KETUA Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Klaten, Achmad Syakur, menyatakan
pemaksaan perkawinan anak merupakan bentuk tindak pidana kekerasan
seksual. Hal ini termaktub dalam Undang-Undang No 12 Tahun 2022.
Sementara itu, UU No 12/2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual
(TPKS) disahkan pemerintah dan DPR RI pada 12 April 2022. Kehadiran
undang-undang ini fenomenal dan disambut baik oleh banyak pihak.
Munculnya UU TPKS ini dilatarbelakangi terbatasnya pengaturan tentang
kekerasan seksual dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), dan
banyak kasus kekerasan seksual tidak dapat diproses hukum. Karena itu, implementasi UU TPKS harus secara sungguh-sungguh bagi pemangku kepentingan untuk memastikan perlindungan kepada setiap warga
negara, khususnya perempuan dan anak dari ancaman tindak kekerasan
seksual.
Hal tersebut diungkapkan Ketua LPA Kabupaten Klaten itu dalam penyuluhan hukum UU No 12/2022, yang diprakarsai oleh Pos Bantuan Hukum (PBH) Lentera Keadilan di Balai Desa Ngerangan, Bayat, Klaten.
Menurut Syakur, pemberlakuan UU No 12/2022 adalah bertujuan mencegah
segala bentuk kekerasan seksual, menangani, melindungi, memulihkan
korban, serta melaksanakan penegakan hukum, dan merehabilitasi pelaku.
"Adapun TPKS bisa berupa pelecehan seksual fisik dan nonfisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, perbudakan seksual, dan kekerasan seksual berbasis elektronik," jelasnya.
Jadi, pemaksaan perkawinan, termasuk perkawinan anak juga dikategorikan
sebagai bentuk tindak pidana kekerasan seksual. Definisi anak dalam hal
ini adalah seseorang di bawah usia 18 tahun, termasuk dalam kandungan.
"Perkawinan anak itu bentuk TPKS. Karena itu, hati-hati seorang anak
disarankan atau dipaksa untuk menikah. Karena perkawinan tidak boleh
dilakukan secara paksaan. Jadi, jangan ada pemaksaan perkawinan anak,"
pesannya.
Dalam perkara TPKS, pidananya ditambah sepertiga apabila dilakukan
terhadap anak. Selain pidana penjara, pidana denda, dan restitusi, hakim juga dapat menetapkan pidana tambahan, seperti pencabutan hak asuh anak dan pengampuan.
"Semua tindak pidana kekerasan seksual itu tidak dapat dilakukan penyelesaian perkaranya di luar pengadilan, kecuali terhadap pelaku anak," tandas Achmad Syakur. (N-2)