27 March 2023, 11:00 WIB

Demi Rawat Tanaman Komoditi, Yosep Hidup Sendiri di Ujung Flores Timur 


Fransiskus Gerardus Molo | Nusantara

Metrotv/Fransiskus Gerardus Molo
 Metrotv/Fransiskus Gerardus Molo
Yosep Doang Hurit di depan gubuknya yang sederhana di Flores Timur.

HIDUP  menyendiri di hutan, tidak jauh dari pesisir Tanjung Bunga, Kabupaten Flores Timur (Flotim), Yosep Doang Hurit, 74, bersikukuh merawat tanaman jenis komoditi miliknya, kelapa dan kakao, demi masa depan anak  cucunya.

Gubuknya yang sederhana masih berada di wilayah Desa Lamatutu, Kecamatan Tanjung Bunga. Lokasinya kurang lebih 5 kilometer dari permukiman warga Desa Lamatutu. Tepatnya di ujung Tanjung Bunga, Pulau Flores bagian utara. 

Pria lanjut usia itu masih bersemangat walapun kondisi tubuhnya sudah membungkuk. Ditemui pada Minggu (26/3) siang, Yosep terlihat gesit membawa satu ikat daun lontar dari hutan sekitar kebunnya.

Baca juga: Pj Bupati Flotim Kunjungi dan Serahkan Bantuan ke Lansia Tunanetra yang Tinggal di Hutan

Daun lontar itu akan ia gunakan sebagai atap gubuknya yang baru dibangun pascaroboh oleh hujan. 

Gubuk yang ia tempati sebelumnya hanya tersisa rangka kayu. Beberapa potong seng karat sisa dan terpal kumal menutupi atap gubuknya. Ukuran gubuk ini sekitar 2×1 meter. Saat hujan, air merembes membasahi tubuhnya.

Tidak ada dinding yang mengapiti gubuk Yosep. Dia pun melewati malam yang dingin dengan pasrah. 

Baca juga: Lansia Tunanetra Ini Hidup Sebatang Kara di Hutan Flores Timur

Malam yang gelap hanya dibantu dengan penerangan seadanya, yaitu lampu pelita. Lampu ini juga tidak bertahan lama. Saat angin kencang, dalam sekejap cahayanya sirna.

Gubuk itu, untuk sementara, ia bangun di dekat gubuk lama.  Dengan alat dan bahan seadanya, Yosep gesit naik ke atap gubuknya. Tangannya lihai mengikat tiang-tiang bambu hijau yang telah ia rangkai menggunakan tali daun lontar. 

Siang yang begitu terik tak ia hiraukan. Topi lusuh berwarna cokelat melekat di kepalanya menghalau panasnya cahaya matahari siang itu. Dengan baju putihnya yang mulai basah oleh keringat dan celana panjang hitam melindungi kulitnya yang keriput.

Usai mengikat tiang-tiang bambu dan atap, Yosep turun menyalakan api di tungku batu untuk memasak air minum. Asap mulai mengepul, ia turun ke sungai membawa sebuah jeriken untuk mengambil air. Ia menempuh jalan yang sedikit terjal kurang 150 meter. 

"Saya mandi di sungai dan ambil air untuk dimasak" ungkapnya saat kembali dari sungai dengan napas sedikit tersengal.

Sambil mengisi air pada wadah berupa periuk almunium yang hitam, Yosep berkisah tentang pahitnya hidup usai merantau di Malaysia, 33 tahun lalu. Ia memilih pulang kampung pada 2013 lalu. 

"Saya ingin mencari hidup, bertahan diri dalam kesusahan saya di hutan ini untuk menjaga tanaman saya. Saya tanam pisang, kelapa, dan kakao untuk anak cucu saya yang akan datang," ungkap Yosep.

Terhitung 10 tahun lamanya ia telah tinggal di kebunnya. Di usia uzurnya, Yosep masih mencangkul tanah. Ia menanam ubi dan pisang yang kemudian dipanen untuk mengganjal perutnya tiap hari. 

Ia mengakui bisa makan nasi saat mendapatkan uang usai menjual hasil panen dari kebunnya. Ia bisa membeli beras dan jagung di Desa Aransina.

"Saya ada istri dan dua anak, mereka tinggal di kampung. Jika saya juga tinggal di kampung, saya kesulitan ke kebun karena jauh dan menyusahkan proses perawatan tanaman. Saya makan yang ada di kebun saja" jelasnya.

 Yosep juga memancing ikan di laut Tanjung Darat, sekitar 100 meter dari rumahnya. Ia menggunakan sampan kayu dan memakai alat pancing seadaanya. Biasanya ia memancing mulai sore hingga malam hari usai bekerja di kebunnya. 

"Saya sedikit-sedikit  mancing. Jual di kampung-kampung terdekat. Jika nasib baik dapat 30 lebih ekor ikan batu. Hasilnya juga saya pakai untuk beli beras dan  berobat saat sakit," ungkap Yosep.

Saat dirinya jatuh sakit, Yosep memilih berobat di Pustu Desa Aransina. Mendayung sampan kayu selama kurang lebih 15 menit. Jarak itu lebih dekat ketimbang berjalan kaki 5 kilometer melewati setapak berbatu menuju Desa Lamatutu. Usia yang tidak lagi muda membuat Yosep tidak bisa berjalan jauh.

Kini, Yosep menikmati profesinya sebagai petani. Merantau di Malaysia tidak membuatnya bahagia. Walapun harus tinggal di gubuk yang sederhana, bahkan jauh dari kata layak, Yosep berpendapat bercocok tanam bisa membawa perubahan dalam hidup.

"Pulang dari Malaysia pada 2013 dan lihat keadaan di sini, saya pilih tetap di sini bercocok tanam. Tinggal di sini. Kalau tinggal di kampung saja tidak bisa memperoleh perubahan. Pemerintah mau kita harus bercocok tanam karena kita ini petani," kata Yosep.

Yosep ingin selamannya tinggal di hutan merawat tanaman di kebunnya. Ia berharap, pemerintah mengelurkan tangan memberikan bantuan seng untuk gubuknya. Hal itu agar saat tiba musim hujan, rintiknya tidak lagi membasahi tubuhnya. (Z-1)

BERITA TERKAIT