31 January 2023, 17:42 WIB

Aduan Kasus Pencaplokan Ribuan Hektare Lahan Hutan Menjadi HGU di Kalsel Mangkrak


Denny Susanto | Nusantara

 ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan
  ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan
Denny Indrayana, Senior Partner Integrity Law Firm.

ADUAN kelompok masyarakat sipil terkait kasus pencaplokan ribuan hektare hutan negara di Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan mangrak di lima lembaga negara. Pemerintah diduga telah melakukan pembiaran.

Kasus yang sempat mendapat perhatian publik itu ialah pengalihan hutan negara seluas 8.610 hektare di Kabupaten Kotabaru, yang kemudian menjadi aset PT Multi Sarana Agro Mandiri (PT MSAM), salah satu anak perusahaan Jhonlin Group.

Sebelumnya, hutan tersebut dikelola PT Inhutani II. Pada 2018 dialihkan menjadi HGU untuk perkebunan sawit PT MSAM yang diduga kuat bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan kajian yang dibuat oleh Indrayana Centre for Government, Constitution, and Society (Integrity) Law Firm dan Sawit Watch menyatakan bahwa peralihan ini diduga kuat mengandung tindak pidana korupsi, dugaan tindak pidana kehutanan, dan sindikasi mafia tanah.

Kasus ini sudah dilaporkan ke lima lembaga negara yakni KPK, Kejaksaan Agung, Bareskrim Polri, Kementerian LHK, dan Kementerian ATR/BPN. Namun, sudah satu tahun laporan disampaikan, penanganannya terkesan stagnan dan terhambat.

Achmad Surambo, Direktur Eksekutif Sawit Watch, Selasa (31/1) menyatakan negara, dalam hal ini kelima instansi tersebut, harus menangani permasalahan hilangnya hutan negara ini secara serius.

“Fakta hukum maupun fakta lapangan sudah sangat jelas. Bahkan sebelumnya ada pendapat dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bahwa kerja sama PT Inhutani II dengan PT MSAM yang berada pada areal kerja IUPHHK-HA PT Inhutani di Areal Penggunaan Lain ini tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Namun ketika dilaporkan, kasus ini tidak maju-maju.

Wajar jika kemudian muncul asumsi bahwa aparat penegak hukum ogah-ogahan menangani laporan tersebut. Dari kacamata pelayanan publik, penanganan atas aduan atau keluhan masyarakat yang mencapai waktu 1 tahun merupakan kesalahan besar yang tidak dapat ditoleransi.

"Jangan sampai ada dugaan yang aneh-aneh dari publik. Apa ada suatu kekuatan besar di balik ini sehingga negara tidak mampu melakukan penegakan hukum?” ujar Rambo.

Harimuddin, Partner Integrity Law Firm juga menyinggung kejahatan lintas sektor dalam perkara hilangnya hutan negara ini. Di samping merugikan negara secara umum, juga terdapat hak-hak masyarakat setempat yang dilanggar.

Sementara Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalsel, Kisworo Dwi Cahyono memaparkan bagaimana realitas yang dihadapi masyarakat kecil Kalimantan Selatan di hadapan para penguasa dan pengusaha di bidang SDA, khususnya tambang dan sawit.

“Saat ini, Walhi banyak menerima laporan masyarakat terkait penggusuran, konflik, dan perampasan, padahal Walhi bukan negara. Saya juga mendesak agar segera dibentuk Komisi dan Pengadilan Khusus Kejahatan Lingkungan dan SDA, mengingat lembaga penegak hukum, termasuk KPK, belum cukup ampuh menangani perkara lingkungan” tegas Kisworo.

Denny Indrayana, Senior Partner Integrity Law Firm, yang juga Guru Besar Hukum Tata Negara menegaskan kekayaan atau sumber daya alam Indonesia selalu memiliki dua sisi. Yakni dikelola dengan amanah maka menghasilkan kesejahteraan, atau ditangani secara serakah, sehingga menghasilkan mudharat seperti banjir, kerusakan lingkungan, dan lain sebagainya.

Seringkali kekuatan oligarki menanamkan saham untuk dua kepentingan. Pertama dividen politik, kedua tameng kasus hukum. Akibatnya, kebijakan pengelolaan SDA hanya memikirkan profit untuk kelompok privat, jauh dari kepentingan publik. Ini yang harus terus kita lawan dan perjuangkan dengan konsisten,” tegasnya. (N-2)

BERITA TERKAIT