25 September 2023, 20:22 WIB

Sengketa Tanah Adat Pulau Rempang dari Kacamata Hukum Properti


Ardi Teristi Hardi | Nusantara

Antara
 Antara
HUTAN TAMAN BURU REMPANG BATAM.

KONFLIK Pulau Rempang memunculkan isu hak tanah, hak asasi manusia, serta kepentingan investasi pemerintah. Pengakuan akan adanya hukum adat, masyarakat adat, dan tanah adat menjadi krusial agar konflik Rempang menemui titik terang.

Persoalan bermula ketika area di Pulau Rempang rencananya akan dibuat Rempang Eco City. Di situ, berbagai bentuk usaha akan dibangun, seperti pabrik dan properti. Namun, dengan catatan, masyarakat adat diminta untuk keluar dari daerah itu.

"Nah, tentunya masyarakat adat di Rempang jelas tidak terima karena merasa tidak adil, hak asasi mereka diganggu gugat di sana," kata praktisi hukum bidang properti Evander Nathanael Ginting dalam diskusi bertajuk Konflik Rempang: Memahami dari Berbagai Sudut Pandang yang diadakan Pusat Kajian Hukum Adat Djojodigoeno, Fakultas Hukum UGM, Sabtu (23/9) lalu.

Baca juga : Menteri Bahlil: Warga Rempang akan Direlokasi ke Desa Terdekat

Ia menyebut, setidaknya terdapat dua masalah utama dalam konflik ini. Pertama, masyarakat adat yang terdiri dari Suku Melayu, Suku Laut, dan beberapa suku lainnya, telah menempati Pulau Rempang selama lebih dari 200 tahun. Selama masa tersebut, tanah di Pulau Rempang telah dianggap milik masyarakat adat secara utuh.

Kemudian, pada tahun 2001-2002, pemerintah memberikan kewenangan berupa Hak Guna Usaha (HGU) pada sebuah perusahaan atas tanah Batam. Namun, hingga sebelum konflik terjadi, tanah tersebut tidak pernah ikunjungi atau dikelola oleh investor.

Baca juga : Komnas HAM Sebut Ada 6 Pelanggaran Hak pada Kasus Rempang-Galang

Kedua, kewenangan atas pengelolaan lahan di Batam diatur oleh Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam).

Sayangnya, batas-batas pengelolaan tanah oleh BP Batam dan tanah adat milik masyarakat tidak diuraikan secara jelas, hingga menimbulkan tumpang tindih penguasaan tanah.

"Batam ini bertetangga dengan negara-negara seperti Singapura dan Malaysia. Dan juga memiliki Kawasan Ekonomi Khusus (ZEK) yang memberikan insentif fiskal dan fasilitas bagi investor. Jadi, di sini ada semacam keuntungan kalau kita berdagang di Batam. Tidak pernah ada kejadian gempa juga di Batam, jadi orang mau berinvestasi di Batam itu merasa aman," tambah Evander.

Pulau Batam menawarkan peluang investasi yang besar, bahkan dijanjikan juga masyarakat akan diberdayakan sebagai tenaga kerja jika proyek Rempang Eco City ini dapat terwujud. Alhasil, masyarakat di sana terbagi menjadi dua kubu, yaitu masyarakat adat yang benar-benar menentang pembangunan dan masyarakat mayoritas pendatang yang justru setuju dengan proyek tersebut.

 

Apakah tanah adat Rempang diakui negara?

Penasehat Hukum yang turut mengulik Konflik Rempang, Reggy Dio Geo Fanny mengatakan, jika menilik dari segi legalitas hukum terkait pengelolaan lahan Batam dan Pulau Rempang, Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 41 Tahun 1973 telah menjelaskan otorisasi tersebut.

Hak pengelolaan atas lahan Batam diberikan pada otoritas Batam (BP Batam) sepenuhnya untuk dibagikan pada pihak ketiga yang berperan mengelola tanah tersebut secara lebih lanjut.

Pihak tersebut nantinya diwajibkan membayar hak guna lahan tersebut kepada pemerintah. Lalu, pada tahun 1992, pemerintah memberikan wilayah Rempang dan Galang pada otoritas Batam untuk dikelola dan memajukan industri Batam.

"Setelah itu, mulai masuklah PT. Makmur Elok Graha pada tahun 2004," kata dia.

Kala itu, DPRD Batam memberikan rekomendasi, PT tersebur dapat melakukan tindakan pengembangan di wilayah Batam.

Dari rekomendasi ini, nota kesepakatan dibuat, bahwa Pemerintah Batam setuju kalau PT Makmur Elok Graha akan mengelola wilayah-wilayah di Batam, termasuk Rempang.

Namun, yang perlu digarisbawahi, kesepakatan ini dinyatakan bahwa PT MEG akan membangun pusat-pusat hiburan, perkantoran, dan permainan. Itu berbeda dengan wacana sekarang.

Ia juga menambahkan, sempat ada usaha pemisahan otoritas Kota Batam dengan Pulau tua, seperti Rempang, dari otoritas BP Batam oleh Wali Kota Batam. Namun, upaya tersebut tidak ada tindak lanjut hingga terbit Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian pada 2023 tentang adanya proyek pembangunan Eco City di Kepulauan Riau.

Legalitas tersebut mengisyaratkan bahwa Pemerintah Indonesia mendukung sepenuhnya pembangunan proyek industri di Pulau Batam oleh PT. Makmur Elok Graha. Ia mengatakan, pada ayat dua, dituliskan bahwa hak pengelolaan yang berasal dari tanah ulayat, ditetapkan pada masyarakat hukum adat.

"Pertanyaannya, apakah masyarakat Batam tersebut merupakan masyarakat hukum adat yang diakui oleh negara? Apakah tanah tersebut juga diakui negara sebagai tanah ulayat?" kata Reggy.

Pemerintah, lanjut dia, memiliki peran penting dalam menentukan jalan tengah antara berbagai pihak terlibat.

Di samping hukum konstitusional, sebagai negara multikultural, Indonesia memiliki hukum adat dan hukum agama sebagai bagian dari masyarakat untuk menyelesaikan kasus tersebut. (Z-4)

BERITA TERKAIT