18 January 2023, 11:05 WIB

Alasan Kearifan Lokal, Walhi Kalimantan Selatan Dukung Petani Bakar Lahan


Denny Susanto | Nusantara

MI/DENNY SUSANTO
 MI/DENNY SUSANTO
Masyarakat Adat Dayak Meratus melakukan kegiatan berladang 

Wacana Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan membolehkan para petani di wilayah tersebut membakar lahan dalam proses pembersihan dan pembukaan lahan pertanian mendapat dukungan dari berbagai pihak. Organisasi lingkungan Walhi Kalsel mendukung kebijakan membakar lahan pertanian dengan aturan ketat dan kearifan lokal.

"Rakyat khususnya petani dari dulu sampai sekarang masih melakukan pola tanam dengan cara membakar. Jadi memang wajar kalau sekarang
petani masih tetap diperbolehkan mengolah lahan dengan cara membakar. Tentu harus dikendalian sesuai daya tampung dan daya dukung lingkungan," tutur Direktur Eksekutif Walhi Kalsel, Kisworo Dwi Cahyono, dalam diskusinya bersama Pena Hijau Indonesia, Rabu (18/1).

Dia menambahkan, dukungan pihaknya itu bukan tanpa dasar hukum. Ia mengacu pada UU nomor 32 tahun 2009 tentang PPLH, pasal 69 ayat 2 dan penjelasannya yang menyebutkan : kearifan lokal yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan
maksimal 2 hektare per kepala keluarga untuk ditanami tanaman jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat bakar sebagai pencegah penjalaran api ke wilayah sekelilingnya."

"Jadi walaupun diperbolehkan, petani harus tetap dilakukan pembinaan dan tetap dipastikan melakukannya dengan cara sesuai kearifan
lokal. Apalagi itu dilakukan untuk memenuhi kebutuhan perut bukan bisnis sekala besar. Beda kalau perusahaan, apalagi perusahaan skala besar contohnya perkebunan kelapa sawit. Harus dengan tegas dilarang melakukan pembakaran lahan, apalagi di lokasi ekosistem rawa gambut," tegasnya.


Kurangi hama

Kondisi ini sama dengan kearifan lokal warga pegunungan dalam
proses berladang. Pembukaan lahan dengan cara membakar yang
merupakan bagian dari adat.

Kepala Adat Kecamatan Hantakan, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Abdul Hadi mengatakan masyarakat Dayak Meratus dan suku Dayak pada umumnya memiliki kebiasaan turun-temurun membuka lahan pertanian dengan cara membakar.

"Tradisi berladang atau bahuma dengan cara membakar itu sudah ada sejak zaman nenek moyang (leluhur). Bahuma bagi masyarakat adat
berkaitan dengan persoalan religi yang harus dijalankan melalui ritual
adat sebagai bentuk penghormatan terhadap sang pencipta, leluhur serta dewi padi," tuturnya.

Sementara Ketua Serikat Petani Indonesia (SPI) Kalsel, Dwi
Putera Kurniawan menyatakan dukungan atas kebijakan yang dinilai berpihak kepada para petani tersebut. "Membakar area lahan milik petani untuk tanaman pangan seperti sawah dan ladang pegunungan masyarakat adat kami mendukung aktivitas tersebut selama bisa dikendalikan dan tidak menyebar luas sehingga terjadi karhutla," katanya.

Sebelumnya Kepala Dinas Tanaman Pangan dan Holtikultura (TPH)
Kalsel, Syamsir Rahman, pihaknya mengusulkan diterbitkannya peraturan
gubernur yang mengatur dan membolehkan para petani membakar lahan pada
proses pembukaan dan pembersihan lahan terutama tanaman pangan seperti
padi. Sejatinya membakar lahan merupakan kebiasaan para petani di Kalsel, namun dalam beberapa tahun terakhir dilarang karena dinilai memicu terjadinya kabut asap.

"Setelah kita amati di lapangan, merebaknya serangan hama tungro yang berpengaruh pada penurunan produksi padi adalah akibat larangan membakar lahan. Padahal dengan cara dibakar, lahan cepat dibersihkan.
Efesien dari segi waktu, tenaga dan biaya, serta mengurangi serangan hama," ungkapnya. (Denny S/DY)

 

BERITA TERKAIT