SEBAGAI negara kepulauan yang 77% teritorialnya berupa lautan (NODC Indonesia), sudah sepantasnya Indonesia memaksimalkan usaha agar dapat menjadi pengelola sumber daya kelautan dan seisinya untuk membantu meningkatkan kesejahteraan dan kemaslahatan bangsa Indonesia. Dalam upaya pengelolaan, ketersediaan data dan informasi merupakan faktor terpenting yang harus kita miliki.
Data dan informasi ini didapat melalui berbagai cara seperti observasi dan pencatatan yang dilakukan melalui riset ilmiah. Melakukan riset ilmiah dengan cakupan area Nusantara tentunya memerlukan waktu dan biaya yang cukup besar.
Berdasarkan data dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), dari total belanja negara dalam APBN 2021 yang mencapai Rp 2.750 triliun, alokasi untuk riset ialah Rp 9,9 triliun atau 0,36% yang masih jauh dari rasio minimal 1% untuk mengungkit indeks inovasi global yang mana saat ini Indonesia berada di peringkat 85 dari 131 negara. Bagaimana tentang alokasi anggaran untuk riset kelautan dan kemaritiman? Tidak ada data persisnya, tetapi kita masih dapat bersyukur paling tidak riset kemaritiman masuk dalam daftar 10 fokus utama Rencana Induk Riset Nasional (RIRN) 2017-2045.
Mengingat terbatasnya anggaran, salah satu upaya optimalisasi anggaran ialah kita harus mengintegrasikan sistem riset dan inovasi di Indonesia. Untuk itu, pembentukan Badan Riset dan Inovasi (BRIN) di luar Kemendikbud-Ristek dan litbang K/L merupakan platform tepat jitu yang perlu kita apresiasi agar dapat mengintegrasikan semua kegiatan riset dan pengembangan yang tersebar di berbagai kementerian dan lembaga pemerintah.
Konsorsium riset samudra
Sebagai pilot project yang sudah diupayakan menjadi model riset kelautan yang terintegrasi ialah melalui pembentukan Konsorsium Riset Samudra (KRS). KRS dideklarasikan pada Septenber 2017 untuk memformulasikan tema riset multidimensional dan mengimplementasikan program-program RIRN terkait kelautan dan kemaritiman.
Konsorsium itu beranggotakan 11 institusi terkait, antara lain Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, LIPI, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, dan tiga PTN, yakni IPB, ITB, dan Universitas Sriwijaya.
Ada lima program strategis KRS yang pernah diusulkan ke Bappenas untuk didanai, yakni terkait keanekaragaman hayati dan konservasi, ketahanan pangan, ketahanan energi, geosains kelautan, obsrevasi laut dan atmosfer dan grand strategy SDM. Sayangnya, belum terlembagakannya KRS dengan payung hukum yang memadai menyebabkan perannya belum nyata.
KRS harus dapat dijadikan wahana dalam upaya memantaskan diri sebagai poros maritim dunia yang mana kemakmuran dan kesejahteraan bangsa Indonesia menjadi tujuan utama. Maka itu, kita harus dapat mengoptimalisasi pemanfaatan sumber daya laut untuk dikelola dengan baik yang mana data-datanya diambil dengan pertimbangan kajian ilmiah (scientific-based). Untuk itu, KRS penting bagi kita sebagai negara maritim guna memperkaya Pusat Data Kelautan Nasional (National Ocean Data Center).
Pusat Data Kelautan Nasional Indonesia dibentuk pada 2018 untuk mengintegrasikan data kelautan yang dihasilkan berbagai institusi riset kelautan Indonesia berupa data oseanografi, batimetri, kewilayahan, lingkungan, ekonomi, kebencanaan, dan infrastuktur (www.nodc.id). Masih sangat diperlukan akuisisi data dan koleksi data dikumpulkan menjadi satu pintu pada NODC yang berperan sebagai knowledge pool and management agar segenap pemangku kebijakan dan kepentingan dapat memanfaatkan menjadi informasi strategis guna menyiapkan kebijakan yang lebih baik.
Ke depan, NODC harus sangat adaptif dengan kondisi kemutakhiran saat ini. NODC harus menjadi Chief Information Officer (CIO) melalui pemanfaatan perangkat cerdas sistematis artificial intelligence (AI), seperti internet of things (IoT), machine learning (ML), dan big data. Geoffrey More mengatakan, “Without big data, you are blind and deaf in the middle of the freeway.”
Kluster SDM dan infrastruktur riset kelautan
Kesuksesan RIRN, KRS, dan NODC tergantung banyak factor. Tulisan ini membatasi dua hal utama, yakni SDM dan infrastruktur. Terkait SDM, setidaknya ada tiga klaster SDM riset kelautan yang terdiri atas BRIN yang merupakan fusi dari LIPI, BPPT, Batan, dan Lapan.
Selain BRIN, BMKG juga dikelompokan dalam klaster yang merepresentasikan 5% dari SDM kelautan total, lembaga litbang lingkung K/L, seperti KKP, ESDM, dan HUBLA dengan populasi 10% serta perguruan tinggi berupa fakultas/departemen/jurusan/program studi kelautan dan perikanan dari 108 institusi yang diperkirakan berjumlah 5.400 ilmuan (85%).
Supaya data-data kelautan cepat terkumpul dan senantiasa diperbarui, sebaiknya riset kelautan dilakukan dengan basis wilayah pengelolaan perikanan (WPP). Di Indonesia, ada 11 WPP yang tersebar di seluruh Indonesia. Sebagai contoh, WPP 711 merupakan wilayah perairan yang akan digunakan beberapa PT yang berasosiasi dengan kelautan dan kemaritiman, seperti Universitas Maritim Raja Ali Haji (Kepulauan Riau), Universitas Bangka Belitung (Bangka Belitung), Universitas Jambi (Jambi), dan Universitas Tanjungpura (Kalbar), membuat konsorsium riset yang dapat berbagi sumber daya, baik dari sisi SDM maupun peralatan.
Harus ada laboratorium terpadu yang memungkinkan riset-riset dasar membumi, riset aplikatif berkembang, dan riset frontier sebagai tren masa depan. Laboratorium terpadu dapat diakses semua PT di WPP, tinggal menunjuk lokasi yang paling strategis penempatan laboratorium terpadu.
Selain itu, sarana riset KRS seperti kapal riset bersama juga harus dimiliki. Kapal-kapal riset ini dapat digunakan berbagai PT yang bersinggungan dengan delineasi WPP. Peneliti BRIN dan lembaga terkait dapat ikut serta dalam riset dengan lokus di WPP.
Kebalikannya dalam kerangka KRS, peneliti dari BRIN, BMKG, dan litbang K/L akan mendapat peran sebagai investigator utama dalam risetnya dan pada gilirannya dosen peneliti dari PT menjadi co-operator, ikut mengambil data ke samudra Indonesia dan Samudra Pasifik.
Setidaknya, pemerintah harus menganggarkan pembelian kapal riset sekelas Baruna Jaya I s/d VIII untuk 11 WPP ditambah 4 RV di tiap-tiap wilayah kerja di area ZEE dua samudra dan 5 RV yang khusus meneliti di daerah landas kontinen (350 mil dari surut terendah).
Meski terkesan ambisius dan kurang jouable, anggaran untuk mengadakan 20 RV diperkirakan sebesar Rp2.5 triliun, yang dapat dibuat bertahap selama lima tahun dan harus diproduksi di dalam negeri. Kita juga sudah memiliki Baruna Jaya I-IV (BPPT), BJ VII-VIII (LIPI), Madidihang 2 dan 3, serta Bawal Putih 3 (KKP), KRI 933 dan KRI 934 (PUSHIDROS), dan Geomarine 3 (ESDM) yang harus di-upgrade dan dipersenjatai dengan instrumen-intrumen analitis kelautan.
Setelah itu, jika 20 RV dan 9 RV yang sudah ada juga harus diberi hari layar minimal 100 hari dalam setahun, biaya operasional per tahun diperkirakan bernilai Rp350 miliar. Bagi negara yang berazam untuk unggul di bidang maritim, angka-angka itu rasanya tidak perlu lagi dipertanyakan? Pemerintah paling siap menjawabnya dengan sahih!.