SITUASI di kawasan Poco Leok, Kecamatan Satar Mese, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur (NTT) kembali memanas. Di bawah guyuran hujan lebat pada Jumat (9/6), warga mengadang petugas PLN dengan pengawalan aparat bersenjata lengkap yang hendak melakukan pematokan lokasi pengeboran geothermal di wellpad D, Lingko Tanggong.
Aparat sempat berusaha membubarkan warga yang berasal dari empat gendang (komunitas adat) di kawasan ini. Yakni Gendang Lungar, Gendang Tere, Gendang Racang, dan Gendang Rebak. Namun mereka tetap bertahan dengan menutup akses jalan.
Warga membuat barikade di Lingko Tanggong mengalang petugas PLN yang mendapatkan pengawalan dari Kepolisian. Tidak hanya itu, mereka juga berteriak, "Tolak geothermal! Tolak geothermal!"
Baca juga: Sentimen Kuat EBT, Permintaan Green Bond PGEO Capai US$ 3,3 Miliar
Melihat kondisi itu, petugas PLN memutuskan untuk mundur. Melihat petugas PLN memutuskan mundur, warga baru membubarkan diri.
"Kami tidak mengizinkan PLN datang merusak lingkungan di sini. Kami sudah tahu bahaya geothermal itu. Kami tidak mau jadi korban proyek itu," kata Kori Jehanut, salah seorang warga.
Baca juga:Energi Bersih Kamojang Listriki Warga
Sebelumnya, PLN menetapkan Poco Leok sebagai kawasan perluasan Pembangkit Listrik Panas Bumi (PLTP) Ulumbu. Berdasarkan hasil survey, Lingko Tanggong ditetapkan sebagai salah satu titik pengeboran panas bumi (geothermal), yakni wellpad D.
Perluasan proyek yang didanai Bank Jerman Kreditanstalt für Wiederaufbau (KfW) ini bertujuan memenuhi target menaikkan kapasitas PLTP Ulumbu dari 7,5 MW menjadi 40 MW.
Perluasan ini terjadi menyusul Keputusan Menteri ESDM Nomor 2268 K/30/MEM/2017 tentang Penetapan Pulau Flores sebagai Pulau Panas Bumi. Selain Poco Leok, beberapa wilayah di Flores dieksploitasi menyusul keputusan ini, seperti di Wae Sano, Manggarai Barat; Mataloko, Kabupaten Ngada; hingga di Sokoria, Kabupaten Ende.
Di Poco Leok, rencana perluasan PLTP Ulumbu mendapat penolakan dari warga adat sejak awal PLN melakukan survey. Upaya PLN melakukan pengeboran sampel dan memasang patok wellpad mendapat perlawanan warga, hingga warga menyita peralatan petugas.
Aksi serupa sudah sering terjadi. Pada Februari, warga menghadang Bupati Manggarai, Herry Nabit yang hendak melakukan pendekata, setelah menerbitkan izin lokasi proyek pada Desember tahun lalu.
Selain pengadangan, warga pun berulang kali menyampaikan sikap penolakan kepada pemerintah. Baru-baru ini, dalam rangkaian Hari Anti-Tambang (HATAM) pada 29 Mei lalu, warga Poco Leok mendesak pemerintah untuk mencabut Keputusan Menteri ESDM Nomor 2268 K/30/MEM/2017 tentang Penetapan Pulau Flores sebagai Pulau Panas Bumi.
"Keputusan itu dilakukan secara ugal-ugalan, tanpa konsultasi dengan warga sebagai pemilik sah atas tanah," ujar Masyudi Onggal, salah seorang warga Poco Leok.
Ia menyebut penetapan Flores sebagai Pulau Geothermal telah memicu perampasan lahan, penghancuran wilayah pangan dan sumber air, serta kawasan hutan, hingga mengancam kesehatan warga akibat paparan hidrogen sulfida (H2S) dari operasi geothermal.
Lebih jauh, rencana pembongkaran sejumlah wilayah untuk perluasan operasi tambang geothermal itu, juga berpotensi memicu bencana gempa, mengingat Flores masuk dalam kawasan ring of fire.
"Kami sudah melihat langsung kerusakan lingkungan di Mataloko dan kami juga sudah tahu bagaimana korban jiwa berjatuhan akibat paparan H2S di Mandailing Natal. Atau yang terdekat, bagaimana kerusakan yang dirasakan warga di sekitar PLTP Ulumbu. Tak ada alasan bagi kami untuk menerima proyek ini," tutur Agustinus Sukarno.
Di Mataloko, terjadi semburan lumpur panas di lokasi yang berjarak sekitar 1 km dari lokasi pengeboran. Dampak lainnya, areal persawahan warga terendam dan sumber air bersih tercemar serta atap rumah cepat berkarat.
Di Ulumbu, terjadi longsoran yang merusak lahan pertanian hingga mengancam pemukiman serta kerusakan atap rumah warga. Sementara di Mandailing Natal, operasi geothermal telah menyebabkan 5 orang tewas, dan ratusan lainnya menjalani perawatan di rumah sakit akibat terpapar H2S. (Z-3)