19 March 2023, 16:10 WIB

Kebijakan Pangan Dinomorsatukan, Peneliti Optimistis Indonesia Jadi Pemimpin Dunia di Sektor Pangan


Media Indonesia | Nusantara

DOK/PRIBADI
 DOK/PRIBADI
Peneliti pangan dan pertahanan Dina Hidayana (kiri) di Kampus UNS Surakarta

PANGAN dan pertahanan negara menjadi dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Karena itu, Indonesia harus berani menempatkan kebijakan pangan sebagai prioritas utama dan pertama dalam pembangunan nasional.

Hal itu dikatakan Dina Hidayana, Ketua Umum Ikatan Alumni Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS) periode 2023-2027, Sabtu (18/3).

Pada Dies Natalis ke-47 UNS, Musyawarah Nasional dan Reuni Fakultas Pertanian UNS, itu, dia mengungkapkan ketahanan pangan penting. Bukan sekedar kepentingan merespon ancaman krisis pangan yang telah dilontarkan beberapa pihak belakangan ini yang melihat negara-negara yang menggantungkan kebutuhan pangan pada negara lain ditengarai akan mengalami krisis multidimensi.

"Namun lebih dari itu Indonesia akan kehilangan jati diri sebagai negara agraris dan produsen pangan yang cukup disegani. Negara eksportir yang telah bergeser menjadi salah satu importir (pangan) terbesar di dunia. Ini merupakan hal serius dan fundamental yang harus segera dibenahi sejak sekarang, tidak bisa ditunda lagi," tegas Doktor Ilmu Pertahanan itu.

Selaras dengan hasil riset disertasi Dina yang berjudul “Optimasi Kebijakan Sektor Pangan dalam Memperkokoh Sektor Pertahanan Negara” diketahui bahwa pangan bukan sekedar pelepas lapar dan dahaga. Lebih dari itu, pangan berfungsi geoekonomi dan geopolitik yang memperkuat pertahanan suatu negara dalam jangka pendek, menengah maupun panjang.


Ancaman krisis


Perempuan satu-satunya penerima beasiswa Doktoral Universitas Pertahanan RI TA 2020/2021 melalui teknik mixmethods, salah satunya Computable General Equilibrium (CGE) di bawah bimbingan Promotor Prof Purnomo Yusgiantoro menemukan proyeksi bencana krisis ekstrim domestik 32 tahunan yang akan kembali terulang di 2030, apabila Pemerintah tidak serius membenahi sektor pangan sejak sekarang.

Diketahui pada 1966 masa pemerintahan Presiden Soekarno, Indonesia mengalami hiperinflasi tertinggi sepanjang perjalanan Indonesia, yakni lebih dari 600%. Kemudian pada 1998 krisis serupa berulang meski tidak sebesar masa orde lama, yakni melampaui 70%.

Melalui simulasi pesimis, jika sektor pangan mengalami degradasi sekitar 10% maka laju inflasi diprediksi akan mencapai 170% pada 2030, pada masa puncak bonus demografi.

Dina yang juga merupakan Ketua Dewan Pimpinan Nasional SOKSI, itu,  sepakat bahwa pengabaian terhadap prioritas pangan domestik dan penguatan petani akan mendorong suatu negara pada ketergantungan akut pada negara atau bangsa lain. Kondisi itu bukan saja akan merusak sendi ekonomi, namun tatanan struktural secara umum di semua sektor kehidupan.

"Pada akhirnya negara tidak akan pernah bisa mengklaim dirinya maju dan hebat, apabila tidak berdaya atas tata kelola pangan yang berbasiskan daya dukung dan kearifan lokal. Kekuatan sumber daya nasional harus menjadi tulang punggung utama dalam pergerakan kemajuan bangsa, sehingga kita benar-benar berdaulat atas kemerdekaan negeri ini," tegasnya.


Percaya diri


Sesuai pengelamannya sebagai aktivis politik dan sosial kesejahteraan masyarakat, Dina berpendapat tidak mustahil optimisme mengenai peluang dan tantangan Indonesia yang memiliki dua musim dengan keluasan wilayah memadai, SDM mumpuni, kekayaan biodiversitas dan jalur maritim strategis serta berada di lintas khatulistiwa, sebagai daya tawar yang mampu meningkatkan efek gentar (detterent effect) bagi negara-negara, khususnya sub tropis yang memiliki banyak kendala dalam pengusahaan pangan.

Namun, kajiannya menunjukkan bahwa pada dasarnya Indonesia hanya perlu percaya diri untuk mampu bersaing dan menjadi pemain penting dalam pertarungan hegemoni dunia, sesuai amanah konstitusi sebagai pondasinya.

Indonesia dalam konteks geopolitik, lanjut dia,  memerlukan kepiawaian untuk menjadi pemimpin dunia di sektor pangan. Keunggulan komparatif dan kompetitif yang dimiliki Indonesia, perlu diakselerasi dengan penempatan kebijakan pangan dalam posisi pertama, utama dan tidak tergantikan (first elementary and permanently policy).

"Sektor pangan harus berada di kelas tertinggi dalam tata kelola negara. Artinya keberpihakan serius pemerintah terhadap sektor ini akan menentukan eksistensi bangsa Indonesia di masa yang akan datang. Tentu saja ini berkaitan dengan kualitas, kuantitas dan kontinuitas pangan tersebut, baik sebagai bahan mentah ataupun siap makan," jelas
penyandang gelar Magister Resolusi Konflik dari Universitas Gadjah Mada itu.

Berkaitan itu, Dina memperlihatkan perbedaan opsi-opsi perlakuan kebijakan pangan yang berimplikasi terhadap makroekonomi, seperti: jumlah dan kualitas SDM sektor pangan, tingkat produktivitas, tarif impor ataupun kombinasi ketiganya. Pilihan rasional untuk meningkatkan atau menurunkan opsi-opsi tersebut baik secara parsial atau kombinasi mengandung konsekuensi yang berbeda.

Peningkatan produktivitas pangan 10%, lanjut dia, mampu menekan gini ratio, mengurangi kesenjangan rural-urban dan menghambat laju kemiskinan. Sementara opsi penguatan SDM sektor pangan mampu menekan laju inflasi dan tingkat pengangguran. Kombinasi multishock ditengarai memberi dampak yang paling signifikan terhadap perubahan.

"Maka, ancaman krisis pangan, kontemplasi era pandemi dan konflik Rusia-Ukraina telah mengingatkan seluruh pihak bahwa sektor pangan harus menjadi prioritas yang mendesak untuk segera menjadi bagian yang utama dan terpenting dalam kebijakan keluarga, masyarakat dan negara. Ketersediaan pangan menentukan nasib generasi masa depan," tegas peneliti pertahanan dan pangan itu.

Pemerintah Indonesia, lanjut Dina, perlu lebih percaya diri dengan mengoptimalkan seluruh kemampuannya untuk menggerakkan sektor ini sebagai sektor andalan dan terdepan. "Tidak ada kata terlambat, kita harus mulai pembenahan mendasar sektor pangan sejak sekarang jika tidak ingin terus dicengkeram asing ataupun larut dalam jebakan neoliberalisme yang berpotensi mengebiri kedigdayaan bangsa yang pernah berjaya sebagai produsen pangan termasyur masa lampau," tambahnya.

Dia menunjuk kolaborasi astha helix, salah satunya peran strategis akademisi, perlu dilakukan secara sistemik melalui kepemimpinan yang visioner. (N-2)

BERITA TERKAIT