena
Fenomena yang kita hadapi sekarang ialah tren harga komoditas yang tinggi mengangkasa, serta negara negara besar seperti Tiongkok dan India yang bahkan sudah semakin sulit mencari energi. Untungnya untuk Indonesia, setidaknya dalam jangka pendek ini, faktor pembentuk gejolak ekonomi yang berasal dari batu bara, minyak bumi, dan komoditas lainnya tidak sedominan covid-19, tetapi patut diwaspadai jika tren ini kemudian memicu imported inflation yang berlebihan.
Secara teknis, menurut perhitungan kami, sumbangannya ialah 0,64% dari batu bara dan 7,88% dari minyak bumi. Namun, patut diwaspadai jika variabel itu kemudian menjalar kepada faktor inflasi dari jalur imported inflation. Jika itu yang terjadi, gejolak dari sisi inflasi akan memiliki daya rusak yang hampir serupa dengan covid-19. Setiap gejolak dari jalur inflasi dapat menyebabkan PDB terkontraksi sebesar -0,66% pada dua kuartal selanjutnya dan responsnya tetap negatif sampai delapan kuartal berikutnya.
Jangan sampai kemudian eksportir komoditas, misalnya batu bara, tergiur untuk ekspor berlebihan sehingga membuat pasokan dalam negeri menjadi sangat terbatas sehingga mempercepat tren inflasi ini. Akan tetapi, di sisi yang lain, jika dimanfaatkan dengan baik tren commodity supercycle ini juga bisa menguntungkan. Namun, ingat, keuntungan ini sifatnya hanya akan temporer. Jangan sampai kemudian balik arah kembali bergantung pada komoditas dan melupakan industrialisasi.
Dengan serenceng variabel penyebab gejolak tersebut, muncul kemudian tiga kemungkinan skenario pertumbuhan ekonomi: optimistis, moderat, dan pesimistis. Secara keseluruhan, hasil estimasi kami menunjukkan ekonomi Indonesia akan tumbuh pada kisaran 2,75% dalam skenario pesimistis, 3,47% dalam skenario moderat, dan 4.39% di skenario optimistis untuk 2021.
Sementara itu, untuk 2022 perekonomian dalam skenario pesimistis tumbuh 3,97%, dan dalam skenario moderat akan mencapai 4,54%. Sementara itu, di skenario optimistis akan terdongkrak hingga 5,46%. Proyeksi itu tentunya bergantung pada keberhasilan penanganan pandemi covid-19, kondisi perekonomian global ke depan, dan juga faktor ekspektasi atau sentimen ekonomi.
Terkhusus mengenai sentimen ekonomi, data yang kami kumpulkan dari 22 juta basis cicitan media menunjukkan tren yang beriringan, antara sentimen ekonomi dengan beberapa variabel ekonomi, misalnya purchasing manager index (PMI). Melonjaknya sentimen negatif pada Juli dan Agustus berjalan seiring dengan anjloknya PMI di dua bulan tersebut. Sementara itu, dominannya sentimen positif di September sejalan dengan fase ekspansi dari PMI di bulan yang sama.
Faktor pembentuk sentimen positif dan negatif tersebut sejalan dengan temuan sebelumnya mengenai faktor gejolak jangka pendek, yang didominasi berhasil atau tidaknya penanganan covid-19. Jika demikian, penanganan pandemi ialah suatu hal yang sekuensial terhadap prospek pemulihan ekonomi, bukan sesuatu yang saling kontra (trade off) sebagaimana yang diyakini sebagian orang.
Dalam hal ini saya harus mengamini pendapat Paul Krugman beberapa waktu berselang pada kolomnya di New York Times bahwa yang mempertentangkan antara pandemi dan ekonomi ialah orang-orang yang tidak cukup serius.
Produktivitas
Lantas, bagaimana harapan masyarakat terhadap ekonomi ke depan? Jika menteri-menteri di bidang ekonomi dijadikan proksi, data kami menunjukkan Menteri Keuangan Sri Mulyani bersama dengan Menteri Parekraf Sandiaga Uno dan Menteri BUMN Erick Thohir ialah yang paling banyak diperhatikan publik. Untungnya sentimen kepada tiga menteri paling banyak disebut ini cukup positif, yang juga mencerminkan ekspektasi positif terhadap tiga faktor penghela perekonomian ke depan, yaitu kinerja fiskal, pariwisata dan ekonomi kreatif, serta BUMN.
Faktor ekspektasi ini perlu tetap dijaga. Jika kemudian ia terbengkalai terhadap realitas, ongkosnya ialah kredibilitas yang anjlok. Sementara itu, dengan melihat kinerja sektoral, sektor teknologi, informasi dan komunikasi (TIK) sepertinya menjadi corong pertumbuhan ke depan sebagaimana kemampuannya yang tidak hanya tumbuh vertikal, tetapi juga horizontal dengan menggandeng sektor-sektor lainnya.
Ke depan, demi mencapai pertumbuhan ekonomi yang solid dan berkesinambungan, produktivitas menjadi kuncinya sebagaimana taklimat Solow terhadap konsep pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian, fasilitasi produktivitas melalui pengembangan ekosistem teknologi menjadi bagian yang dapat menjaga alur pertumbuhan ekonomi. Namun, masalahnya, untuk konsep ini pun Solow masih ragu, sebagaimana observasi empirisnya yang melegenda, “You can see computer age everywhere but in the productivity statistics.”